Dalam firman Allah Ta’ala,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al An’aam [6]: 153), arti dari jalan yang lurus adalah jalan Allah yang diserukan untuk diikuti, yaitu As-Sunnah.
Adapun jalan-jalan yang lain yaitu jalan orang-orang yang berselisih dan keluar dari jalan yang lurus, yaitu para pembuat bid’ah. Jalan-jalan orang yang berbuat maksiat berbeda dengan jalan-jalan para pembuat bid’ah, karena jika ditinjau dari statusnya (kemaksiatan), tidak ada orang yang membuat cara-cara untuk dijalankan selama-lamanya yang menyerupai syariat. Oleh karena itu, sifat-sifat tersebut khusus untuk perkara bid’ah dan hal-hal yang baru dalam agama.
Dalil-dalil tentang masalah ini yaitu seperti hadits yang telah diriwayatkan oleh Isma’il, dari Sulaiman bin Harb, ia berkata, Telah diriwayatkan kepada kami dari Hammad bin Zaid, dari Ashim bin Bahalah,[1] dari Abu Wa’il, dari Abdullah, ia berkata, ‘Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis panjang bagi kami. Sulaiman juga membuat garis yang panjang bagi kami, erta membuat garis pada sisi kanan dan kirinya. Beliau kemudian berkata, “Ini adalah jalan Allah.” Beliau lalu membuat garis pada sisi kanan dan kirinya, lalu beliau bersabda,” Ini adalah jalan-jalan yang lain dan pada setiap jalan terdapat syetan yang menyeru agar mengikutinya.” Beliau kemudian membaca ayat, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)—yaitu garis-garis—, karena jalan-jalan itu mencerai-benaikani kamu dari jalan-Nya.” {Qs. Al An’aam 16]: 158)
Bakar bin Al Ala berkata, “Menurutku, maksudnya adalah syetan dari jenis manusia, yaitu bid’ah. Wallahu a’lam.” Hadits ini telah ditakhrij dari beberapa jalur.[2]
Diriwayatkan dari Umar bin Salamah Al Hamdani, ia berkata: Kami pernah duduk di halaqah ilmu Ibnu Mas’ud yang terdapat di dalam sebuah masjid di Bathha’ —sebelum beliau pindah—. Ubaidillah bin Umar bin Al Khaththab lalu bertanya kepadanya, sedangkan dirinya baru kembali dari peperangan, “Wahai Abu Abdurrahman, apa yang dimaksud dengan jalan yang Iurus?” la menjawab, “la adalah —demi Tuhan Ka’bah— yang dipegang erat-erat oleh bapakmu sehingga masuk surga.” Kemudian ia bersumpah dengan hal tersebut sebanyak tiga kali, lalu membuat garis lurus di hadapannya —di tanah Bathha’— dan di samping garis itu beberapa garis yang lain, kemudian berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meninggalkanmu pada ujung yang satu dan ujung yang lainnya di surga, maka orang yang tetap mengikutinya pasti akan masuk surga dan orang yang mengikuti jalan-jalan ini (garis-garis yang ada di samping garis lurus) pasti akan celaka.'”
Dalam riwayat lain dijelaskan, “Wahai Abu Abdurrahman, apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus?” Ia menjawab, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meninggalkan kita pada pangkalnya, sementara ujungnya di surga. Pada sisi kanan dan kirinya terdapat jalan yang lain, dan di atas jalan-jalan tersebut terdapat orang-orang yang menyeru kepada orang yang sedang melintas, ‘Man, ikut aku, man ikut aku,’ Orang yang mengikuti salah seorang dari mereka pada jalan tersebut pasti akan sampai ke neraka, sedangkan orang yang tetap pada jalan yang utama pasti akan sampai ke surga. Lalu Ibnu Mas’ud membaca, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus…‘.” (Qs. Al An’aam [6]: 153)
Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata (tentang firman-Nya, “Dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan [yang lain].”), “Bid’ah dan perkara yang syubhat.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Mahdi, bahwa Malik bin Anas pernah ditanya tentang As-Sunnah, ia lalu menjawab, “Sunnah adalah sesuatu yang tidak memiliki nama lain kecuali Sunnah. Allah berfirman, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.'” (Qs. Al An’aam [6]: 153)
Bakar bin Al Ala’ berkata, “Insyallah maksud dari periwayatan Ibnu Mas’ud adalah tindakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membuat garis untuknya….”
Penafsiran ini merupakan dalil bahwa ayat tersebut dan ayat berikut ini, “Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dm memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).” (Qs. An-Nahl [16]: 9) mencakup seluruh aspek bid’ah dan tidak mengkhususkan pada satu bid’ah.
Jadi, arti dari jalan yang lurus adalah jalan kebenaran. Adapun jalan lainnya adalah jalan bid’ah dan kesesatan. Semoga Allah melindungi kita dari mengikutinya dengan kckuasaan-Nya, dan cukuplah golongan yang cenderung menuju ke neraka menjadi peringatan darinya. Golongan yang dimaksud menunjukkan peringatan dan larangan dalam syariat.
Ibnu Wadhdhah berkata: Ashim bin Bahdatah pernah ditanya, “Wahai Abu Bakar, apakah kamu mengetahui firman Allah Ta ‘ala, ‘Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).’ (Qs. An-Nahl [16]: 9) la menjawab, ‘Abu Wa’il telah meriwayatkan kepada kami dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Abdullah pernah membuat garis lurus, lalu membuat beberapa garis lain pada sisi kanan dan kiri (dari garis lurus tersebut), kemudian berkata, ‘Beginilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis dan menyifati garis yang lurus, “Ini adalah jalan Allah.” Sedangkan untuk garis-garis yang ada pada sisi kanan dan kiri (dari garis lurus tersebut), “Ini adalah jalan-jalan yang berbeda-beda (karena perpecahan) dan pada setiap jalan terdapat syetan yang menyeru agar mengikutinya.” Sementara as-sabil (jalan) memiliki makan yang bermacam-macam, Allah berfirman, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus….” (Qs. Al An’aam [6]: 153)
Diriwayatkan dari At-Tastari, “Yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan ke surga, sedangkan yang dimaksud kalimat, “dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok” adalah jalan ke neraka, yaitu aliran-aliran dalam agama dan bid’ah-bid’ah.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa makna jalan yang lurus yaitu pertengahan, antara berlebih-lebihan dengan mengurangi. Hal tersebut mengindikasikan makna dari jalan yang bengkok, berlebih-lebihan atau mengurangi dalam melaksanakan syariat agama. Keduanya berada di antara sifat-sifat bid’ah.
Diriwayatkan dari Ali RA, bahwa beliau pernah membaca kata minha pada ayat tersebut dengan kata minkum, yang berarti, “Antara kalian ada yang mengikuti jalan yang bengkok.” Mereka (para ulama) berkata, “Yang dimaksud adalah umat ini. Seakan-akan ayat ini dan ayat sebelumnya menunjukkan pada satu arti.”
Imam Asy Syathibi
____________________
[1] Yang benar adalah (Bahdalah), ia adalah Ibnu Abu An-Najud, salah seorang ulama yang mengetahui seluk beluk hukum pembacaan ayat Al Qur’an. Ia wafat pada tahun 128 H. Ia termasuk orang yang dapat dipercaya dalam periwayatan hadits, tetapi tidak termasuk Al Hafizh. Ia telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dengan diikuti riwayat yang lainnya.
[2] HR. Ahmad, An-Nasa’I, Ibnu Mundzir, Ibnu Abu Hatim, Abu Syaikh, dan Al Hakim, serta Ibnu Mardawiyah. Semuanya dari periwayatan Abdullah bin Mas’ud; ia batata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis lurus untuk kami dengan tangannya, kemudian berkata, ini adalah jalan Allah yang lurus,’ Beliau lalu membuat bebetrpa garis pada sisi kanan dan kiri garis tersebut kemudian berkata, ‘jalan-jalan ini tidak ada satu jalan pun darinya melainkan terdapat syetan yang mengajak untuk mengikutinya.’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya ini jalan-Ku yang lurus.”