Dalam tafsir Sa’id bin Manshur, dari Mush’ab bin Sa’ad, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada bapakku tentang ayat, ” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat kebaikan?” (Qs. Al Kahfi [18]: 104), Apakah mereka adalah Al Haruriyah? Bapakku menjawab, “Bukan, mereka adalah kaum Yahudi, sedangkan Al Haruriyah adalah golongan yang telah disebutkan Allah dalam firman-Nya, ‘Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka’.” (Qs. Ash-Shaff [61]: 5)
Abd bin Humaid dalam tafsimya meriwayatkan arti hadits ini dengan lafazh yang lain, dari Mush’ab bin Sa’ad, dengan menyebutkan ayat ini, uKatakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?..” Mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. Al Kahfi [18]: 103-104) Saya berkata, “Apakah mereka adalah Al Haruriyah?” Ia menjawab, “Bukan, mereka adalah kaum Yahudi dan Nasrani, orang-orang Yahudi telah mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan orang-orang Nasrani tidak percaya dengan surga dan berkata, ‘Di dalamnya tidak terdapat makanan dan minuman.’ Sedangkan Al Haruriyah ‘(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan dimuka bumi’.” (Qs. Al Baqarah [2]: 27)
Golongan pertama: Karena mereka telah keluar dari jalan yang benar; yaitu kesaksian atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga karena mereka menakwilkannya dengan takwil yang keliru. Demikianlah yang diperbuat oleh ahli bid’ah yang menjadikannya sebagai pintu masuk bid’ah mereka.
Golongan kedua: Karena mereka menyikapi Al Qur’ an dengan sikap seperti yang kita ketahui.
Kelompok Haruriyah dan kelompok Khawarij berpegang teguh pada firman Allah, ” Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs. Al An’aam [6]: 57)dan “Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”(Qs. Al Maa’idah [5J: 95) serta ayat-ayat lainnya.
Begitulah perbuatan ahli bid’ah, dan insya Allah akan dijelaskan kepada Anda.
Diantaranya telah diriwayatkan oleh Amr bin Muhajir, ia berkata: Telah sampai kabar tentang Ghailan Al Qadari (yang berbicara tentang takdir) kepada Umar bin Abdul Aziz, ia berbicara tentang takdir, maka diutuslah seseorang untuk menangkap kemudian menahannya beberapa hari. Ia lalu dihadapkan kepada Umar bin Abdul Aziz, Umar pun bertanya, “Wahai Ghailan, masalah apa yang ada pada dirimu, yang telah sampai beritanya kepadaku?” Aku mengisyaratkan kepadanya untuk tidak berkata apa-apa, tetapi Ghailan menjawab, “Betul, wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir’.” (Qs. Al Insaan [76]: 1-3) Umar berkata, “Bacalah hingga akhir surah, ‘Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa yang dikehendakinya ke dalam rahwat-Nya (surga). Dan bagi orang-orang zhaJim disediakan adzabyangpedih.1 (Qs. Al Insaan [76]: 30-31) Apa pendapatmu wahai Ghailan?” la berkata, “Aku ingin mengatakan bahwa dahulu saya buta, kemudian Dia menjadikanku dapat melihat. Dulu aku dalam kesesatan kemudian Dia memberi petunjuk kepadaku.” Umar berkata, “Ya Allah, semoga hamba-Mu, Ghailan, itu benar dan jika tidak, maka pisahkanlah ia.”
Perawi berkata, “Ghailan kemudian tidak lagi membicarakan masalah takdir, maka Umar mengangkatnya menjadi penguasa di Darudh-Dharb di Damaskus. Ketika Umar bin Abdul Aziz wafat dan kekhalifahan diserahkan kepada Hisyam, Ghailan kembali berbicara tentang takdir, maka Hisyam memerintahkan untuk menangkapnya dan memotong tangannya. Suatu saat ada seseorang yang lewat di dekatnya, sedangkan saat itu di tangannya ada lalat yang menempel, berkata, ‘Wahai Ghailan, ini adalah perkara qadha’ dan qadar (ketentuan dan takdir Allah).’ Ia berkata, ‘Aku telah berdusta dan demi umurku, inilah bukanlah qadha” dan qadar.’ Hisyam lalu menangkap dan menyalibnya.”
Golongan ketiga: Karena Al Haruriyah menghunuskan pedangnya kepada hamba-hamba Allah, sementara perbuatan tersebut merupakan —jika tidak disebut sebagai awal— kerusakan yang sangat besar di muka bumi, oleh sebab itu tersebarlah paham ahli bid’ah dan mereka semua bertujuan menebarkan permusuhan dan kedengkian di antara kaum muslim.
Ketiga sifat tersebut mencakup kelompok yang diperingatkan oleh Al Qur’an dan Sunnah untuk dihindari, seperti firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 105) dan “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan.” (Qs. Al An’aam [6]: 159) serta yang semisalnya.
Dalam hadits, “Sesungguhnya umat akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan.”
Penafsiran tersebut terdapat dalam riwayat pertama yang juga diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad dan ia menyetujui pendapat bapaknya tentang arti yang telah disebutkan.
Sa’ad bin Abu Waqqash lalu menafsirkan ayat tersebut seperti yang terdapat dalam riwayat Sa’id bin Manshur: Sesungguhnya hal itu merupakan akibat dari kesesatan yang mereka timbulkan, sebagaimana dalam firman-Nya, “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (Qs. Ash-Shaff [61]: 5). Hal itu mengacu pada ayat yang ada dalam surah Aali ‘Imraan, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 7) Sesungguhnya Sa’ad memasukkannya ke dalam kelompok Al Haruriyah, seperti yang terdapat dalam dua ayat tersebut secara makna; yaitu pengertian az-zaigh {berpaling dari kebenaran) pada salah satu ayat tersebut dan sifat-sifat yang telah disebutkan pada ayat yang lain, karena sifat-sifat tersebut ada pada diri mereka.
Sedangkan ayat pada surah Ar-Ra’d mencakup lafazhnya, karena dalam ayat tersebut mengandung arti umum secara bahasa, dan apabila kita tujukan kepada orang-orang kafir secara khusus maka ayat tersebut juga memberikan hukum pada mereka dari segi penentuan balasan atas sifat-sifat yang telah disebutkan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul. Demikian halnya dengan ayat dalam surah Ash-Shaff, karena ayat tersebut khusus tentang Nabi Musa AS.
Oleh karena itu, Syu’bah menamakan mereka (Al Haruriyah) orang-orang fasik —yang saya maksud adalah Al Haruriyah— sebab pengertian ayatnya mengenai mereka, seperti yang tertera dalam ayat tersebut, “Dan Allah tiada memberi pertunjuk kepada kaum yang fasik.” (Qs. Ash-Shaff [61]: 5) Adapun sifat az-zaigh (berpaling dari kebenaran) juga ada pada diri mereka, sehingga mereka masuk dalam firman Allah, “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” Dengan demikian dapat dipahami bahwa ahli bid’ah bukan khusus untuk kelompok Al Haruriyah, tetapi mencakup semua kelompok yang cenderung memiliki sifat-sifat sesat (zaigh), yaitu berpaling dari kebenaran untuk mengikuti hawa nafsu.
Adapun Sa’ad RA menafsirkannya dengan Al Haruriyah karena ia pernah ditanya tentang mereka secara khusus —wallahu ‘alam— bahwa mereka adalah orang-orang yang pertama membuat bid’ah dalam agama Allah, walaupun demikian, hal itu tidak harus mendapatkan pengkhususan.
Adapun yang bertanggung jawab pertama kali yaitu yang disebutkan dalam salah satu ayat pada surah Al Kahfi, karena Sa’ad telah menafikan keterkaitan Al Haruriyah pada ayat tersebut.
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, pernah menafsirkan bahwa orang-orang yang perbuatannya paling merugi adalah Al Haruriyah.
Abd bin Humaid pernah meriwayatkan dari Ibnu Thufail, ia berkata, “Ibnu Kawwax datang kepada Ali dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang yang sesat perbuatannya dalam kehidupan dunia, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat benar dengan sebaik-baiknya?’ Ali menjawab, ‘Di antara mereka adalah Al Haruriyah’.”
Penafsiran semacam itu juga dinukil dalam tafsir Ats-Tsauri. Sedangkan dalam kitab Jami’ Ibnu Wahab dijelaskan bahwa Ali pernah ditanya tentang ayat tersebut, maka ia menjawab, “Naiklah kemari, aku pasti akan memberitahukanmu” —Saat itu Ali sedang berada di atas mimbar— Ia kemudian naik hingga dua tangga. Kemudian Ali lalu mengambil tongkat yang ada di tangannya dan memukulkannya, kemudian berkata, “Kamu dan para sahabat-sahabatmu.”
Diriwayatkan juga oleh Abd bin Humaid, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, ia berkata: Seorang laki-laki dari bani Ud memberitahuku bahwa Ali sedang berkhutbah di Irak. Tiba-tiba Ibnu Kawwa’ berseru dari bagian masjid paling belakang, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang paling merugi perbuatannya?” Ali menjawab, “Kamu.” Ibnu Kawwa’ kemudian terbunuh pada perang Khawarij.
Telah dinukil oleh sebagian ahli tafsir bahwa Ibnu Kawwa’ bertanya kepada Ali, lalu Ali menjawab, “Kamu adalah kelompok Al Haruriyah, kelompok yang sombong, yang amal perbuatannya sia-sia karena keangkuhan mereka sendiri.
Periwayatan yang pertama menunjukkan bahwa Al Haruriyah termasuk dalam cakupan ayat tersebut.
Ketika Allah Ta’ala menyebutkan mereka di dalam firman-Nya, ” Orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini” Dia menyifati mereka dengan kesesatan namun mereka berprasangka bahwa mereka mengikuti jalan yang benar. Hal itu mengandung pengertian bahwa merekalah orang-orang yang berbuat bid’ah secara umum (dalam tindakannya) dan mereka datang dari Ahli kitab, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Semua yang bid ‘ah adalah sesat.”
Dalam ayat tersebut tergabung dua penafsiran; penafsiran Sa’ad bahwa mereka adalah Yahudi dan Nasrani, serta penafsiran Ali bahwa mereka adalah ahli bid’ah, sebab mereka mempunyai kesamaan dalam mengejawantahkan bid’ah. Oleh karena itu, kekafiran orang Nasrani disebabkan takwil mereka tentang surga, tidak sesuai dengan maksud agama, dan yang demikian itu adalah takwil aqli. Kita bisa lihat bahwa ketiga ayat tersebut bermakna sama, yaitu celaan terhadap bid’ah.
Sa’ad bin Abu Waqqash menyatakan bahwa semua ayat tersebut mencakup sifat-sifat ahli bid’ah. Merekalah yang berhak mendapat celaan serta balasan yang buruk, baik karena keumuman lafazh maupun karena makna sifat itu sendiri.
Ibnu wahab meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dengan membawa kitab di atas pundak beliau, lalu bersabda,
“Cukuplah kebodohan bagi satu kaum —atau beliau berkata, “kesesatan “— mereka tidak menyenangi apa yang didatangkan oleh nabi mereka dan mereka menuju kepada apa yang bukan dari nabi mereka, atau dari kitab kepada kitab yang bukan kitab mereka.”
Kemudian turunlah ayat, “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur ‘an) sedang dia dibacakan kepada mereka?” (Qs. Al ‘Ankabuut [29]: 51)
Diriwayatkan dari Abdul Hamid, dari Al Hasan, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”
Beliau kemudian membaca ayat, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu‘….” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 31)
Abdul Hamid dan yang lain juga meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA tentang firman Allah Ta ‘ala, “Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilakukannya.” (Qs. Al Infithaar [82]: 5) Ia berkata, “Maksudnya adalah perbuatan baik atau buruk yang dikerjakan dan hal-hal Sunnah yang tidak dikerjakan namun dikerjakan oleh orang-orang setelahnya.” Walaupun hal ini adalah bentuk penafsiran, namun kalimat tersebut masih membutuhkan penafsiran lain.
Diriwayatkan dari Abdullah, ia berkata, “Hal baik yang dikerjakan dan hal baik yang ditinggalkan, namun dikerjakan oleh orang setelahnya, maka baginya pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya dan tidak mengurangi sedikit pun pahala mereka. Sunnah yang buruk yang tidak dikerjakan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang melakukannya dan tidak mengurangi sedikit pun dosa mereka.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Mubarak dan lainnya.
Diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dan Abu Qilabah serta yang lain, mereka berkata, “Semua pelaku bid’ah dan kesesatan adalah tercela.” Tidak untuk tujuan komersil Maktabah Raudhatul Muhibbin
Mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala, ” Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sesembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan daJam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan.” (Qs. Al A’raaf [7]: 152)
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Mujahid (tentang) firman Allah Ta ‘ala, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Qs. Yaasiin [36]: 12), ia berkata, “Maksudnya adalah kebaikan yang mereka kerjakan kemudian sebagian dari kesesatan yang mereka tinggalkan diwarisi oleh manusia yang hidup setelah mereka.”
Juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Aun dari Muhammad bin Sirin, ia berkata, “Aku telah melihat manusia yang paling cepat keluar dari Islam, yaitu pengikut hawa nafsu, ‘Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaran yang lain’.” (Qs. Al An’aam [6]: 68)
Telah disebutkan oleh Al Ajiri dari Abu Al Jauza’, bahwa ia telah menyebutkan pengikut hawa nafsu dan berkata, “Demi Dzat yang jiwa Abu Al Jauza’ ada ditangan-Nya, sesungguhnya jika rumahku dipenuhi oleh kera dan babi maka itu lebih aku cintai daripada aku bertetangga dengan mereka, karena mereka termasuk orang yang disebutkan dalam ayat ini, ‘Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya… sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati’.” (Qs. Aali ‘Imraan [3]: 119)
Ayat-ayat yang menjelaskan dan menunjukkan tentang celaan dan larangan untuk mengikuti perilaku mereka sangat banyak. Sesungguhnya padanya —insyaallah— terdapat nasihat bagi orang yang mencari nasihat serta sebagai obat untuk kelapangan dada.
Imam Asy Syathibi