Hari ketiga belas adalah hari ketiga dari hari-hari tasyriq, dimana para jama’ah haji yang menangguhkan (pergi dari Mina) harus tetap tinggal di Mina dan melempar jumrah, sebagaimana yang dilakukan pada hari kesebelas tata cara, waktu dan hukumnya tetap sama. Maka tidak boleh bagi mereka (yang tidak bergegas) untuk meninggalkan Mina sebelum melempar. Adapun cara melemparnya sama dengan cara melempar pada dua hari sebelumnya. Inilah yang disebut dengan hari Nafar Ats Tsani (hari kedua untuk meninggalkan Mina) atau Nafar Al Akhir
Barang siapa yang keluar dari Mina, disunnahkan untuk singgah di al-Mahshab dan istirahat di dalamnya. Berkata Ibnu Umar:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَنْزِلُونَ بِالْأَبْطَحِ
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman berhenti di Abthah. “
Jika seorang jama’ah haji keluar dari Mina, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali thawaf wada’ (thawaf perpisahan). Thawaf wada’ ini hukumnya wajib, tidak boleh seorang jama’ah haji pulang kepada keluarganya kecuali dia harus melakukan thawaf, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنْ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“ Dari Ibnu Abbas ia berkata: “ Orang-orang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar mereka menjadikan amalan terakhir mereka di Baitullah sebelum pulang adalah melakukan thawaf, hansaja beliau memberi keringanan bagi perempuan haid. (HR Bukhari dan Muslim)
Thawaf wada’ adalah thawaf mengelilingi Baitullah Ka’bah tanpa disertai sa’i. Jika dia sudah pulang dan belum thawaf sedang jaraknya belum jauh, maka hendaknya dia kembali dan melakukan thawaf. Jika dia tidak kembali atau karena jaraknya sudah jauh, maka dia wajib membayar dam, yaitu menyembelih kambing dan dibagikan kepada fakir miskin yang tinggal di haram.
Untuk penduduk Mekkah dan Haram tidak ada kewajiban untuk melakukan thawaf wada’. Adapun untuk penduduk Jeddah atau dari daerah sekitarnya, maka tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan thawaf wada’ seperti yang lainnya.
Begitu juga, wanita yang sedang haidh tidak ada kewajiban thawaf wada’ baginya. Wanita yang haidh jika sudah melakukan thawaf ifadhah, maka sudah dibolehkan baginya untuk meninggalkan Mekkah. Dan tidak perlu tinggal di Mekkah sekedar untuk menunggu thawaf wada’, berdasarkan hadist Ibnu Abbas di atas.
Dibolehkan bagi seorang jama’ah haji untuk menangguhkan thawaf ifadhah sampai dia ingin pergi meninggalkan Mekkah, maka pada saat itu dibolehkan baginya untuk melakukan thawaf ifadhah dan thawaf wada’ dengan niat thawaf ifadhah, maka niat itu cukup untuk dua thawaf: ifadah dan wada’. Setelah itu dia melakukan sa’i, jika belum melakukan sa’i sebelumnya. Tidak apa-apa dia melakukan sa’i setelah thawaf, karena sa’i ini mengikuti ibadah thawaf. Dan ini termasuk orang yang amalan akhirnya di Ka’bah adalah thawaf.
Bagi yang melakukan thawaf wada’ dianjurkan untuk berdiri di Multazam jika hal itu mudah baginya. Multazam ini letaknya antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Di tempat ini, hendaknya dia berdo’a dan bersimpuh di hadapan-Nya, karena para ulama salaf melakukan hal ini. Hendaknya dia berdo’a meminta keperluannya dan memohon taubat dari rabb-nya, serta meminta Allah untuk kebaikan dirinya dan kaum muslimin.
Jika dia telah melakukan thawaf wada’, hendaknya dia segera pergi, dan tidak dianjurkan untuk keluar dengan mundur ke belakang sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang awam. Setelah itu tidak diperbolehkan baginya untuk menyibukan diri dengan perdagangan, atau berdiam lama, ataupun tidur. Tetapi tidak apa-apa dia membeli sesuatu di jalan, atau menunggu rombongannya walau memakan waktu yang lama. Begitu juga jika terjadi kemacetan atau terlambatnya kendaraan. Karena hal-hal seperti ini sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh jama’ah haji, dan tidak merubah status thawafnya sebagai amalan haji yang terakhir yang dilakukan di Ka’bah.