Dulu, jaman aku sekolah, seringkali banyak penyandang tuna daksa yang keliling menawarkan hasil karya mereka ke rumah-rumah. Macam-macam barang yang dibawa; keset dari perca, sapu ijuk, hiasan dari perak bakar, asbak kayu, dll. Aku ingat, Bapak punya kebijakan, selalu membeli salah satu barang yang ditawarkan. meski kami tidak membutuhkan benda itu. Semata menghargai hasi karya mereka, sekaligus membantu keuangan panti asuhan penyandang cacat tempat mereka bernaung.
Sekarang, setelah aku menikah dan tinggal di kota besar, tak tampak lagi penyandang cacat yang keliling berjualan seperti itu. Yang jamak ya pengamen atau pengemis. Kemana mereka? Apakah hasil karya mereka langsung tersalurkan ke distributor yang mengurusi penjualannya sehingga kehidupan mereka lebih terjamin?Atau justru sebaliknya?
Beberapa tahun lalu, saat aku dan teman-teman masih aktif membina anak-anak panti asuhan dinas sosial Tunas Bangsa yang menampung anak-anak putus sekolah tapi berpotensi dari berbagai pelosok nusantara, aku mengamati sebuah fenomena. Dari berbagai jenis keahlian yang ditawarkan, anak-anak perempuannya cenderung memilih keahlian sebagai kapster salon, sedang laki-lakinya memilih keahlian perbengkelan. Beberapa alumninya kadang masih kontak, dengan sms padaku atau suamiku yang membuat kami miris, “Pak, saya gak betah kerja di tempat yang lama, majikannya bla bla bla. Ada info lowongan yang butuh montir gak Pak?”
Duh, sedihnya.. tapi tak bisa membantu lebih jauh.
Lain lagi saat aku bersama teman-teman muslimah berkesempatan membina ruhani para PSK yang ditampung di panti asuhan Karya Wanita Mulya Jaya, sedih memandang gadis-gadis belia usia SD sudah terbiasa dan dipaksa menjajakan dirinya. Entah oleh lingkungan, keluarganya atau pihak lain. Mereka masih polos-polos, dengan dandanan menor, bergaya cuek dan tampak tidak peduli dengan apapun yang kami sampaikan. Entahlah, mungkin merasa dipaksa dibina di panti tersebut (karena yang ditampung di situ adalah hasil razia). Berbeda dengan para PSK yang sudah berumur, kadang seusai acara, mereka mendekati kami. Dengan terisak mengatakan, sebenarnya ingin berhenti dari pekerjaan haram itu, tapi merasa tak punya bekal yang memadai. Kami yang cuma datang sepekan sekali untuk sekedar memberikan siraman ruhani, hanya bisa menghibur sambil miris. Mungkin, dia seusia bibi atau tanteku, tapi masih harus berkubang dalam dosa hingga entah kapan. Lalu kami mampu berbuat apa?
Untuk kalian, semua yang berkelebat-kelebat dalam bayangku saat ini, mereka para penyandang cacat itu, anak-anak putus sekolah, juga PSK yang tua maupun muda. Kudoakan semoga ada jalan keluar terbaik untuk kalian.