Antara Dinasti Umayyah dan Abbasiyah

Daulah Umayyah adalah dinasti yang raja-rajanya merupakan keturunan dari Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Secara nasab, ia masih terbagi menjadi dua periode, yaitu Sufyaniyah (keturunan Abu Sufyan ibn Harb, ayah dari raja pertama Islam, Mu’awiyah), dan Marwaniyah (keturunan Marwan ibnul Hakam).

Sedangkan Daulah Abbasiyah yang datang setelahnya melalui pemberontakan, adalah dinasti yang raja-rajanya merupakan keturunan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdu Manaf.

Jadi, kedua dinasti ini bertemu nasabnya di Abdu Manaf. Adapun kedua putra Abdu Manaf yang menjadi nenek moyang kedua dinasti, yaitu Hasyim dan Abdu Syams, dikatakan bahwa keduanya adalah saudara kembar.

Masa Daulah Umayyah adalah 91 tahun (41 H – 132 H) dengan 14 khalifah. Sebagian ulama menafsirkan bahwa para khalifah Bani Umayyah beserta khulafaur rasyidin adalah yang dimaksudkan oleh Rasulullah pada sabda beliau:

لا يزال هذا الدين قائما حتى يكون عليكم اثنا عشر خليفة ، كلهم تجتمع عليه الأمة

“Senantiasa agama ini akan tegak sampai berlalu atas kalian 12 khalifah, umat semuanya bersepakat atas mereka.” [HR Abu Dawud]

Hal ini karena selama pemerintahan Bani Umayyah, umat bersatu dalam satu kepemimpinan, hanya sempat terjadi dualisme kekuasaan ketika masa ‘Abdullah ibn Az Zubair, dan itu tidak lama.

Selain itu juga karena masa Bani Umayyah masih termasuk kurunnya salaf, yaitu kurun terbaik dimana beberapa sahabat Nabi masih hidup, ilmu masih terjaga, dan kekhalifahan kuat dan mengalami perluasan yang luar biasa dari perbatasan Cina-India, sampai ke Maroko dan Andalus (Spanyol), dan untuk setiap provinsi, gubernur dipilih oleh pemerintah pusat.

Sedangkan pada masa ‘Abbasiyah, sejak berdirinya justru telah ada beberapa negara yang berdiri sendiri atas rekomendasi khalifah semisal dinasti Aghlabiyah (Tunisia) dan dinasi Thahiriyah (Khurasan). Sebagian lagi memisahkan diri secara independen, semisal dinasti Umayyah (Andalus) dan Idrisiyah (Maroko).

Selanjutnya menyusul pemisahan Mesir dan Suriah pada tahun 254 H menjadi dinasti Thuluniyah, kemudian dinasti Ikhsydiyah. Adapun Thahiriyah kemudian dikalahkan oleh Bani Shaffar sehingga Khurasan menjadi milik dinasti Shaffariyah, yang selanjutnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Lalu pada 297 H, muncul Dinasti Fathimiyah yang mengalahkan dinasti-dinasti di atas sehingga berkuasa di bagian barat (Maroko, Mesir, Hijaz, Suriah).

Sedangkan dua daulah besar lain: ‘Abbasiyah tetap di Baghdad (Irak), dan Umayyah II tetap di Andalus. Di daerah Persia ada dinasti Buwaih, sedangkan di Mosul dan Halab ada dinasti Hamdaniyah.

Setelah itu masih ada nama-nama seperti dinasti Ghaznawiyah, dinasti Seljuk, dinasti Rustamiyah, Sajalmasah, dan Qaramithah. Kemudian Mamluk, Khawarizmiyah, Artaqiyah, Atabikiyah, Ayyubiyah, Hafsiyah dan Murabithun, serta Muwahhidun.

Pada tahun 656 Hijriyah, Baghdad diserbu pasukan Tartar (Mongol) dan khalifah ‘Abbasiyah terbunuh. Ketika Tartar hendak meneruskan serangan ke Mesir, mereka terpukul mundur sehingga kembali dan hanya berkuasa di Irak, Iran, dan India, dengan kekuasaan yang dikenal dengan dinasti Ilkhaniyah, yang kemudian nantinya sebagian raja-rajanya memeluk agama Islam.

Adapun keturunan ‘Abbasiyah yang selamat dari serangan, melanjutkan kekuasaannya di Mesir namun hanya berstatus sebagai khalifah bayangan (formalitas) di bawah para sultan Mamluk. Sampai pada saatnya nanti berperang dengan Bani Utsman sebagai cikal bakal Daulah Utsmaniyah.

Demikian sekelumit mengenai sejarah yang terkait dengan Dinasti Umayyah dengan Bani Abbasiyah secara umum, untuk memperluas wawasan kita mengenai dinamika kerajaan-kerajaan yang berlalu setelah khulafaur rasyidin. Umat ini telah ribuan tahun tidak berada dalam kepemimpinan tunggal, maka semoga tidak lama lagi terwujud apa yang telah disabdakan Rasulullah: kembalinya Khilafah di atas Manhaj Kenabian. Aamiin.

Ristiyan Ragil