Saudaraku, barangkali dulu kita pernah belajar tentang ilmu karang-mengarang. Pada waktu SMP atau SD, kita sudah diajari ilmu ini. Bu Guru atau Pak Guru yang memberikan dasar-dasarnya. Namun pada waktu SD, kita masih terbiasa mengarang dengan tema yang telah ditentukan, tema yang tidak dapat kita tolak dan tidak dapat kita protes. Pengalaman saya waktu itu, saya disodori beberapa gambar yang berangkaian dan saling berhubungan, kemudian diberi instruksi: “Buatlah karangan berdasarkan gambar di bawah ini!” Itu terjadi ketika saya masih berada di bangku SD, mungkin sekitar kelas tiga atau empat.
Semakin tinggi kelasnya, tugasnya semakin bertambah. Ketika sudah di kelas enam, gambar yang ditampilkan bertambah rumit. Satu hal yang saya tangkap, meski hal tersebut baru saya sadari akhir-akhir ini, yaitu bahwa pada waktu itu kita sudah diajarkan untuk bermimpi, berimajinasi. Atau paling tidak, sampai pada level ini kita sudah diajari bagaimana untuk mengembangkan karangan, meski itu masih berdasarkan gambar yang sudah ada.
Ketika SMP, pelajaran mengarang sudah lebih maju lagi. Saat itu kita sudah diajari mengarang dengan tanpa harus melihat gambar. Gambar-gambar itu sudah dibuang sekarang. “Malu, nanti dikira anak SD!” Gambar-gambar itu menjadi semakin abstrak. Pada tingkatan ini, kita hanya disuguhi tulisan, sebuah tema yang berbentuk tulisan, rangkaian kata yang membentuk makna.
Sekali lagi, kita sukses mengembangkannya menjadi sebuah karangan. Meskipun dengan usaha yang payah, kita bisa juga menyelesaikan jalan ceritanya. Meskipun kemudian ketika dilihat dan dicermati, jalan ceritanya kadang tidak menarik untuk disimak, terlalu monoton atau mungkin terlalu naif.
Namun ini masih wajar. Pada masa ini, terjadi perkembangan cara berfikir dari visual menuju ke abstrak. Dari yang tadinya bergambar menjadi sekadar kata, meski kita masih bisa membayangkan. Di kelas tiga SMP, kita mungkin sudah lebih canggih lagi. Kita sudah bisa membuat cerita dengan alur yang enak dibaca. Pada level ini, kita telah mencapai sebuah lompatan besar dalam mengembangkan tema.
Pada tingkat selanjutnya, karangan kita sudah mulai dibiarkan mengalir. Kita hanya kita hanya diberikan tema besarnya.Sedangkan tema spesifiknya bebas kita tentukan sendiri. Misalnya untuk sebuah tema besar “persahabatan,” kita bisa menentukan tema spesifik, “persahabatan Sampai pada suatu saat kita dibebaskan menentukan tema karangan kita. Yang kadang hal itu justru membuat kita kebingungan. Bahkan ada komentar dari seorang teman “Wah kenapa harus dibebaskan sih temanya? Kalau gini malah lama selesainya. Kan harus mikir dulu…”
Ya, ketika tema tidak ditentukan–kita diberikan kebebasan untuk menentukan tema–ada kemungkinan kita akan bingung. Apalagi kalau kita termasuk orang yang kuper, gaptek, ga melek informasi, ga melek politik, dll. Dijamin karangan yang kita buat akan membosankan, penuh asumsi dan tidak ada inovasi karena miskin referensi dan informasi. Namun akan berbeda bila kita sering baca referensi, menyaring informasi bahkan mengkaji kitab suci. Maka akan ada cukup banyak tema yang bisa diangkat. Pada tahapan ini, sekali lagi, kita bisa melewatinya. Kita berhasil memecahkan persoalan ini, mengarang dengan topik yang ditentukan oleh penilai/guru. Pada level ini, kita telah mencapai tingkat imajinasi tinggi. Kita mulai bisa menangkap makna-makna abstrak yang tersembunyi di alam semesta ke dalam tulisan-tulisan kita. Inilah sebenarnya kemampuan yang harus kita miliki.
Jika kita tilik kembali, perjalanan ilmu karang-mengarang itu sangat melelahkan. Namun begitu kita lulus SMA atau kuliah kemudian bekerja, ilmu itu seakan kita lupakan. Padahal ilmu itulah yang akan tetap mengontrol kita, memengaruhi hidup kita. Lho, kok bisa? Jika dahulu kita diajarkan bahwa dalam menentukan tema haruslah spesifik. Sebenarnya begitu pula hidup, tema kita juga harus spesifik. Kita pun juga harus punya banyak referensi.
Nah, sampai di sini pun kita masih unggul. Kita punya referensi yang tidak akan pernah habis, sumber inspirasi yang terus menarik untuk digali: al-Qur`an. Dan tema kita telah ditentukan oleh Allah. Illa Liya’buduun..! Khalifatu fil ard! Maka tidak usah bingung. Kita tinggal mengembangkan pokok-pokok pikiran itu menjadi paragraf yang baik, menjaga struktur dan kesinambungannya dengan paragraf yang lain, serta menjaga koherensinya dengan ide utama, tema utama.
Boleh jadi banyak sekali lintasan-lintasan pikiran yang ingin kita tuangkan ke dalam kalimat, tetapi setelah ditulis, ternyata rasanya tidak senapas dengan tema kita. Maka jika kita ingin mempertahankan keutuhan karangan, kita harus mencoretnya. Membuangnya dari paragraf kita. Begitupun hidup kita. Saat kita berbuat sesuatu yang keluar dari tema hidup kita, jika saja kita masih ingin mempertahankan koherensi dan struktur kehidupan kita, maka kita harus segera mengubahnya, membuang perilaku itu. Agar orang yang membaca atau orang yang menilai karangan tersebut memberi kita nilai sempurna.
Maka dari itu, semenjak sekarang gunakanlah kembali ilmu itu, tentukan dengan segera apa tema hidupmu: apakah hidup bertema surga, ataukah hidup bertema neraka? Tentukan sekarang juga. Jangan sampai menyesal. Kemudian segera kembangkan tema itu ke dalam pokok-pokok pikiran. Kemudian, dari pokok pikiran hidup itu buatlah kisah, paragraf kehidupan yang sejalan dengannya dan senapas dengan tema utama. Pertahankan susunan dan strukturnya agar terjaga koherensinya dengan tema utama hidup kita. Jangan sampai karangan ditulis dengan asal-asalan, kacau balau, lalu ketika sampai pada paragraf terakhir, kita baru tersadar belum menentukan tema. Saat itu adalah saat yang sudah terlalu terlambat untuk memulai. Maka selagi masih ada kesempatan, tentukan ia dari sekarang.
Jadi, apakah tema hidupmu?