Di tengah kehidupan yang begitu rupa. Ada seorang al mala’ (penguasa) di sebuah negeri. Suatu saat, datanglah seseorang dengan tergesa ke arah sang penguasa. ’Hai penguasa dzalim, kau telah melakukan kejahatan kepada manusia!’. Kalimat itu berlanjut dengan cacian dan makian yang tak karuan. Penguasa itu, menyimak setiap perkataannya. Hingga setelah ia selesai dengan hajatnya itu, sang penguasa pun berkata. ‘ Hai saudaraku, bersikaplah lemah lembut. Sesungguhnya Sang pemilik segala kelembutan telah mengutus orang yang lebih baik dari kamu kepada orang yang lebih buruk dariku. Dia telah mengutus Musa dan Harun, yang tentunya lebih baik dari kamu, kepada Fir’aun yang lebih buruk dariku. Yang Maha Penyayang telah berwasiat kepada Musa dan Harun dengan firmannya :
’Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang layyina (lemah lembut), mudah-mudahan ia ingat atau takut.’ (Thaha : 43-44)
Manakah sebenarnya yang lebih perlu diperhatikan? Sampainya sebuah kebenaran kepada seseorang, ataukah perubahan menuju kebenaran ? Kadang, tak mudah untuk memilih yang kedua. Padahal tujuan bagi tersampaikannya pesan, bukan pesan itu saja, tapi pada perubahan perilaku atau ketaatan untuk kembali kepada isi pesannya. Sungguh, kemasan itu ternyata punya arti yang penting. Sudahkah kita melakukannya? Mengemas pesan kebaikan kita kepada setiap orang agar mereka menerimanya dan sekaligus melakukannya ?
Kadang batas antara ketulusan menyampaikan kebenaran dengan keinginan untuk menjatuhkan kredibilitas manusia lain terasa tipis saja. Betapa ‘bahagianya’ saat pihak yang tak kita sukai terpojok dan berkubang salah. Hingga, dengan sangat entengnya kita ungkap semua keburukan dan ketidakbecusan yang ada padanya. Jika yang tampak adalah demikian, betapa nelangsanya sang ‘pengungkap’ kebenaran. Ia seolah berdiri pada lintasan yang benar, namun pada dasarnya, ia sedang menggali lubang untuk dirinya sendiri. Ini adalah sikap mental. Sikap mental yang terbangun karena pikiran yang tak semestinya ada pada penyeru kebenaran.