Bagaimana Bisa Ustadz Jadi Bulan-bulanan Gosip?

Selebriti dan gosip, bak dua sisi mata uang. Tapi ustadz dan gosip, mestinya ini dua hal yang berjauhan. Kita membicarakan seorang ustadz karena ilmu agamanya, kharomahnya, kesholehannya, kedermawanannya, bukan gosip kawin lagi, punya pacar atau mantan istri membongkar aib.

Sepekan terakhir, atau malah sudah agak lama, kita terpaksa membiasakan diri dengan gosip para ustadz. Ustadz Arifin Ilham kawin lagi atau berpoligami, ustadz Jefry katanya juga digosipkan mau nikah lagi, Ustadz Solmed jadi pembicaraaan karena mantan istri membuka aib, plus isu-isu miring segilintir ustadz yang sibuk mengejar popularitas.

Dulu heboh Aa’ Gym menikah lagi, dan lalu menceraikan istri pertama. Almarhum Ustadz Zainuddin MZ juga pernah jadi bulan-bulanan gosip setelah seorang penyanyi dangdut membongkar skandalnya. Media yang salah karena memberitakan kehidupan pribadi para ustadz? Atau ini akibat para ustadz menjadikan popularitas bagian dari eksistensinya?

Gosip boleh jadi memang kutukan popularitas. Siapa pun sosok populer, termasuk ustadz, akan menjadi bahan pemberitaan. Ditampilkan di infotainment, muncul di tabloid dan koran juga media online. Semakin populer, banyak yang mengidolakan, makin menarik sosoknya. Materi pemberitaan pasti tidak hanya sisi baik, tapi juga kehidupan pribadi yang sering disebut gosip.

Seorang selebriti, sesuai tuntutan profesi, perlu popularitas. Rasanya tak ada artis yang tak ingin terkenal. Belum terkenal, nama dan fotonya tak terpajang di media, belum sah sebagai selebriti.

Gosip bahkan bisa jadi bumbu penyedap untuk mendongkrak popularitas. Digosipkan pacaran atau putus cinta, menikah atau bercerai lagi, atau berselingkuh, seorang artis biasanya sudah siap menghadapi pertanyaan wartawan, dan publik tak terlalu menuntut jawaban sejelas dan sejujur-jujurnya.

Klarifikasi dengan kalimat klise seperti sudah sering kita dengar sudah cukup. Dalam batas tertentu, gosip diperlukan. Kalau perlu direkayasa demi tujuan tertentu. Setelah gosip berlalu dan si artis makin terkenal, semua kembali seperti semula, seolah tak pernah terjadi apapun. Publik yang sudah sepakat artis dan gosip satu paket tak terpisahkan, tak akan mempertanyakan lebih jauh.

Tapi bagaimana kalau yang jadi bulan-bulanan gosip seorang ustadz?

Ustadz dan selebriti jelas berbeda. Publik memiliki tuntutan berbeda. Ketika Aa’ Gym menikah lagi, kita tahu apa yang kemudian terjadi. Penjelasan Aa’ Gym saat konperensi pers didampingi istri pertama, malah menambah kekecewaan. Betapa pun agama membolehkan, betapa pun Aa’ Gym merasa mampu bersikap adil, cemooh tetap berseliweran. Setelah itu pemberitaan Aa’ Gym melulu soal kehidupan pribadi dan dua istrinya. Semua seolah lupa Aa’ Gym pernah mengisi hari-hari kita dengan ceramahnya yang, kadang jenaka, kadang menentramkan, sering juga bisa menyentakkan kesadaran. Kita yang terlanjur menempatkan Aa’ Gym sebagai idola, panutan, kecewa berat.

Prasangka Aa’ Gym tergoda wanita lain, dan membuat istri pertamanya terluka, tak mudah dilenyapkan. Kalau saja Aa’ Gym tak menjelaskan apapun berkaitan dengan pernikahan keduanya, apa keadaan akan berbeda? Atau, bagaimana seharusnya seorang ustadz menyikapi ketika kehidupan pribadinya jadi sorotan dan bahan bergosip?

Seorang ustadz tentu tak bisa menyikapi gosip memakai gaya selebriti. Lewat sikap dan kata-katanya publik tak hanya mencari kebenaran, tapi sekaligus akan menilai kualitas ilmu, iman, kesholehan juga kepribadian sang ustadz. Salah bicara dan bertindak, reputasi sang ustadz jadi taruhan.

Kita tahu, menyikapi gosip kadang serba salah. Diam, publik akan menganggap gosip benar adanya. Menjelaskan disangka membela diri.

Ustadz Solmed sempat melontarkan kalimat bagus. Dia bilang, “Kalau ada seribu cacian, saya sudah menyiapkan dua ribu maaf.” Tapi kalimat, sebagus apapun, tetap hanya kalimat. Kita tak bisa mengemas diri hanya bersandar pada kata-kata. Tulisan ini sama sekali tak ingin menyarankan ustadz-ustadz top itu punya tim public relation (PR) seperti politisi atau artis top Hollywood untuk menyusun jawaban setiap kali ada pertanyaan wartawan yang perlu dijawab dengan kalimat canggih.

Jawaban jujur dan apa adanya pasti jauh lebih bermanfaat dibanding kalimat bagus dilengkapi kutipan indah tapi rekayasa. Kejujuran tidak selalu menyenangkan. Bersikap jujur dan apa adanya juga bisa membuat kecewa. Tapi kalau sudah yakin dengan jalan yang dipilih, kenapa harus menyembunyikan atau menghindar? Takut tidak populer lagi?

Ini masalahnya. Ustadz bukan artis, popularitas mestinya bukan tujuan. Kita tahu, popularitas mengandung konsekuensi, positif juga negatif. Memanfaatkan popularitas demi tujuan baik atau buruk, sama-sama ada konsekuensinya.

Demi Tuhan, bukankah sekarang saatnya kita berhenti mengejar popularitas dan mengidolakan seorang ustadz semata karena populer.

Oleh: Suyanto Soemohardjo