“Dari siang belum makan nih, laper”, kata seorang abdi negara, sebut saja Karim, sepulang dari kantor senja hari.
“Lho, kenapa gak ke kantin?” tanya istrinya.
Lalu mengalirlah cerita dari Karim. Siang itu dia dengan tenang makan di kantin yang ada di kantornya. Tapi sudah dua kali ini, tiap mau membayar, ibu haji kantin cuma bilang, “Dari ruang sebelah kan, Pak? Gampanglah nanti, Pak. Nggak usah.”
Karim bingung, aneh kenapa ibu kantin gak mau dibayar. Bertanyalah dia pada teman di ruangannya yang sudah jauh lebih lama di kantor itu, bagaimana kalau mau bayar makan di ibu kantin itu, siapa sebenarnya yang membayar tagihannya. Temannya cuma menjawab, “Wah, gak jelas juga tuh. Saya tahunya ya gak pernah bayar aja selama ini.”
Dengan instingnya dan praktek yang berjalan selama ini, Karim mulai memahami, sudah ada alokasi ‘khusus’ dari orang tertentu yang menanggung semua orang di ruangan kantor itu jika makan ke kantin. Semacam tanda terima kasih atau apalah, dari klien.
“Itulah kenapa tadi gak makan siang. Mau ke kantin itu jadi ragu. Cari kantin yang lain jauh banget.” Karim menutup ceritanya.
Istrinya, tentu saja khawatir, “Waduh, ya jangan nggak makan gitu, Mas. Lebih baik besok bilang aja ke ibu haji kantin: khusus untuk saya tolong diitung aja dan akan saya bayar langsung setiap kali saya makan. Semoga ibu haji itu mau mengerti” sarannya pada suaminya.
“Hmm, iya. Besok dicoba.”
Kadang, korupsi begitu halus terbingkai dalam berbagai cara, tanpa disadari jika kita tak waspada. Akan jadi apa tubuh kita, pikiran kita, hati kita, jika untuk memenuhi asupan gizi saja dari uang yang tak jelas asal usulnya? Bukankah itu laksana menyimpan api dalam perut kita?
Jadi ingat dengan cerita si mbak, beberapa hari lalu. Tentang beberapa ibu yg pada ‘nilep’ belanjaan di Asep, Abang sayur deket rumah. Oleh karena pagi hari banyak pembeli, Asep pasrah, “Yang tahu yang Di Atas lah.”
Saya berpikir tentang sayuran yang ditilep itu, ngambil gak bayar, yang lalu dimasak dan dihidangkan bagi suami dan anak-anaknya. Akan jadi apa di perut mereka? Sangat tak seberapa, tapi fatal akibatnya. Ini korupsi juga, yang melanda para ibu rumah tangga. Innalillahi, prihatin sekali.
Mau tak mau ingatan melayang jaman saya SMA, ibu kantin pernah saya tanya, “Bu, apa gak rugi dagang di sini? Teman-teman kan sering ‘nggabrul’ (membayar tidak sesuai item atau jumlah yang dibeli. Misal mengambil bakwan 5 tapi mengaku hanya mengambil 2-red) kalau jajan”. Dijawab dengan pasrah, “Walah, kalau mikir itu ya sudah lama gak jualan mbak. Wes ben wae gusti Allah sing pirsa.”
Atau juga saat naik kendaraan umum. Berapa banyak yang dengan santainya ngemplang tidak mau bayar? Atau membawa anak 4 tapi mengaku cuma 3, dan seterusnya?
Inilah negriku. Korupsi begitu menggurita. Dan dimulai dari hal-hal yang kecil seperti ini. Padahal di jaman Rasul, ada seorang yang syahid usai perang, tapi kata Rasul justru masuk neraka, karena dia sembunyikan rampasan perang, tak disetorkan dulu untuk dibagi secara adil. Bukan benda berharga, tapi hanya sebuah mantel tua. Hanya mantel tua, dan neraka akibatnya.
Lalu bagaimana dengan sayuran, bakwan, dan lauk-pauk yang tak dibayar itu? Juga dengan ngemplang tiket? Lalu bagaimana pula dengan uang milyaran atau harta berlimpah yang dimiliki dengan nista?
Steve shares some excellent tutorials and how-to videos on different technology hacks to help you enhance https://writemypaper4me.org/ your productivity.