Apa yang kalian rasakan ketika mendapat surat dari orang terkasih, misal surat dari ibunda tercinta yang ada di kampung halaman? Senang mungkin juga terharu hingga menitikkan air mata bukan? Namun bagaimana bila surat tersebut isinya menggunakan aksara Hanacaraka? Senang juga? Kehadiran suratnya senang, namun kita bisa menitikkan airmata beberapa menit, alih-alih terharu, kita menangis karena tak bisa memahami surat tersebut. Tak memahami bahasanya, tak memahami apa yang ingin disampaikan.
Hal ini bisa terjadi pula ketika sedang melakukan shalat. Banyak yang bisa membaca dari do’a iftitah hingga tasyahud akhir namun tak sedikit yang tak memahami artinya. Kalau boleh meminjam bahasanya ustadz dari Rumah Fiqih, Muhammad Saiyid Mahadhir, MA, sholat seperti ini seperti shalat pemabuk. Kok? Seperti kita tahu, pemabuk itu tidak tahu dan tidak faham dengan apa yang mereka katakan. Tepat sekali! Mereka itu mabuk. Dan mereka yang mabuk itu dilarang untuk shalat, bahkan Allah tegas sekali dalam perkara ini melalui firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (QS. An-Nisa’: 43)
Orang-orang baheula ada yang shalat dalam keadaan mabuk, lalu mereka membaca surat al Kafirun, terang saja karena mabuk akhirnya bacaan mereka kebolak-kebalik, galau jadinya, yang mestinya makna bacaan mereka itu “Wahai orang-orang kafir, kami tidak akan menyembah apa yang kalian sembah” berubah menjadi “Wahai orang kafir, kami juga menyembah apa yang kalian sembah”. Fatal!
Jangan-jangan kita juga bagian dari para pemabuk? Karena orang mabuk itu-sekali lagi- orang yang tidak tahu dan tidak faham dengan apa yang dia ucapkan. Penuh ceracau kacau. Sudah sholat mabuk, masbuk lagi. Naudzubillah min dzalik.
Alangkah indah, bila kita memahami setiap bacaan kita dalam shalat. Sulit? Memang, tak semudah menulis status di Facebook. Penulis pun mengalami demikian dan mencoba belajar dengan dasar alon-alon asal kelakon. Salah satu jalannya adalah belajar bahasa Arab.
“Sesungguhnya kami telah menurunkan berupa Al Quran berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS Yusuf:2)
Demikian Allah menyentuh kita. Tidak bisa bahasa Arab karena kita terbiasa menggunakan bahasa ibu? Itu wajar. Ya, wajar alias wajib belajar. Hal ini dilakukan agar kita dikatakan orang mabuk dalam shalat, maka harus mengerti makna bacaan-bacaan shalat kita, jika tidak, maka, sekali lagi, kita itu seperti pemabuk yang shalat.
Benar sekali, pemabuk spesies ini beda dengan pemabuk karena setenggak alkohol, tidak sah shalat dalam kondisi mabuk karena alkohol. Shalatnya orang yang mabuk karena tidak bisa bahsa arab tetap sah, namun apakah kualitasnya bagus atau tidak, nilainya berapa? Ini yang menjadi permasalahan.
Bisa jadi, kendala ‘bahasa’ ini, yang menjadi musabab mengapa sepertinya kita tidak melihat ‘efek samping’ dari shalat-shalat yang kita ritualkan, bukankah shalat itu bisa mencegah diri dari perbutan keji dan dan munkar? Terus mengapa justru perbuatan keji bin munkar itu malah ‘kadang’ mendampingi mereka yang rajin shalat?
Sudah tepat sekali kalau shalat tak berdampak karena mereka yang shalat itu banyak yang mabuk, tidak faham dengan muatan dan makna hafalan yang selalu mereka ulang setiap kali shalat. Kita menghadap Allah seperti berbahasa isyarat saja, atau mungkin shalat hanya sekadar absen.
Sekali lagi, sungguh indah apabila kita memahami arti bacaan shalat bahkan bisa membuat hati tersentuh. Pada pertemuan halaqoh, murobbi pernah bercerita bahwa suatu kali ketika beliau mengikuti shalat malam di masjid di kawasan Mampang, Jakarta Selatan. Beliau menitikkan airmata, bukan karena sang imam menangis namun karena beliau mengerti makna surat yang dibaca sang imam.
Mari belajar bahasa Arab, mumpung umur masih melebur di badan. Sebab agama ini tak bisa banyak direngkuh segala hikmahnya terkecuali bila kita bisa berbahasa Arab. Karena Al Quran dan Hadits hadir dalam bahasa Arab. Mereka yang keluar rumah dengan niat belajar itu pahalanya sama seperti pahala jihad, meninggalnya seni meninggal yang indah ketimbang meninggal di dalam rumah megah.
Sampai kapan menjadi pelaku shalat mabuk? Belajar memahami makna bacaan shalat harus terus diupayakan, mudah-mudahan dengan begitu sholat kita kedepan semakin berbekas, sehingga membuat pelaku shalat makin bermartabat. Bila tak memahami, mungkin akan seperti akhir dari yang diceritakan murobbi; beliau ingin menangis namun ingin pula tertawa. Sebab di rakaat berikutnya sang imam tersedu menitikkan airmata padahal yang dibaca ada kalimat wa yas-alunaka ‘anil mahidh, yang artinya “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. “
Wallahua’lam.