Hari kesebelas dari hari-hari haji disebut juga yaum al –qarri (hari menetap , karena jama’ah haji menetap di Mina dan berkewajiban untuk melempar jumrah pada hari itu.
Hari itu merupakan hari pertama dari hari-hari tasyriq, dimana para jama’ah haji diperintahkan untuk memperbanyak dzikir dan bertakbir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu.” (QS. Al Baqarah: 200)
dan sebagaimana hadits:
وَأَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وذِكْرُ الله
“Dan hari-hari di Mina merupakan hari makan-makan dan minum dan mengingat Allah. (HR Muslim)
Waktu melempar pada hari yang kesebelas dimulai setelah tergelincirnya matahari, atau setelah adzan Dhuhur. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang menyebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تحيّن الزوال ثم رمي
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wassalam menunggu waktu tergelincirnya matahari , setelah itu beliau mulai melempar.”
Waktu melempar ini berlangsung sehari penuh. Dan dibolehkan juga melempar pada malam hari sampai terbitnya fajar pada hari berikutnya. Yang dilempar adalah seluruh jumrah: sughra ( yang kecil ), wustha ( pertengahan ) dan kubra ( yang paling besar ).
Cara melemparnya dimulai dari jumrah yang paling kecil dan hendaknya posisi jumarah tersebut sebelah kirinya. Kemudian dia melempar dengan tujuh kerikil, seraya mengucapkan takbir pada setiap kerikil. Tidak boleh melempar lebih dari satu kerikil dalam setiap lemparan, dan dia harus yakin bahwa kerikil tersebut masuk di dalam lubang yang telah disediakan.
Kemudian dia mundur sedikit dan menghadap kiblat serta mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a dan dianjurkan jika mampu untuk memperpanjang do’a sekitar setengah jam lamanya. Kemudian dia mendatangi jumrah al wustha, dan melemparnya dengan tujuh kerikil sebagaimana yang dilakukan pada jumrah as- Sughra. Kemudian dia maju sedikit ke arah sebelah kiri dan menghadap kiblat serta berdo’a dan memperpanjang do’anya sekitar setengah jam juga.
Kemudian dia mendatangai jumrah al-Kubra (al-‘Aqabah ) dan melemparinya dengan tujuh kerikil, setelah itu dia tidak berdiri untuk berdo’a. Hal itu berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى إِثْرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ فَيَقُومَ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْوُسْطَى ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَسْتَهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيلًا وَيَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ طَوِيلًا ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“ Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma bahwa dia melempar Al Jumrah Ad-Dunya (Al Ulaa) dengan tujuh kerikil dengan bertakbir pada setiap kali lemparannya, kemudian dia maju hingga sampai pada permukaan yang datar, dia berdiri menghadap kiblat dengan agak lama, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya kemudian melempar jumrah Al Wustho lalu dia mengambil jalan sebelah kiri pada dataran yang rata, lalu berdiri menghadap kiblat dengan agak lama lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya dan tetap berdiri agak lama, kemudian dia melempar jumrah Al ‘Aqabah dari dasar lembah dan dia tidak berhenti disitu, lalu segera pergi dan berkata Ibnu Umar: “Begitulah aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya”. (HR. Bukhori)
Barang siapa yang tidak berdiri dan berdo’a, maka dia telah meninggalkan sunnah tapi amalan melemparnya tetap sah. Dan harus melempar dengan tujuh kerikil. Jika dia melempar dengan enam kerikil, maka sah, tetapi tidak sempurna.
Barang siapa yang merasa berat untuk melempar karena lanjut usia, atau masih kecil, atau dia seorang perempuan tidak bisa berdesak-desakan, maka dibolehkan baginya untuk mewakilkan kepada jama’ah haji lain untuk melemparnya. Orang yang mewakilinya hendaknya melempar dulu untuk dirinya, kemudian dia melempar untuk yang diwakilinya, sebagaimana dalam hadits Jabir:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَنَا النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ فَلَبَّيْنَا عَنْ الصِّبْيَانِ وَرَمَيْنَا عَنْ لنِّسَاء
“Dari Jabir berkata; “Kami melaksanakan haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang bersama kami ada wanita dan anak-anak, kami bertalbiyah untuk anak-anak dan kami melempar untuk wanita “ (HR. Ibnu Majah)
Akhir waktu melempar adalah akhir hari tasyriq.
Jika seseorang menangguhkan semua amalan melemparnya pada akhir har tasyriq, maka dia harus memempar dulu untuk hari yang pertama, kemudian untuk hari kedua, kemudian untuk hari ketiga. Karena amalan melempar ini dan hari –hari nya harus berurutan.