Keterampilan menyampaikan prinsip yang dengan amat tegas kita anut, dengan anggun & tak menyinggung sesama, amat perlu kita pelajari dari para Sesepuh.
Khazanah Muhammadiyah
Adalah KH A.R. Fachruddin (Pak AR), Ketua PP Muhammadiyah 1968-1990, sama seperti Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam soal jumlah raka’at shalat Tarawih; memegang teguh hadits ‘Aisyah yang menyebut angka 11.
Pada suatu ketika beliau diundang berceramah Ramadhan di sebuah Masjid besar di Surabaya. Setelah kuliah Tarawih disampaikan sebakda ‘Isya’, ternyata beliau didaulat menjadi Imam. Berupaya menolak, beliau didesak.
Maka beliau bertanya pada hadirin, “Bapak ibu sekalian, biasanya shalat tarawih di sini dilaksanakan 8 atau 20 raka’at njih?”
“Dua puluhhhhh,” teriak hadirin kompak.
“Baik,” ujar Pak AR, “Semoga saya juga mampu melaksanakan sebagaimana yang sudah menjadi kebiasaan.”
Rangkaian Shalat Tarawih di Masjid ini biasanya selesai sekira jam 20.00 meski jumlah raka’atnya banyak. Ketika Pak AR menjadi Imam, bacaannya panjang-panjang dan shalatnya amat thuma’ninah. Pada jam 20.30, shalat baru selesai raka’at kedelapan.
Maka Pak AR menghadap hadirin & bertanya, “Bapak ibu sekalian, mengingat waktu, kita selesaikan sampai 20 raka’at, ataukah kita witir saja?”
Hadirin serempak menjawab, “WITIIIRRRR!”
Khazanah Nahdhiyah
KH ‘Abdul Wahab Chasbullah, Tambakberas (Mbah Wahab) yang pakar Ushul dengan KH Bisri Syansuri, Denanyar (Mbah Bisri) yang pakar Fikih adalah sesama murid utama Hadhratusy Syaikh sekaligus kawan diskusi beliau. Bahkan Mbah Wahab dan Mbah Bisri beriparan. Bu Nyai Khodijah, adik Mbah Wahab, dinikahkan pada Mbah Bisri.
Tapi dalam segala soal, mereka hampir selalu 180 derajat. Mbah Wahab global dan longgar. Mbah Bisri detail dan ketat. Banyak sekali kisah tentang sepak-menyepak pendapat di antara keduanya yang selalu berakhir dengan berebut saling melayani dalam makan.
Ada pula kisah ini. Seorang bapak sowan Mbah Bisri menyampaikan kemusykilannya. “Mbah,” ujarnya, “Saya sudah meniatkan ‘Idul Adha ini hendak berkurban. Lha kemarin saya sekeluarga itu 7 orang; saya, istri, dan 5 anak, sehingga saya beli sapi, Mbah. Lha niatnya untuk berserikat serumah, biar nanti kalau sapi itu seperti kata Pak Kyai di desa kami jadi tunggangan masuk ke surga biar kompak begitu. E lha kersaning Allah, tadi malam istri saya melahirkan lagi itu. Jadi kami sekarang 8 orang. Kalau 1 sapi diniatkan ber-8 boleh Mbah?”
Pemahaman tentang ‘tunggangan ke surga ini barangkali musykil, tapi Mbah Bisri ataupun Mbah Wahab nanti tak hendak menyinggung itu.
“Wah, ya tidak boleh. Fikihnya jelas’e, 1 sapi berserikatnya 7 orang. Nggak boleh lebih itu.”
Dengan lemas, si penanya pulang. Tapi tetiba terpikir satu hal, dia segera belok ke Tambakberas. Barangkali jawaban Mbah Wahab beda.
“Ooo bolehhh.. Ya bolehhh tooo.. Masak mau niat baik ndak boleh?” kata Mbah Wahab. Si penanya girang. Lha bener kan. Mbah Wahab beda.
“Tapi anakmu yang bungsu itu baru lahir semalam ya?”
“Iya Mbah.”
“Wah ya, kalau harus naik bersama-sama ke sapi yang tunggangan kalian bertujuh itu ya kasihan. Naiknya ke punggung sapi itu lak ya ngrekel-ngrekel. Susah.”
“Terus bagaimana Mbah?”
“Ya biar bisa naiknya mudah, kamu kasih ancik-ancik, kamu kasih pijakan biar bisa nggabung. Pijakannya satu ekor kambing.”
“O begitu Mbah.”
“Iya. Jadi kamu nanti sembelih 1 sapi dan 1 kambing untuk qurban. Biar kompak sekeluarga bertujuh ditambah bayinya jadi berdelapan to?”
“O iya Mbah. Siap Mbah. Ngesto’aken dhawuh.”
Sang penanya pulang dengan berseri-seri. Ketika cerita jawaban Mbah Wahab ini sampai pada Mbah Bisri, beliau bergumam, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmin ‘aliim.. [QS Yusuf: 76]”
Ustadz Salim A Fillah