Kisah ini berawal ketika aku beranjak menuju masjid setelah melihat jam menunjukkan pukul 11.15 WIB. Ketika itu, masjid-masjid mulai memperdengarkan murratal, sebuah penyuasanaan sebelum shalat Jumat dimulai. Di tengah perjalanan menuju masjid, aku bertemu dengan seorang bocah. Bocah jalanan dan di sinilah kisah itu dimulai. Dia menghampiriku lalu dengan nada malu, ia berkata, “Kak, mau ke masjid ya? Boleh saya ikut?”
Aku tak tahu, mendadak terbersit kesan negatif yang muncul pertama saat itu. Didatangi bocah yang lusuh, dekil alias agak kotor, mendatangkan banyak konflik yang berkecamuk dalam pikiran. Tapi, aku tahu, aku selalu diajarkan orangtuaku untuk berhusnuzon. Oke, akhirnya kujawab pertanyaannya “Iya. hayu aja kalo mau ikut mah.”
Selama berjalan dengannya menuju masjid, ada beberapa pikiran yang melintas dalam benak. Kayaknya sih ada maunya nih bocah.. Lalu berkelabat bisikan lain, subhanallah.. ada bocah macem dia yang masih inget shalat. Antara kutub positif dan negatif datang silih berganti hingga tak terasa, masjid telah termasuki.
Setelah berwudhu, aku memasuki masjid. Ia pun mengikuti. Secara otomatis, aku mengajaknya untuk duduk di sampingku. Khatib pun naik mimbar. Setelah salam dan adzan, khatib mulai menyampaikan pesan taqwanya. Kulihat samping, kupandangi anak tadi. Kulihat sekilas, ia tak ubahnya seperti bocah lainnya. Pandangan menerawang, jernih. Terkadang ia mengajak berbicara. Aku sedikit membisu.
Kuberi tanda padanya. Sebuah isyarat yang bermakna bahwa tak boleh berkomunikasi saat khutbah berlangsung.
Tak lama kemudian, kotak kencleng datang menghampiri. Kurogoh saku kanan, dan kumasukkan uang yang ada di sana, ke dalam kotak. Kotak itu lalu kugeserkan ke hadapanya. Ia tampak mengeluarkan sesuatu yang besar dari kantong celananya. Baru sadar, ia membawa barang di celananya. Yang membuatku agak heran saat itu adalah ia ternyata mengeluarkan sebuah mainan. Dan ia mengetuk-ngetukkan mainan itu ke atas kotak.
Serentak aku memberi isyarat kembali agar ia tak berisik. Tapi yang membuatku kemudian tersadar adalah saat ia memberikan isyarat balik. Aku mengerti isyaratnya. Ternyata ia bermaksud memasukkan mainan tersebut ke dalam kotak kencleng lewat lubang kecil di atasnya.
Kulihat raut muka di wajahnya, kulihat gelagatnya, sangat menunjukkan kesungguhan untuk mengikhlaskan barang miliknya itu. Seketika kumengerti, bahwa alasannya ingin ikut ke masjid adalah karena ia ingin menginfaqkan mainannya lewat kotak kencleng itu. Ya, sepertinya satu-satunya alasan ia ingin ke masjid adalah untuk satu alasan itu.
Penasaran hadir. Rasa penasaran yang meledak-ledak di dalam benakku. Aku harus bertanya setelah shalat selesai, kataku dalam hati. Selesai salam, langsung aku menghampirinya, dan kulontarkan pertanyaan yang dari tadi hinggap di benak, yang sempat mengusik kekhusukan sholatku.
“Boleh tahu, kenapa tadi ingin masukin mainan itu ke kotak?”
Ia menjawab, “Kemarin saya diajarin seorang kakak tentang sedekah. dan sedekah yang paling baik adalah memberikan yang paling ia cintai.”
“Saya cuma punya ini,” lanjutnya, sembari menunjukkan barangnya. “Ini mainan yang saya suka. Tapi saya juga ingin sedekah kak. Jadi, tadinya mau ngasih ini aja ke kotak,” tambahnya dengan polos.
Sentak aku tertunduk malu. Tak dapat berkata-kata. Hanya bisa terkagum-kagum. Aku malu. Dua kata yang memenuhi pikiranku saat itu. Seketika itu aku ingin menangis namun kutahan. Malu pada bocah, bahkan lebih dari seorang bocah yang kuanggap remeh, Allah memberikan suatu hikmah yang tak ternilai harganya. Aku tersadar, bahwa selama ini, ternyata pemahamanku tentang sedekah masih sekedar mulut belum berbuah amal. Malu dengan Allah, sungguh.
Kisah di atas dituturkan oleh saudaraku, Fauzi Ahmad Zaky.