Terkisah, suatu malam seorang suami mengajak berbicara istrinya menjelang tidur.
Sang suami berkata, “Istriku, aku ingin membuat pengakuan. Sudah lama aku ingin menyampaikannya, tapi masih mencari waktu yang tepat, dan kurasa sekarang waktu yang tepat untuk menyatakannya.”
Istri merasa heran dengan sikap suaminya. Pengakuan apa yang hendak disampaikan hingga sang suami harus mencari waktu tepat untuk menyampaikannya.
Istri pun berkata, “Katakan saja, aku ingin mendengarkannya.”
“Maafkan sayang, harus aku akui, aku sedang menyukai perempuan lain. Aku melewati waktu bersamanya berjam-jam lamanya. Aku menatap wajahnya sepuas hatiku. Semakin aku menatapnya semakin aku jatuh cinta kepadanya. Hingga aku pun tidak bosan untuk melihatnya.” ujar suami.
Deg! Deg! Deg!
Detak jantung sang istri tiba-tiba saja bertambah kencang, tubuhnya melunglai, nafasnya menjadi sesak, sungguh pengakuan ini membuat dadanya terasa berat seolah dihimpit beban ratusan kilogram.
“Kamu.. kenapa? Apa salahku?” ucap sang istri. Kelu sudah mulutnya. Tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Tidak disadari isak tangis keluar dari mulutnya.
“Kamu tega.. apa salahku padamu.. apa sudah tidak cukup kesetiaanku selama ini?” Tangisannya semakin kuat.
Sang suami bangun, mencoba memeluk sang istri, tapi ditepiskan.
“Maafkan aku istriku. Itu terjadi tanpa kusadari, perlahan-lahan, karena sering melihatnya, memperhatikan tingkah lakunya, mendapati senyum manisnya, kadang bahkan ikut terbuai dengan perkataannya yang lembut, aku jatuh cinta tanpa kusadari.”
“Sudah, sudah! Tak usah kamu bicarakan lagi, apa kamu tidak sadar betapa sakit perkataanmu? Membayangkan engkau mencintai yang lain saja aku terasa sakit, sekarang engkau malah memujinya di depanku!” Suara istri mulai meninggi dan tidak terkontrol lagi.
“Tapi istriku, kuharap engkau mengerti, aku tidak tahu harus berbuat apa, tolong bantu aku melupakannya, aku benar-benar ingin seperti dulu, hanya mencintaimu tanpa sosok dia. Aku dapat merasakan kecemburuanmu, dan aku tidak ingin membuatmu merasa sedih. Apa yang harus kulakukan? Tolong aku!” ucap sang suami mengiba.
“Tinggalkan dia! Jangan pernah lagi bertemu dengannya! Aku tidak sudi engkau melihat wajahnya lagi. Jauhi dia sejauh jauhnya.”
“Tapi aku tidak bisa.. aku tidak bisa..”
“Kenapa tidak bisa? Kalau dia teman kantormu, maka aku lebih rela engkau keluar dari kantormu dan bekerja di tempat lain. Bila dia tetangga kita, biar kita pindah saja dari rumah ini. Bila dia adalah agen asuransi, kita gantikan saja produk asuransi kita. Bila dia dokter pribadi kita, maka kita cari dokter lain. Bila dia guru anak sekolah kita, maka kita cari sekolah baru bagi anak kita. Yang penting kamu tidak berjumpa lagi dengannya.”
“Tapi.. tapi…”
“Tapi apa? Kamu lebih berat untuk melakukannya?”
“Tapi bukankah kamu juga melakukan hal yang sama denganku?” Tanya sang suami.
“Apa? Aku melakukan hal yang sama?! Fitnah! Aku tidak pernah menduakan cinta. Teganya kamu menuduhku seperti itu.”
Suaminya pun bangun dari tempat tidur. mendekati layar televisi LCD didalam kamarnya. Lalu menghidupkan televisi yang langsung terhubung dengan saluran televisi yang menayangkan melodrama korea setiap harinya.
“Bukankah engkau melakukan hal yang sama, bahkan lebih dariku? Kamu bangun lalu mengantarkanku ke pintu untuk pergi ke tempat kerja. Kemudian engkau menghabiskan waktumu dengan menatap wajah lelaki-lelaki di dalam melodrama ini berjam-jam. Terpukau dengan senyum mereka, interaksi mereka dengan teman-temannya. Menjadi orang yang selalu menunggu kelanjutan kisahnya. Bila pun habis satu judul drama, engkau akan menunggunya untuk bermain di drama lain.”
“Tidak cukup dengan menonton di televisi. engkau pun koleksi DVD filmnya, engkau membeli majalah yang mengkisahkan mereka, engkau pula yang asik masyuk berdiskusi dengan teman-temanmu berbicara tentang dia dan teman-temannya di dunia nyata dan dunia maya, engkau terpesona dengan caranya berjalan, menari, bahkan berbicara.”
“Aku bertanya padamu, berapa jam engkau menghabiskan waktu menatap wajahku setiap harinya dan berapa jam engkau menghabiskan waktu menatapnya? Berapa jam engkau habiskan waktu memperhatikan gerak gerikku dan memperhatikan gerak geriknya? Berapa jam engkau habiskan waktu untuk peduli dengan kisahnya daripada kisahku?”
“Engkau merasa cemburu luar biasa ketika aku berkisah tentang ketertarikanku pada wanita lain padahal aku hanya berdusta, lalu apakah aku tidak boleh merasa apa-apa ketika engkau menghabiskan waktu menampakkan ketertarikan lelaki lain dirumah lain? Oh tuhan, bahkan dia bukan seorang muslim. Bahkan engkau tidak pernah dipimpin sholat olehnya, bahkan engkau tidak pernah didoakan masuk surga olehnya, bahkan selamanya dia tidak menjadi pintu-pintu surga bagimu, bahkan dia tidak kenal denganmu, bahkan dia tidak mengucapkan ijab kabul kepadamu, bahkan dia tidak menafkahimu. Lalu apa kurangku hingga engkau memalingkan wajah dariku kepadanya?”
“Bila engkau merasa sakit, aku lebih sakit lagi. Namun ketahuilah, aku masih mendoakan agar engkau sadar dari kekhilafanmu, kembalilah kepadaku wahai istriku, jagalah rasa cemburuku kepadamu, karena cemburu ini membuktikan aku mencintaimu. Dan jangan engkau buat aku menjadi seorang dayyus, suami yang membiarkan istrinya tertarik ke lelaki lain, yang lelaki itu sendiri berada entah dimana dan tidak jelas asal usulnya.”
Sang istri terdiam lama dan mulai menangisi dirinya sendiri. semakin lama semakin kuat, tidak pernah disangka, malam ini dia mendapatkan pelajaran terpenting dari suaminya, bahwa dia telah mengkhianati rasa cinta suaminya meski tanpa sadar.
Wahai yang memuji lelaki lain, yang kagum dengan sosok pria selain suamimu, berhentilah sejenak, berpikirlah sejernih-jernihnya, pantaskah kita melakukannya, walau hanya sekadar tertarik pada gombalan artis drama?