Tilawah (membaca) Al Qur’an adalah sarana untuk menyambungkan diri kita kepada langit. Ia merupakan sarana yang Allah berikan kepada siapa saja yang ingin berdiskusi denganNya. Sebagaimana diriwayatkan oleh salah seorang sahabat Nabi, “Barangsiapa yang berkeinginan untuk ‘berdiskusi’ dengan Allah, hendaknya orang tersebut membaca Al Qur’an.”
Tilawah selayaknya bukan sekedar membaca. Ia harus tartil. Dibaca sesuai dengan awal diturunkannya melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah. Tartil bermakna perlahan-lahan dan memenuhi hak-hak huruf. Memanjangkan yang wajib dipanjangkan, berhenti ketika waqaf dan seterusnya.
Selain tartil, kita mengenal haqqo tilawatih, tilawah yang sebenar-benarnya. Ia bukan saja membaca, melainkan mengikuti apa yang terkandung dalam bacaan tersebut.
Haqqo Tilawatih disebutkan (baca : diperintahkan) oleh Allah dalam Surah Al Baqarah [2] ayat 121 yang artinya, “Orang-orang yang telah Kami berikan Al- Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya (Haqqo Tilawatih), mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
Dalam menafsirkan ‘Orang-orang’ ulama’ tafsir kita terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama mengartikan orang-orang sebagai ahli kitab yaitu golongan Yahudi dan Nasrani. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari termasuk dalam golongan ini. Sedangkan Said sebagaimana diriwayatkan dari Abu Qatadah memaknai ‘orang-orang’ dalam ayat tersebut sebagai sahabat Rasulullah. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Haqqo tilawatih sangat ditekankan kepada siapapun yang ingin menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan sarana untuk menghubungkan diri kepada Allah Yang Maha Agung.
Penulis Dzilalil Al Qur’an, Sayyid Quthb menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Orang-orang yang membersihkan dirinya dari hawa nafsu, mereka membaca kitab mereka dengan sebenar-benarnya. Karena itu, mereka beriman kepada kebenaran yang engkau (Muhammad) bawa. Adapun orang yang mengingkarinya maka mereka itulah orang yang merugi, bukan engkau ( Muhammad ) bukan pula orang mukmin.”
“Yang dimaksud dengan Haqqo Tilawatih ialah apabila si pembaca melewati penyebutan tentang surga maka ia memohon surga kepada Allah. Apabila ia melewati penyebutan tentang neraka maka ia meminta perlindungan kepada Allah dari neraka.” Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya yang mengutip dari Ibnu Hatim dari Sayyidina Umar bin Khattab.
Dalam riwayat lain, Al Faruq Umar bin Khattab berkata, “Bahwa mereka adalah orang-orang yang apabila dalam bacaan melewati ayat rahmat, mereka memohon rahmat kepada Allah ; dan apabila melewati ayat adzab, mereka memohon perlindungan dari adzab itu.” Sedangkan Al- Qurthubi mengatakan, bahwa Nasr ibnu Isa meriwayatkan dari Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, bahwa yang dimaksud dengan Haqqo tilawatih adalah mengikutinya dengan sebenarnya.
Sedangkan Abul Aliyah berkata, Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, sesungguhnya Haqqo Tilawatih adalah hendaknya si pembaca menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan tidak mengubah kalimat yang dari tempatnya masing-masing serta tidak menakwilkan sesuatupun darinya dengan takwil dari dirinya sendiri.”
Haqqo Tilawatih sebagaimana disebutkan dalam ayat 121 surah Al Baqarah ini, diikuti dengan sebuah jaminan keimanan. Bahwa orang-orang yang bisa menghadirkan ‘bacaan yang sebenar-benarnya’ akan menimbulkan keimanan dalam hati mereka. Hal ini merupakan sebuah janji yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
Haqqo Tilawatih adalah jalan yang harus kita tempuh agar tidak termasuk mereka yang ditimpa kemurkaan dari Allah sebagaimana disitir dalam surah Ash Shaf ayat 3, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Oleh karenanya, kita yakin bahwa Allah akan memudahkan kita. Sebagaimana FirmanNya yang berarti, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al Qomar [54] : 17, 22, 32 dan 40 ).Sehingga kita akan mengerahkan kemampuan terbaik untuk bisa mencapai derajat Haqqo Tilawatih supaya Tilawah kita tak sekedar membaca yang hanya sampai di tenggorokan kemudian tanpa makna apalagi implementasi. Kita berlindung kepada Allah dari sikap demikian. Semoga kita bisa menepati apa yang telah kita baca dan melakukan apa yang telah kita katakan.