Andaikan Kita Terlahir Sebagai Seorang Nashara, atau Yahudi, atau Atheis

“Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah atas segala nikmat yang senantiasa terlimpah, nikmat iman, nikmat Islam, nikmat bla-bla-bla..”

Sudah berapa kali kita mendengarnya? Mengucapkannya? Di berbagai perhelatan manusia. Pidato, seminar, rapat, halaqoh, pengajian, kuliah, mentoring. Selalu kalimat itu yang menjadi pembuka. Sebuah kalimat syukur. Namun apa iya setiap mengucapnya kita benar-benar mensyukurinya, lisan dan hati dan perbuatan? Syukur yang murni terucap dari jantung yang berdegup kencang, syukur yang membuat tulang-belulang gemetaran, syukur yang membuat sekujur badan lemas dan hanya ingin terus menerus bersujud. Syukur sesungguh syukur. Syukur se-syukur-syukur-nya. Sudahkah kita, pun saya?

Ketika membaca Sirah 35 Shahabiyah jilid 2, saya menemukan sebuah kisah yang menampar diri. Kisah tentang seseorang yang mencari-cari Rabbnya. Zaid bin ‘Amr bin Nufail namanya, ayah dari ‘Atikah binti Zaid, mertua dari Zubair bin Awwam sang hawaari Rasulullah. Lelaki yang mencari siapa Tuhannya. Pernah suatu hari Asma’ binti Abu Bakar mendapati Zaid bin ‘Amr bin Nufail yang amat lanjut usia bersandar di dinding Ka’bah seraya menyesali mengapa tak ada orang-orang Quraiys yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Ada sebuah kalimatnya yang membuat saya amat pilu membacanya, seakan saya ingin berlari mendekatinya dan mengatakan bahwa ia tak sendirian.

Ia berkata dengan lirihnya, “Ya Allah, seandainya aku tahu ada satu makhluk yang lebih Engkau cintai, maka aku akan menyembah-Mu melalui perantaranya, akan tetapi aku tidak tahu.” Lalu ia pun sujud di tempatnya. Seandainya aku tahu, akan tetapi aku tidak tahu. Ada semacam sembilu yang mengiris-iris hati saya. Semacam kagum atas kegigihannya mencari Rabbnya, namun juga sedih atasnya. Ia rindu Rabbnya, ia amat rindu Rabbnya. Ia hanya tidak tahu, dan tak ada yang memberi tahu, itu saja.. Hingga suatu ketika Zaid bin ‘Amr menulis bait-bait puisi:

Apakah hanya satu Tuhan ataukah seribu tuhan,
Aku harus menyembahnya,
jika melihat urusan hidup ini begitu banyak?

Aku menjauhi Laata dan ‘Uzza, tanpa terkecuali
Itulah yang seharusnya dilakukan oleh setiap pemberani dan sabar
Aku tidak pernah menyembah ‘Uzza, tidak pula kedua anak perempuannya
Aku tidak mau menyembah dua berhala Bani ‘Amr atau mengunjunginya
Aku tidak mau bersujud kepada Hubal
Walaupun kaumku mengagungkannya sepanjang masa
Karena tidak masuk akal bagiku

Aku heran,
meskipun banyak hal yang mengherankan muncul di tengah kegelapan malam
atau di tengah siang yang hanya diketahui orang bijak
Allah telah menyiapkan sekian banyak orang besar
yang hidupnya penuh dengan kejahatan dan penyimpangan

Tetapi,
Allah membiarkan yang lainnya tetap hidup
Disanjung oleh kaumnya hingga beranak cucu

Ketika seseorang mencapai titik kejenuhan dari kehidupannya
Ia segera bangkit seperti batang pohon yang kembali berdaun
Aku hanya menyembah Ar-Rahmaan,
Dialah Tuhanku Hanya kepada Tuhan yang Maha Pengampun
Aku memohon fosa-dosaku diampuni

Bertaqwalah kepada Allah,
Tuhan kalian dan jagalah keyakinan itu
Jika kalian berhasil menjaganya
maka kalian tidak akan binasa

Engkau akan melihat orang-orang baik ditempatkan di dalam surga Sedangkan orang-orang kafir dijerumuskan ke dalam api neraka Mereka hidup di dunia dengan sengsara
Apalagi setelah mati,
semua yang diterimanya akan menyesakkan dada

Amat sedih saya membacanya, ini puisi yang gagah, yang tegas menyuarakan hatinya, namun tetap saja, ini puisi yang rindu. Lantas Zaid bin ‘Amr meninggalkan Makkah demi mencari agama Nabi Ibrahim, satu-satunya agama yang ia tahu dan percaya kebenarannya. Namun Al-Khattab bin Nufail, ayah dari Umar bin Khattab yang merupakan keluarga Zaid bin ‘Amr, selalu menyakiti dan mengasingkannya. Bahkan Al-Khattab bin Nufail menyewa seorang pemuda kasar Quraisy untuk menjaganya di pengasingan di Pegunungan Hira’.

Beliau diasingkan karena Al-Khattab takut Zaid akan mempengaruhi keyakinan orang-orang lain di Makkah sehingga mereka meninggalkan menyembah berhala. Hingga pernah suatu hari, Zaid sembunyi-sembunyi pergi berkelana untuk mencari ajaran Nabi Ibrahim. Hatinya tak tenang, amat besar kerinduannya terhadap Rabb-nya hingga ia tak kuasa untuk duduk diam dan bangkit mencari Tuhannya.

Ia bertanya kepada setiap pendeta dan pemuka agama yang ditemuinya di sepanjang jalan. Ia berkelana hingga ke seluruh pelosok Syam. Hingga ia bertemu dengan seorang pendeta terbesar Nasrani di Maifa’ah yang masih terbilang waliayah Balqa.’ Zaid pun menanyainya. Sang pendeta berkata, “Sesungguhnya engkau mencari agama yang saat ini nyaris punah dan tidak mungkin ada orang yang mengajarkannya lagi. Akan tetapi, sudah saatnya seorang Nabi akan muncul dari negeri asalmu. Ia akan mengajarkan agama Hanifiyah kembali yang dulu dibawa oleh Nabi Ibrahim. Kembalilah ke negerimu, karena aku yakin dia akan muncul sekarang, inilah saat yang tepat baginya.” Lantas Zaid segera kembali ke Makkah.

Saya membayangkan wajahnya amat bahagia karena ia akan segera menemui seseorang yang bisa membawanya kepada Rabbnya. Saya membayangkannya segera pulang secepat ia bisa, sesegera mungkin mencari pembawa risalah Rabbnya di negeri asalnya. Namun sayang, ketika sampai di suatu daerah yang dikuasai oleh Kabilah Lakhm, ia dicegat dan dibunuh.

Sampai di titik ini, saya membeku. Mengenang kembali betapa mudahnya kita memeluk agama ini, merasakan manisnya Islam, lembutnya iman. Terlahir dari Bapak-Ibu yang juga sudah terlahir Islam. Tak perlu bagi kita bersusah-susah mencari siapa Tuhan. Karena begitu kita lahir, nama-Nya sudah didengungkan lewat adzan di telinga kanan.

Andaikan kita terlahir sebagai seorang Nashara, atau Yahudi, atau Atheis, atau apapun itu yang tak mengenal Allah, apa iya kita akan amat berjuang layaknya Zaid bin ‘Amr yang mencari siapa Tuhannya? Jika kita terlahir kafir, hidup dengan orang-orang kafir, apa iya kita akan bisa mengenal-Nya dan mencintai-Nya seperti ini? Maka nikmat Islam, nikmat Iman, ia amat layak untuk disyukuri. Allah, tetapkan Islam dan iman di hati kami, dalam jiwa kami, hingga maut menghampiri.

Oleh: Shahfira Alif Asmia, Bintaro
FacebookTwitterBlog