Ramadhan mubarak. Bulan yang penuh berkah, yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan yang telah Allah SWT jadikan di dalamnya puasa sebagai fardhu dan shalat malamnya sebagai tathawwu’. Bulan yang siapa saja beramal kebaikan, samalah ia mengerjakan fardhu di bulan yang lain; dan barang siapa melakukan fardhu, samalah ia mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan lain. Bulan yang Allah tebarkan di dalamnya beragam kebaikan. Sungguh ramadhan merupakan kesempatan emas meraih sebanyak-banyaknya pahala, dan sungguh merugi setiap muslim yang menyia-nyiakan kesempatan ini.
Suasana Ramadhan dengan segala kebaikannya membangun nuansa religius yang sangat terasa bagi umat islam. Hal ini dengan mudah kita saksikan. Mulai dari tayangan televisi yang bernuansa islami, dari sahur sampai buka. Para artis ramai mengenakan penutup aurat, busana muslim menjadi trend. Sampai kebijakan pemerintah menutup tempat-tempat hiburan malam, tempat prostitusi, dan razia miras menjadi agenda tahunan demi menjaga kekhusyu’an ibadah Ramadhan.
Hanya saja, sebuah ironi kerap kali terjadi pasca Ramadhan. Ramadhan yang sering diidentikkan dengan bulan tarbiyah (pembelajaran) dan di ujungnya di harapkan kita bisa menjadi insan yang lebih bertaqwa, sering tidak menampakkan hasil yang diharapkan. Betapa tidak, suasana islami dan berlomba-lombanya melakukan kebaikan sering hanya kita temukan di dalam bulan ramadhan. Selebihnya di luar ramadhan semua kembali seperti semula. Penutup aurat kembali dibuka, tempat-tempat hiburan malam yang identik dengan kemaksiatan juga kembali di buka. Sungguh sangat menyedihkan.
Arus kehidupan sekuler
Realitas seperti itu terjadi, dan kerap terulang setiap Ramadhan berakhir. Padahal seharusnya kehidupan islami tak hanya ada pada bulan ramadhan yang hanya sebulan. Harusnya kehidupan islami ada sepanjang hari, sepanjang tahun. Tapi mengapa realitas selalu tak seindah harapan?
Bulan Ramadhan memang bulan penuh ampunan dan rahmat. Hingga Ramadhan sering dianggap sebagai momen tepat untuk banyak berbuat baik dan bertaubat dari dosa-dosa yang telah dibuat sebelas bulan yang lain. Sebuah anggapan yang patut dikritisi. Begitu juga anggapan bahwa di bulan ramadhan tidak boleh berbuat maksiat, sementara di bulan lain wajar dan boleh berbuat maksiat, sungguh sangat aneh dan menggelikan. Suasana islami di bulan ramadhan juga lebih sering dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk mengeruk keuntungan yang besar melalui tayangan-tayangan bernuansa islami, produk-produk bernuansa islami dan lainnya.
Ramadhan dianggap tak lebih dari ritualitas setahun sekali. Seolah nilai religiusitas ramadhan ya hanya pada ramadhan saja dan berakhir pula setelah ramadhan meninggalkan kita. Padahal sering sekali kita mendengar bahwa ramadhan adalah bulan pelatihan untuk ‘menahan diri’. Menahan diri dari yang di halalkan Allah pada siang hari ramadhan seperti makan, minum, berhubungan suami istri, dan lainnya. Dan ketika kita mampu menahan diri dari yang dihalalkan Allah, seharusnya akan berdampak pada lebih mampunya kita menahan diri dari yang diharamkan oleh Allah. Akan tetapi realitas menunjukkan sebaliknya.
Arus sekulerisasi di segala bidang kehidupan sudah tak terbendung lagi dan merasuk dalam kehidupan masyarakat. Agama hanyalah perkara ritual dan merupakan urusan setiap individu. Agama bahkan hanya dipasung di masjid dan di mushola, hanya ketika sholat, puasa, zakat dan sebagainya. Hingga nilai ritual agama sedikit sekali (jika tak ingin dikatakan tidak) berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Kita sering mendengar ibadah jalan maksiat juga jalan. Inilah buah sekulerisme yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Termasuk dalam menyikapi bulan Ramadhan yang mulia. Kadang Ramadhan dianggap bulan tobat dan bulan lain boleh maksiat, na’udzubillah.
Ketakwaan hakiki
Realitas yang kita lihat di tengah masyarakat juga menganggap esensi Ramadhan sebatas ibadah ritual puasa, sholat tarawih dan sedekah. Momentum ramadhan tidak dimanfaatkan sebagai ajang untuk perbaikan pola fikir dan pola sikap umat menjadi pola fikir dan pola sikap yang islami.
Ramadhan harusnya dimanfaatkan sebagai momentum perubahan yang lebih bersifat fundamental yaitu perubahan pemikiran. Dari pemikiran yang tidak sesuai dengan islam menjadi pemikiran islam. Perubahan pemikiran inilah yang akan mendorong perubahan sikap dan perilaku menjadi sikap dan perilaku yang sesuai dengan islam. Dan perubahan yang dimulai dengan perubahan pemikiran akan lebih kuat dan membekas, jika dibandingkan dengan perubahan yang hanya bermodal semangat dan perasaan semata.
Perubahan pemikiran bisa dilakukan dengan memberikan pembinaan islam yang intensif dan kontinyu di tengah masyarakat. Dan ramadhan bisa menjadi momentum yang tepat untuk semakin menggencarkan pengkajian keislaman. Hanya saja, kegiatan-kegiatan pengajian biasanya justru stop ketika ramadhan (terutama di kalangan ibu-ibu), karena dianggap mengganggu jadwal mempersiapkan buka puasa, dan sebagainya. Kalaupun ada biasanya hanya berupa kultum (kuliah tujuh menit) sebelum sholat tarawih atau selepas sholat shubuh yang sangat singkat dan kurang membekas.
Akhirnya yang nampak adalah efek yoyo. Semua hal yang telah bernuansa islami akan hilang begitu saja ketika ramadhan berakhir. Padahal yang kita harapkan adalah bagaimana agar ramadhan mampu memberikan perubahan hakiki pada setiap individu muslim. Menjadikan kita lebih takwa sebagaiman firman Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 183 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Takwa sebagaimana yang merupakan hikmah diwajibkan puasa bagi umat islam hendaknya tak sekedar slogan semata. Tapi hendaknya sebenar-benar takwa. Takwa yang mewujud dalam keterikatan hamba terhadap aturan-aturan yang diturunkan Allah dalam setiap aspek kehidupan, kapanpun dan dimanapun.
Takwa yang tak hanya dimaknai sebagai ketakwaan individu dengan hanya sholat, shaum, zakat atau haji. Tapi juga takwa ketika bermuamalah (berhubungan dengan sesama manusia) baik dalam aspek individu misal bergaul dengan ma’ruf sesuai dengan Islam, aspek ekonomi misalnya berjual-beli dan berbisnis dengan tatacara yang syar’i sesuai dengan hukum Islam, juga dalam aspek pendidikan, sosial, pemerintahan, politik dan hukum.
Ketakwaan yang hakiki akan nampak pada ketaatan dan ketundukan manusia kepada Allah, serta keikhlasannya dalam menerima seluruh aturan yang berasal dari pencipta-Nya. Aturan terbaik tentunya, karena berasal dari Dia yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 65 yang artinya “Maka demi TuhanMu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Dan ini hanya akan terwujud jika Islam tak hanya dianggap sebagai agama ritual dan spiritual tapi jika Islam dijadikan sebagai idiologi. Sebagai landasan hidup dalam setiap aspek kehidupan. Dan ini artinya nilai sekulerisme yang mengajak manusia memisahkan agama dari urusan kehidupan terlebih dalam pengurusan umat harus dihilangkan. Agar Ramadhan tak hanya sekedar ritualitas sekali setahun. Agar islam tak hanya sekedar di hati, tapi juga mewujud dalam setiap tingkah laku, dan tak hanya individu yg islami tapi juga terbangun masyarakat Islam yang menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu’alam bish shawwab.
Oleh: Syifaiyah – Mataram
Facebook