Amalan-amalan Haji Pada Hari ke-9 Dzulhijjah

Jika matahari terbit pada hari kesembilan, disunnahkan bagi yang melakukan ibadah haji untuk pergi menuju Arafah pada saat matahari terbit seraya mengucapkan talbiyah, kemudian berdiam di Namirah (tempat yang letaknya disamping Arafah, di dalamnya ada masjid yang sering dipakai untuk sholat para jama’ah haji) hal ini berdasarkan hadits Jabir. Jika tidak bisa berdiam di sana karena berdesakan dan khawatir akan kehilangan teman dan rombongan, maka dia bisa langsung berdiam di Arafah. Jama’ah haji tetap berada di sana saat Dhuha, dan dianjurkan untuk beristirahat agar nanti kondisi fisiknya kuat saat berdo’a dan berdzikir. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri ketika sampai di Namirah, beliau mendirikan tenda dan duduk di dalamnya.

Jika matahari sudah tergelincir, sang imam segera berkhutbah di hadapan jama’ah haji, sebagaimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari Arafah mengajak manusia  untuk menjalankan ajaran agama mereka, menjaga jiwa dan harta mereka, dan mengajari mereka beberapa hukum yang terkait dengan haji dan hal-hal yang harus mereka kerjakan.

Jika khutbah telah selesai, maka segera muadzin mengumandangkan adzan dan iqamat, kemudiaan sholat Dhuhur dua reka’at, kemudian dikumandangkan iqamat lagi dan sholat ‘Ashar dua rekaa’t jama’ taqdim. Setelah itu baru masuk  Arafah. Untuk penduduk Mekkah dia hanya diperbolehkan menjama’ dan tidak meng-qashar sholat.

Arafah semuanya tempat untuk wukuf, di tempat mana saja orang yang haji, boleh melakukan wukuf selama di dalam batas-batas dan tanda-tanda yang menyatakan itu Arafah.

Wukuf di batu-batuan dekat bukit (Jabal Rahmah) seraya menghadap kiblat adalah tempat wukuf Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :

وَقَفْتُ هَاهُنَا وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ

“Dan wukuf di Arafah, maka Arafah seluruhnya adalah tempat wukuf.”

Sebagaimana dalam hadits Jabir.

Tidak dianjurkan bagi orang yang melaksakan haji untuk memaksakan diri ke tempat tersebut, karena akan terpisah dari rombongan dan membuang-buang waktu. Tetapi hendaknya dia melakukan wukuf di mana rombongannya melakukan wukuf.

Bukit yang sering disebut dengan bukit (Jabal Rahmah) tidak dikhususkan untuk tempat wukuf, dan tidak dianjurkan untuk mendakinya, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mendakinya dan tidak memerintahkan untuk mendakinya. Bagi orang yang melaksanakan ibadah haji dihimbau agar tidak menyusahkan diri sendiri mendatangi bukit Jabal Rahmat tersebut sehingga waktunya terbuang sia-sia.

Waktu wukuf di Arafah dimulai semenjak tergelincirnya matahari, yaitu ketika adzan Dhuhur, pada hari kesembilan, dan berakhir pada waktu terbitnya fajar pada hari penyembelihan. Barang siapa yang wukuf antara waktu itu, walaupun sebentar saja, maka sah hajinya, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

مَنْ شَهِدَ صَلَاتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ

“Barangsiapa yang shalat bersama kami, dan wukuf bersama kami hingga selesai, dan sebelum itu dia wukuf di Arafah baik malam maupun siang maka hajinya telah sempurna serta telah melaksanakan seluruh manasik’.” (HR. Khamsah. Tirmidzi dan Ibnu Huzaimah menshahihkannya)

Dinyatakan bahwa mulainya setelah tergelincirnya matahari, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mulai masuk Arafah setelah tergelincirnya matahari.

Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh melakukan amal sholeh pada hari Arafah, karena hari itu adalah sebaik-baik hari dimana matahari terbit, hal ini berdasarkan hadits ‘Amru bin Syu’aib  :

عن عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ كَانَ أَكْثَرُ دُعَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata; “Do’a yang paling sering dibaca Rasulullah pada hari ‘Arafah ialah: “Laa Ilaaha Illallah Wahdahuu Laa Syariikalah Lahul Hamdu Biyadihil Khair Wahuwa ‘Ala Kulli Syai-In Qodiir (Tiada Ilah selain Allah semata, dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kekuasaan dan milik-Nya segala puji-pujian, ditangan-Nya ada kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Dan dalam lafadz Tirmidzi

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku katakan adalah “Laa Ilaaha Illallahu Wahdahuu Laa Syariikalahu Lahul Mulku Walahul Hamdu Wahuwa ‘Alaa Kulli Syai’in Qadiir (Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu).”

Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam paling bersungguh-sungguh untuk beribadah pada hari tersebut, dalil-dali yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menjama’ sholat Dhuhur dan ‘Ashar supaya bisa berkonsentrasi dalam berdo’a dan berdzikir
  2. Disunnahkan untuk tidak berpuasa bagi yang melaksankan ibadah haji, padahal puasa hari Arafah mempunyai keutamaan yang besar. Hal itu dimaksudkan agar bisa membantu baginya ketika berdzikir.
  3. Beliau Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam beristirahat pada waktu Dhuha di Namirah
  4. Kesungguhan beliau di dalam berdo’a, karena beliau masih mengangkat tangan selama sehari penuh, sampai-sampai ketika tali kekang untanya jatuh, beliau segera mengambilnya dengan salah satu tangannya, sedang tangannya yang lain masih terangkat.

Inilah suasana dimana Allah membanggakan hamba-hamba-Nya, suasana dimana Allah membebaskan mereka dari api nereka, suasana dimana Allah memberikan ampunan bagi dosa-dosa mereka dan menyingkap kesulitan-kesulitan dan dikabulkannya segala keperluan, maka jadilah anda orang yang  bersimpuh di hadapan Allah sambil menghadapkan hati kepada-Nya, takut kepada adzab-Nya dan mengharap rahmat-Nya, sambil meneteskan air mata karena takut dan bertaubat kepada-Nya, lisan ini bergerak mengharap dan takut kepada-Nya.  Dan ingatlah bahwa anda sedang berpisah dengan keluarga dan jauh dari tanah air, tidak berpakaian, meninggalkan segala kesenangan, rambut lusuh, dan anda sangat membutuhkan kepada Rabb-mu. Dan ingatlah beberapa kali anda bercita-cita untuk bisa hadir dalam suasana seperti ini, dan berwukuf  di tempat ini,  serta mendapatkan tiupan ruhani ini. Betapa banyak harta yang anda korbankan, dan betapa tenaga yang anda keluarkan demi untuk mencapai suasana seperti ini.  Barangkali inilah kesempatan terakhir bagi anda untuk bisa hadir di tempat ini dan terlibat dalam pelaksanaan ibadah haji, maka tidaklah pantas anda bermalas-malas di dalamnya.

Bagi yang melaksanakan ibadah haji dianjurkan untuk menghadap Allah dengan sepenuh hatinya dan memperbanyak talbiyah, dzikir dan do’a, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku katakan adalah: “Laa Ilaaha Illallahu Wahdahuu Laa Syariikalahu Lahul Mulku Walahul Hamdu Wahuwa ‘Alaa Kulli Syai’in Qadiir (Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu).”

Begitu juga, hendaknya dia berdo’a memohon dibebaskan dari api neraka, sebagaimana hadits Aisyah :

عن عَائِشَةُ  قالت إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمْ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ

Dari Aisyah berkata; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada satu hari pun yang di hari itu Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari api neraka daripada hari ‘Arafah, sebab pada hari itu Dia turun kemudian membangga-banggakan mereka di depan para malaikat seraya berfirman: ‘Apa yang mereka inginkan?’” (HR. Muslim)

Sebagian ulama salaf ketika ditanya tentang sebaik-baik do’a  yang diucapkan pada hari Arafah, dia menjawab:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

 “Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu.”

Dikatakan kepadanya: “ Ini pujian bukan do’a.” Dia menjawab : “Apakah Anda tidak mendengar perkataan seorang penyair:

apakah saya menyebutkan kebutuhanku atau apakah sudah cukup  bagi saya

rasa malumu, jika benar-benar sifatmu adalah pemalu,

jika pada suatu ketika seseorang memuji kamu,

maka cukuplah baginya ketika memuji tersebut.

Dan diriwayatkan dari Ali bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi was Salam berdo’a pada hari Arafah di Arafah dengan do’a sebagai berikut :

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  اللَهُمَ اجعَل فِي قَلبِي نورأ وفي سَمعِي نورًا وَ فِي بَصَرِي نورًا اللهُمَ اشرَح لِى صَدرِي و يَسرلِي أَمرِي أَعُوذُبِكَ مِن وَساوِس الصَدر و فِتنةِ القَبر و مِن شرِ ما تَهبُ به الرِياحِ وَ مِن شَر مَا يَأتي به الليلُ و النهارُ

“Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu.Ya Allah jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan di dalam pendengaranku cahaya dan di dalam penglihatanku cahaya. Ya Allah lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku. Saya berlindung kepada-Mu dari bisikan yang ada di dalam dada, dan dari firnah kuburdan dari kejahatan angin yang bertiup, dan dari kejahatan dari datangnya malam dan siang.“ 

Ibnu Uyainah pernah ditanya tentang doa’ yang paling sering diucapkan pada hari Arafah, beliau menjawab :

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

Maha Suci Allah, Segala puji bagi Allah, dan Allah Maha Besar.”

Hendaknya dia beradab kepada Allah ketika berdo’a, seperti mengangkat kedua tangannya, dalam keadaan bersuci, menghadap kiblat, memuja dan memuji Allah, mengucapkan sholawat kepada nabi, meminta hanya kepada Allah, bertawassul dengan nama dan sifat-Nya, tidak bertawassul kepada makhluq-Nya, seperti para nabi dan orang-orang sholeh, serta berdo’a untuk dirinya sendiri, keluarganya dan seluruh kaum muslimin.

Jika telah terbenam matahari hari Arafah, maka jama’ah haji keluar dari Arafah, ini berdasarkan hadits Jabir yang menyebutkan bahwa :

فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَذَهَبَتْ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ وَأَرْدَفَ أُسَامَةَ خَلْفَهُ وَدَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Rasulullah senantiasa wukuf sampai matahari terbenam dan mega merah hilang. Kemudian beliau memboncengkan Usamah di belakangnya, dan beliau sendiri segera berangkat ( meninggalkan Arafah ). “ 

Dan barang siapa yang keluar dari Arafah sebelum terbenamnya matahari, maka wajib baginya untuk kembali lagi, jika dia kembali, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Tetapi jika tidak kembali lagi, maka wajib baginya untuk membayar dam sebagai penyempurna kekurangan yang dilakukannya.

Jika seseorang datang ke Arafah pada malam hari, maka hajinya tetap sah,  dan tidak ada kewajiban apa-apa terhadapnya. Ini berdasarkan Ibnu Umar bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

فَمَنْ أَدْرَكَ الْعَرَفَةَ بليل فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ

“Barang siapa sampai di Arafah pada waktu malam, maka sesungguhnya ia telah berhaji.”

Dan barang siapa belum sampai Arafah sampai terbitnya fajar Hari Nahr (hari penyembelihan), maka hajinya tidak sah, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa haji itu intinya wukuf di Arafah, maka hendaknya dia tahalul dari ihramnya dengan menyelesaikan umrah.

Para jama’ah haji keluar dari Arafah setelah terbenamnya matahari sambil mengucapkan talbiyah berdasarkan hadits Fadhl radhiyallahu ‘anhu :

أن النبي صلى الله عليه وسلم لَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى الْجَمْرَةَ

“ Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa bertalbiyah hingga melempar jumrah.

Hendaknya dia berangkat menuju Muzdalifah dalam keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda  ketika berangkat ke Muzdalifah  :

أَيُّهَا النَّاسُ السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ

“Wahai manusia tetaplah dalam keadaan tenang, tetaplah dalam keadaan tenang.” ( HR Muslim )

كَانَ إذَا وَجَدَ فَجْوَةً أَسْرَعَ إلَيْهَا

Jika mendapatkan jalan kosong, beliau mempercepat langkahnya.” ( HR Bukhari dan Muslim )

Keluar Menuju Muzdalifah

Wukuf di Muzdalifah di mulai sejak terbenamnya matahari pada hari Arafah hingga sebelum terbitnya fajar Hari Nahr, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

مَنْ شَهِدَ صَلَاتَنَا هَذِهِ وَوَقَفَ مَعَنَا حَتَّى نَدْفَعَ وَقَدْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ قَبْلَ ذَلِكَ لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَقَدْ أَتَمَّ حَجَّهُ وَقَضَى تَفَثَهُ

“Barangsiapa yang shalat bersama kami, dan wukuf di Muzdalifah bersama kami hingga selesai dan sebelum itu dia wukuf di Arafah baik malam maupun siang, maka hajinya telah sempurna serta telah melaksanakan ibadahnya.”

Dianjurkan bagi yang lemah atau yang sedang menemani orang-orang yang lemah dan para wanita, hendaknya meninggalkan Muzdalifah setelah pertengahan malam, begitu juga selain mereka boleh meninggalkan Muzdalifah setelah pertengahan malam, hanya saja mereka tidak mengamalkan sunnah. Ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas  bahwasanya ia berkata :

كُنْتُ فِيمَنْ قَدَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ  مُزْدَلِفَة إلى مِنَّي

“Aku termasuk dalam rombongan orang-orang diperintahkan oleh  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama anggota keluarga beliau untuk segera berangkat dari Muzdalifah ke Mina” ( HR Bukhari dan Muslim )

Barang siapa yang sampai  Muzdalifah setelah pertengahan malam, maka dia tidak terkena sangsi apapun, maka dibolehkan baginya untuk melewatinya saja dan tidak harus berhenti. Kalau dia sampai Muzdalifah setelah fajar, berarti dia tidak ada kesempatan untuk wukuf disana, maka dia harus membayar dam untuk melengkapi kekurangan yang dia kerjakan.

Jika dia sampai Muzdalifah, yang letaknya di jalan antara Arafah dan Mina, maka pertama kali yang dikerjakan adalah melakukan sholat Maghrib dan Isya’ dengan satu adzan dan dua iqamat secara jama’ dan qashar, untuk sholat maghrib tiga reka’at dan sholat Isya’ dua reka’at, kecuali penduduk Mekkah, mereka melakukan sholat dengan menjama’ tanpa qashar, untuk sholat Maghrib tiga reka’at dan sholat Isya’ empat reka’at. Sholat dilaksanakan sebelum menurunkan barang-barangnya dari kendaraan. Hendaknya dia tidak mengerjakan sholat sebelum sampai Muzdalifah, kecuali kalau dia khawatir waktunya tidak cukup karena keadaan yang sangat ramai dan berdesak-desakan, maka dia berhenti di jalan dan melakukan sholat, hal ini karena Usamah pernah menyampaikan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, kita sholat dulu?”

Beliau bersabda, “Kita akan melakukan sholat di depan sana.”  ( HR Muslim )

Setelah melakukan sholat, dia menurunkan barang-barangnya dari kendaran dan bermalam di Muzdalifah dan melakukan sholat witir pada malam itu, kemudian melakukan sholat fajar tepat pada waktunya, agar bisa wukuf di Masy’aril Haram, dan dianjurkan untuk melaksanakan sholat lebih awal  berdasarkan hadits Jabir ra :

وَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ

“Dan Beliau melaksankan sholat Fajar ketika jelas bagi beliau waktu Subuh, dengan didahului adzan dan iqamat. “

Dan tidak sah sholat shubuh dilakukan sebelum terbit fajar, karena sholat tidak sah dilakukan sebelum waktunya.

Setelah itu, dianjurkan untuk mendatangi Masy’aril Haram, karena tempat itu dijadikan tempat wukufnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, letaknya dekat masjid, dan dia boleh mendakinya. Jika dia wukuf di mana saja, hal itu dibolehkan, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Saya wukuf di sini dan semua Muzdalifah adalah tempat wukuf .”

Kemudian hendaknya dia menghadap kiblat sambil berdo’a kepada Allah, bertakbir, bertahlil serta mentauhidkan-Nya sehingga langit menguning sekali dan kelihatan cahaya siang, maka hendaknya dia segera meninggalkan Masy’aril Haram sebelum matahari terbit sebagai amalan yang membedakan dengan orang-orang musyrik.

Berkata Umar :

إِنَّ الْمُشْرِكِينَ كَانُوا لَا يُفِيضُونَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَيَقُولُونَ أَشْرِقْ ثَبِيرُ – وهو جبل تشرق الشمس من جهته – وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَالَفَهُمْ ثُمَّ أَفَاضَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ

“Sesungguhnya orang-orang musyrik tidak bertolak ke Mina hingga terbit matahari dan mereka berkata: “Terbitlah, wahai gunung Tsabir”- yaitu sebuah gunung yang Matahari terbit dari arahnya- , Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyelisih mereka, maka Beliau bertolak ke Mina sebelum matahari terbit.” ( HR Bukhari )

Kemudian hendaknya dia menuju Mina  dan terus mengucapkan talbiyah, ketika sampai kepada lembah Muhassar – yaitu lembah yang terletak antara Muzdalifah  dan Mina- dianjurkan untuk mempercepat jalannya sedikit, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dianjurkan baginya untuk mengambil kerikil untuk melempar jumrah dari jalan yang dilaluinya atau dari Muzdalifah, karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh Ibnu Abbas untuk mengambil kerikil sedang beliau di atas untanya.  Kerikil yang diambil ukurannya sedang ( antara yang kecil dan yang besar ), karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menggenggam kerikil, seraya bersabda :

بأمثال هذا فارموا

Dengan kerikil seperti ini, maka hendaknya kalian melempar jumrah “ 

Mengambil kerikil dari Muzdalifah lebih mudah, karena di Mina sangat jarang di dapat kerikil-kerikil tersebut. Berkata Sa’id bin Jubair, “Mereka ( para sahabat ) membekali diri dengan kerikil-kerikil yang diambil dari Muzdalifah.”