Melihat liputan Al Jazeera tentang konferensi para pemimpin Negara-negara Teluk memberikan nuansa yang sama sekali baru, dimana kesan negara-negara teluk yang lamban, malas, pengecut dan kuno berubah 180 derajat. Semuanya dipicu oleh perubahan karakter dan arah kebijakan raja Arab Saudi yang baru yaitu raja Salman bin Abdul Aziz. Dalam 100 hari pertama dalam memerintah, raja ini menghasilkan banyak keputusan-keputusan berani yang membolak balik tatanan yang selama dianggap umat sebagai tatanan yang salah.
Raja Salman yang kini menjadi pemimpin terpopuler di Arab dan dunia Islam – mendampingi popularitas pemimpin Turki Erdogan – membentuk dua poros kebijakan yang memaksa membentuk peta jalan baru dalam dinamika politik dan sosial di Timur Tengah.
Poros Pertama
Adalah politik dalam negeri, raja Salman memecat semua pejabat pejabat tinggi Negara yang menduduki posisi posisi srategis yang dinilai terlalu berpandangan liberal. Pejabat pejabat semacam inilah yang menjadi otak dibelakang kudeta kudeta terhadap pemerintahan Arab yang demokratis seperti di Mesir dan Libya, oleh para pejabat tingg iyang dipecat raja Salman itu menganggap Mesir dan Libya terlalu Islami dan mengancam eksistensi system kerajaan. Posisi ini dimulai dari posisi putra mahkota, lembaga tinggi Negara, kementrian hingga level pemerintahan terbawah.
Dalam konteks yang sama, raja Salman berani menannggung resiko terhadap kursi kekuasaannya sendiri dengan mengantarkan generasi ketiga yaitu generasi cucu pendiri kerajaan untuk mendominasi stuktur kekuasaan di kerajaan Saudi. Seluruh putra mahkota dan mayoritas posisi posisi tertinggi dan strategis diestafetkan kepada generasi muda yang usianya berkisar antara 30 hingga 50 tahun. Raja Salman sudah berani memberikan posisi posisi kementerian strategis kepada rakyat biasa yang biasanya secara tradisi diisi oleh para pangeran seperti posisi Menlu. Baru kemarin, raja Salman memecat menteri kesehatan dan komandan garda kerajaan karena ketahuan bersikap kasar terhadap rakyatnya.
Dalam kebijakan ekonomi, raja Salman membuat keputusn heboh dan bersejarah dimana pada awal hari kekuasaannya menyisihkan ratusan milyar dolar untuk memperbaharui fasilitas fasilitas kesehatan, air, kebersihan rakyat yang sebenarnya sudah berada di atas standar. Raja Salman menaikkan penghasilan para pegawai menjadi 100 persen hingga dijuluki oleh rakyat Saudi sebagai raja penghapus hutang.
Jika disimpulkan, kebijakan poros pertama raja Salman didalam negeri Saudi adalah menciptakan transformasi Saudi kearah baru dinamika yang lebih cepat disegala aspek kehidupan Negara. Raja Salman tidak puas dengan julukan Saudi yang super kaya yang sekedar menikmati kemewahan, raja Salman menginginkan wujud Saudi yang ama sekali baru yang lebih beradab, modern, kuat menguatkan haluan Islam disegala bidang dan mengangkat harkat rakyatnya.
Poros Kedua
Adalah politik luar negeri raja Salman yang berubah drastis baik secara pendekatan, koalisi dan orientasi. Dalam pemerintahan mendiang raja Abdullah, Saudi cenderung reaktif terhadap perubahan sosial politik di Timur Tengah, Saudi menjauhi poros Turki dan Qatar yang pro perubahan dan pro pan Islam, Saudi mencap kekuatan Islamis terbesar di timur tengah Ikhwanul muslimin sebagai teroris, Saudi mendukung penuh secara politik dan ekonomi terhadap rezim opresif militer di Mesir, Saudi memusuhi HAMAS sebagai organisasi “semi teroris”. Saudi terkesan lemah dan membiarkan Iran menyebarkan pengaruhnya baik secara politis maupun ideologis/Syiah. Dalam hubungannya dengan barat, selama masa pemerintahan mendiang raja Abdullah Saudi melihat terorisme dari kacamata barat sepenuhnya, mirip seperti BNPT di Indonesia.
Sejak naik tahta, raja Salman merubah semua hal diatas sejak hari pertama kekuasaannya. Perubahan itu dibumbui oleh insiden insiden yang membetot perhatian pers, seperti sikap raja Salman yang hangat terhadap pemimpin Turki Erdogan saat pemakaman raja Abdullah, sikap ini sangat berbeda ditunjukkan kepada pemimpin Mesir yang sepertinya saya lihat di TV di perlakukan seperti pengemis jalanan. Dan sikap tegas raja Salman yang meninggalkan Obama untuk menunaikan solat fardhu saat adzan Asar mengumandang.
Banyak yang sinis terhadap insiden-insiden yang dianggap minor dan kecil ini, ternyata belakangan banyak yang menyadari bahwa insiden insiden ini merepresentasikan pandangan dan orientasi politik luar negeri raja Salman yang membolak balikkan fakta dan tatanan yang selama ini melekat di muka kerajaan Saudi sebagai sesepuh kaya yang cenderung menjaga dan mengurus diri sendiri.
Yah, Saudi berubah, Saudi berubah menjadi muda,enerjik,kharismatik dan berani. Secara mengejutkan, raja Salman ditengah malam meluncurkan operasi militer “Badai Penghancur” yang bertumpu kepada kekuatan udara. Operasi militer ini begitu fenomenal bukan semata karena kekuatan fisik militer, namun karena bersifat sangat monumental. Baru kali ini Negara Negara Arab mampu bersatu dibawah pimpinan Saudi tanpa pengaruh barat dalam menginisiasi sebuah operasi militer, Amerika baru ikut terlibat menjelang operasi ini berakhir. Setelah 1 dekade lebih baru kali ini tercipta polarisasi yang luas dikalangan muslim global yang menyatu dan mendukung sebuah operasi militer. Sasaran utama dari operasi militer ini adalah upaya menghentikan pemaksaan penyebaran faham Syiah di negara-negara Arab. Paham Syiah adalah paham yang selalu menghantui eksistensi Islam selama ribuan tahun, secara politis, paham syiah adalah upaya pengembalian kejayaan imperium Persia yang runtuh oleh khalifah Islam kedua Umar bin Khattab, hal ini sangat mendalam bagi orang Arab dan Islam secara umum.
Dalam arah persekutuan geopolitik, Saudi di era mendiang raja Abdullah sempat beberapa kali mendekat ke rezim Iran demi membentuk kekuatan untuk mengalah lawan lawan politiknya dikawasan timur tengah. Saudi di era mendiang raja Abdulloh kerap berseteru secara politik dengan Turki dan Qatar, bahkan dalam suatu insiden diplomatic, Saudi di Era mendiang raja Abdullah sempat menggalang aksi penarikan duta besar Negara-negara teluk di Qatar. Kini di era raja Salman hal ini berubah 180 derajat, hubungan Saudi dengan Turki dan Qatar seakan akan terasa sudah dekat sekian lama. Saat operasi “badai penghancur” Negara yang pertama di kunjungi oleh putra mahkota Saudi adalah Turki, oleh Erdogan, Turki menyatakan menjamin kedaulatan Saudi Arabia jika Iran mencoba coba menyentuh kedauatan Saudi Arabia. Stasiun televisi berita nomor satu didunia yaitu Al Jazeera milik Qatar kini selalu mendukung apa yang menjadi maneuver geopolitik Saudi sebagai satu kesatuan umat.
Adapun ke Mesir, Saudi pada masa mendiang raja Abdullah, setiap kunjungan pemimpin kudeta Jenderal Abdul Fattah Al Sisi, jenderal yang tangannya berlumuran darah rakyatnya sendiri ini selalu mengecup jidat mendiang raja Abdullah setiap berkunjung ke Saudi. Ada lagi insiden yang menarik, saat mendiang raja Abdullah berkunjung ke Mesir, diktator Al Sisi melanggar protokol kenegaraannya sendiri dengan mendatangi mendiang raja Abdullah ke pesawatnya. Saat raja Abdullah meninggal, sepertinya sang diktator Mesir ini sudah mengetahui persis siapa sebenarnya raja Salman, sang diktatorpun berubah sikap, diktator yang rajin mengecup jidat raja Abdullah ini memilih emoh mengawal pemakaman sang raja…
Raja Salman menegaskan, bahwa dia tidak mau menjadikan lebih banyak harta Saudi yang terpakai untuk menjadi alat penindas militer terhadap rakyatnya sendiri. Dalam beberapa kesempatan, pembantu pembantu raja Salman kerap menyatakan apa yang terjadi di Mesir adalah “tragedi yang tidak seharusnya terjadi”. Sikap ini memancing emosi media media Mesir yang pro kudeta, setiap hari yang menu utamanya adalah menghina Ikhwanul Muslimin kini sudah berganti menu menjadi menghina Saudi dan keluarga kerajaannya.
Sikap yang membuat lega banyak kalangan muslim adalah politk Saudi terhadap Palestina. Selama satu decade lebih, Saudi diera mendiang raja Abdullah konsisten melemahkan salahsatu basis perjuangan rakyat Palestina terbesar yaitu HAMAS, bekerjasama dengan dictator Mesir di era Mubarak, Saudi selalu menghimpit ruang gerak HAMAS di timur tengah.
Di era raja Salman, Saudi menegaskan akan menjaga jarak yang sama dengan faksi apapun di Palestina. Saudi sudah meninggalkan kebiasaan mengkriminalkan HAMAS sebagai biang kerok kekacauan politk timur tengah. Bahkan, untuk pertama kalinya televisi pemerintah Saudi menayangkan khutbah Jumat pemimpin HAMAS Ismail Haniyyah secara langsung, hal ini sempat memancing kemarahan pemimpin kudeta Mesir Al Sisi yang sangat membenci HAMAS dan kerap melancarkan fitnah bahwa HAMAS berambisi menguasai tanah Sinai yang menjadi salahsatu provinsi di Mesir.
Dampak positif dari perubahan geopolitik Saudi ini adalah, meningkatnya semangat dan moral perjuangan rakyat Suriah dalam menghentikan kekejaman rezim Syiah alawiyah Al Asad. Hari ini, praktis seluruh kota kota strategis di Suriah sudah dikuasai oleh pejuang rakyat Suriah. Salahsatu analis geopolitk dari lembaga CSIS Amerika (bukan Indonesia) menegaskan bahwa rezim syiah Suriah sedikit lagi akan tumbang.