Aku Rindu Menjadi KeluargaMu

Aku Rindu Menjadi KeluargaMu. Aku disini dengan berjuta kerinduan untuk sebuah kenamaan. Sungguh, berjuta kemuliaan menjadi keluargaMu.

Ketika ku tahu untuk menjadi keluargaMu tidaklah sulit. Engkau tidak memintaku mendaki gunung Tihamah, menyelami Laut Mati, karena kalau seperti itu, tubuhku yang tidak seberapa kuat ini tidak akan pernah sanggup.

Dan Engkau tidak memintaku shalat sepanjang waktu, puasa sepanjang hari, karena kalau seperti itu, jasadku tidak akan sanggup menegak. Engkau “hanya” memintaku memindahkan kalamMu kedalam diriku, menghafalkan kalamMu dengan jasad yang tidak kurang dari lengkap.

Ketika ku paham menjadi keluargaMu tidaklah sukar. Banyak janji yang Kau hulurkan untuk hambaMu.

“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-qur’an untuk peringatan, adakah yang mau mengambil pelajaran.” (Al-Qamar : 17,22, 32, 40)

Dan aku tahu, janjiMu tidak pernah melesat dari tepat dan tak layak untuk diragukan. Ketika aku menyadari, menjadi keluargaMu tidaklah rumit.

“Persiapkan wadahmu.” ucap seorang ustadz di sebuah pelatihan, dan Allah yang akan memasukkan Al-qur’an kedalam hatimu. Cukup menyiapkan hati, Allah tidak meminta sipakan perniagan besar dengan seluruh bekal harta yang banyak dan mahal, dan Allah juga tidak meminta siapkan beratus unta dan kawan-kawannya sebagai kurban untuk menjadi keluargaNya.

Namun, ya Rabb. Apa yang tidak ada dalam diriku? Hingga sampai sejauh ini usiaku belumlah sampai seluruh kalamMu dalam diriku. Hanya sebagian, tidak banyak, hanya sedikit yang mutqin, lainnya samar.

Sebaiknya ku renungi sebuah kata dari seorang ‘alim

“Sungguh tidak kudapatkan cela yang lebih besar dari dalam seseorang kecuali kemampuannya untuk sempurna, tapi ia tidak mau berjuang untuk meraihnya.”

Aku, beserta seluruh yang ada dalam jasad dan fikirku ingin menjadi keluargaMu, bisa kupastikan. Tetapi, ikhtiarku tidak lebih hanya seperti si dewasa yang mengikuti lomba makan kerupuk, minim ikhitiar. Tetapi, waktuku untuk Al-qur’an hanya waktu sambilan, waktu sisa, bukan waktu prioritas. Ketika sudah lelah beraktivitas, barulah kubuka dengan lemah mushaf yang sedari dulu ku impikan menghafalkannya. Tidak harus menunggu lama, aku sudah terlelap dipandangi Al-qur’an. Sangat tidak etis berharap yang mulia dengan waktu sisa, nyata saja tidak akan pernah berhasil.

Tetapi, do’aku padaNya tidak benyak meminta untuk dimudahkan menjadi keluargaNya. Mungkin aku mengira, aku saja mampu, tidak harus lelah-lelah berdo’a. aku lupa,

“Tidaklah manusia banyak berdoa kecuali menunjukkan kualitas tauhid dan akidah yang semakin baik.”

Mintalah padaNya, mintalah selalu bahkan dengan airmata yang menunjukkan harapan yang sangat, dan sungguh, hanya kepadaNya tempat meminta, bukan yang lain, bahkan tidak untuk mengandalkan diri sendiri.

Aku rindu menjadi keluargaMu, sangat rindu. Mencoba menanamkan keikhlasan yang murni, Lillahi ta’ala. Bukan yang lain, bukan untuk dikatakan cerdas, bukan juga untuk dikatakan ‘alim, ‘abid.

Mencoba merencanakan quwwatun mujahadah, sebab seberapa inginnnya pun diri ini jika tanpa mujahadah, semua seakan tersia, hanya janji dilisan, impian yang sekadar mimipi.

Dan ya Rabb, Kalaulah mungkin hati ini belumlah layak menerima kalamMu, layakkanlah dengan ridhoMu, layakkan dengan caraMu yang indah.

Kalaulah diri ini belum mampu menjadi keluargaMu, mampukanlah dengan iman dan taqwa yang Kau hendaki. Hingga nantinya, aku beserta seluruh jasad dan fikirku menjadi keluargaMu, menjadi Ahlullah. Adakah yang lebih mulia selain menjadi keluargaNya?

Oleh: Linda Maya Sari.
Mahasiswa Sekolah Tingga Akuntansi Negara