Dalam ushul fiqih, ada bahasan tentang apakah kebenaran itu satu atau berbilang. Yang dimaksud kebenaran di sini adalah kebenaran ijtihadi, bukan kebenaran mutlak dalam perkara ushul (aqidah maupun syariah).
Ada madzhab yang menyatakan bahwa seluruh mujtahid itu benar dalam ijtihadnya, walaupun kesimpulan hukum mereka masing-masing berbeda. Ada juga madzhab yang menyatakan bahwa pendapat yang benar hanya satu, sisanya salah. Yang terakhir ini merupakan madzhab jumhur.
Hanya saja, sebagaimana kata imam Ahmad: “Mujtahid yang ijtihadnya benar, dapat dua pahala. Sedangkan mujtahid yang ijtihadnya salah, dapat satu pahala.” Artinya, walaupun keliru. Ia tidaklah berdosa, malah dapat pahala.
Nah, saya coba tarik ini pada pembahasan ‘klaim kebenaran’. Bolehkah kita mengklaim kebenaran mutlak ada pada kita dan kelompok kita? Jawabannya adalah, -sebagaimana dijelaskan oleh para ulama-:
Dalam perkara ushul (pokok agama), boleh bahkan wajib mengklaim kebenaran mutlak seperti ini. Misal: Allah itu ahad, tidak beranak dan diperanakkan; Shalat lima waktu itu wajib; Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu Nabi dan Rasul terakhir, tidak ada lagi Nabi setelahnya.
Dalam perkara-perkara ijtihadi, baik dalam persoalan keyakinan (misal: apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat melihat Allah secara langsung di dunia, atau tidak) maupun fiqih, boleh dan wajar menyatakan pendapatnya benar, dan selainnya keliru. Namun ini tak boleh dimutlakkan, apalagi dijadikan landasan untuk permusuhan.
Kebenaran dalam perkara ijtihadi ini adalah kebenaran yang tidak mutlak. Kebenaran yang masih mengandung kemungkinan salah. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama: “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan keliru. Pendapat selainku keliru, namun memiliki kemungkinan benar.”
Sayangnya, kadang:
1. Ada yang menjadikan perbedaan dalam ranah ijtihadi ini sebagai dasar al-wala wal-bara. Yang sependapat, adalah saudara kita fil iimaan. Sedangkan yang berbeda, berarti ia adalah musuh kita yang wajib ditinggalkan dan dihindari.
2. Ada juga yang menjadikannya landasan manhaj. Yang berbeda, berarti bukan ahlus sunnah.
3. Ada juga yang tak paham ushul dan furu’, hingga memasukkan perkara-perkara ijtihadi ke dalam bahasan ushul. Sampai-sampai ia kafirkan, atau minimal sesatkan, pihak yang berbeda. Jika pun tak halalkan darahnya, ia halalkan kehormatan mereka. Lalu, muncullah sumpah-serapah dan berbagai tuduhan tak berdasar pada muslim yang lain.