Ini adalah kisah percintaan klasik yang terjadi di kala tanah-tanah berpasir Madinah beraroma nubuwat.
Mughits. Itulah nama lelaki berkulit hitam ini. Ia merupakan salah seorang budak keturunan Afrika yang terdampar di kota Makkah. Tuannya bernama Abu Ahmad bin Jahsi Al Asadi, salah seorang shahabat Rasulullah yang telah memeluk Islam sejak di Makkah. Sebagai seorang hamba sahaya, Mughits merupakan budak yang amanah, jujur, dan bersemangat dalam mengabdikan dirinya pada sang tuan. Oleh karena itu, Abu Ahmad pun memperoleh banyak manfaat atas pengabdian budaknya itu. Sehingga tidaklah aneh jika kemudian Abu Ahmad juga sangat menyayangi dan mengagumi Mughits.
Ketika Abu Ahmad menawarkan Islam pada Mughits, ia pun serta merta menerima dan meresapkannya dalam jiwanya. Hal ini semakin membuat Abu Ahmad menyayanginya dan selalu mengabulkan permintaan-permintaan sang budak. Termasuk keinginan Mughits untuk menikah. Bagaimanapun juga, ia adalah lelaki yang memiliki kecenderungan untuk menentramkan hatinya dan melabuhkan jiwanya pada seorang perempuan. Maka, Abu Ahmad pun menyanggupi permintaan dari Mughits, tapi dengan syarat bahwa pernikahannya dilakukan setelah mereka Hijrah ke Yatsrib, Madinatun Nabi.
Hijrah ke Madinah pun terjadi.
Perjalanan hijrah Abu Ahmad ini tidak hanya menyertakan Mughits, tapi juga keluarga Abu Ahmad juga. Di perjalanan menuju Madinah, Abu Ahmad menyenandungkan syair-syair yang ditujukan pada isteri yang dicintainya. Melihat romantisme sepasang suami isteri itu, makin menggebulah tekad dan keinginan Mughits untuk membina rumah tangga. Disampaikannya keinginan hatinya lagi kepada Abu Ahmad. Berulang-ulang Mughits menyampaikan keinginannya itu pada sang tuan, seakan-akan keshabaran Mughits untuk menanti hingga ke Madinah sudah habis.
Sampailah rombongan Abu Ahmad di Madinah. Mereka pun mencari tempat tinggal hingga diperoleh yang sesuai. Saat itu, Mughits lagi-lagi datang kepada tuannya dan menagih janjinya. Maka dengan lembut Abu Ahmad pun menyuruhnya untuk mencari perempuan yang yang akan dijadikannya calon isteri yang sepadan dengannya, yakni yang juga berstatus sebagai budak.
Maka, mulailah Mughits mencari tambatan hatinya diantara perempuan-perempuan budak di perkampungan Madinah. Hingga akhirnya hatinya terpaut dengan seorang budak perempuan berkulit hitam yang cantik jelita di salah satu rumah penduduk Anshar dari Bani Hilal. Barirah nama perempuan cantik itu.
Mughits segera menemui Abu Ahmad dan memberikan kabar itu. Disampaikan keinginan hatinya untuk mempersunting Barirah menjadi separuh jiwanya. Maka, Abu Ahmad pun segera mendatangi keluarga Bani Hilal. Disampaikannya maksud kedatangannya untuk meminang Barirah bagi sahayanya. Mereka pun menerima baik keinginan Abu Ahmad. Disampaikanlah kabar itu kepada Barirah, tapi ternyata ia memberikan jawaban bahwa ia tidak menyukai lelaki yang akan dinikahkan dengannya itu. Ia pun merasakan kesedihan dan masuk ke kamarnya sembari menangis.
Keluarga Bani Hilal pun menyampaikan kepada Abu Ahmad bahwa mereka telah meridhai pinangan Mughits bagi sahayanya, tapi Barirah sendiri menyatakan tidak menyukai Mughits dan tidak menghendaki pernikahan itu. Mereka pun meminta waktu selama beberapa hari untuk membujuk dan melunakkan hati Barirah agar mau menerima pinangan itu.
Tatkala Mughits mendengar kabar bahwa Barirah tidak menerima pinangan itu, ia merasa sangat terpukul dan sedih. Ia meminta sang tuan untuk terus membujuk majikan Barirah agar hati Barirah luluh dan mau menerimanya. Ia katakan pada Abu Ahmad bahwa ia telah mencintai Barirah dan tidak mau menikah dengan perempuan selainnya. Abu Ahmad pun beberapa kali datang ke kediaman Bani Hilal untuk membujuk keluarga Barirah menerima Mughits.
Karena terus-menerus dibujuk oleh majikannya, Barirah pun menerima pinangan Mughits, meski hatinya masih merasakan keengganan. Betapa bahagia Mughits mendengar kabar itu. Pernikahan antara Mughits dan Barirah pun dilangsungkan. Di satu sisi, Mughits sangat bahagia karena telah mempersunting perempuan yang dicintainya. Sementara di sisi yang lain, Barirah merasa sangat tertekan karena terpaksa menerima pernikahan itu. Ia merasa telah menipu dirinya sendiri dengan menikahi lelaki yang tidak diinginkannya.
“Demi Allah,” kata Barirah, “Aku tidak menginginkan dan tidak menyukainya, tapi apa yang bisa kuperbuat, takdir pastilah menang.”
Setelah menikah, Barirah menjalani kehidupan rumah tangga dengan Mughits. Ia menjalani kehidupannya layaknya seorang isteri pada umumnya, melaksanakan pemenuhan kewajiban-kewajiban seorang isteri, terkecuali rasa cinta. Ia pun juga bersosialisasi dan bergaul dengan masyarakat umum yang kala itu sedang membangun peradabannya di Madinatun Nabi. Salah satu tempat yang sering dikunjungi Barirah adalah di deretan bilik ummahatul mukminin, terutama bilik Ummul Mukminin Aisyah. Ia sering kali datang ke bilik itu dan membantu pekerjaan-pekerjaan Aisyah. Karena itu, antara Barirah dan Aisyah pun terbina saling keterpercayaan. Barirah pun mengungkapkan rasa di dalam hatinya pada Aisyah.
“Demi Allah,” katanya penuh kegundahan, “Aku dipaksa oleh keluargaku untuk menikah dengannya. Dalam hatiku tidak ada kecintaan kepadanya, dan aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat.”
Dengan kelembutan seorang shahabat pada karibnya, Ummul Mukminin Aisyah menasihati Barirah, “Wahai Barirah, bertakwalah kepada Allah dan bershabarlah dengan suamimu. Sungguh, ia adalah lelaki shalih, semoga Allah menghilangkan kegundahanmu dan menganugerahkan kecintaan kepada suamimu.”
Barirah pun mencoba menuruti nasihat Ummul Mukminin Aisyah. Dicobanya mencintai suaminya, Mughits. Namun, semakin ia mencoba mencintainya, yang dirasakannya adalah timbulnya kebencian pada Mughits yang demikian kuat dan menjadi-jadi.
“Demi Allah, wahai Ummul Mu’minin,” ujarnya makin gundah, “Sungguh hatiku ini sangat membenci Mughits, aku sudah berusaha mencintainya dan aku tetap tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang bisa ku lakukan dalam hidup bersamanya..”
“Bersabarlah, wahai Barirah,” kata Ummul Mukminin Aisyah kembali menasihatinya, “Semoga Allah memberikan jalan keluar dari masalahmu ini.”
Mughits yang mendapati sang isteri bersikap membencinya sedemikian rupa. Ia pun merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa cintanya ternyata berbalas kebencian dari sang isteri. Namun, ia tidak menyerah pada keadaan. Ia terus berjuang untuk meluluhkan hati isterinya agar mencintainya. Dimintanya Abu Ahmad menasihati isterinya agar bersikap lunak dan lembut kepadanya. Hasilnya tidak membawa perubahan. Dimintanya keluarga Barirah untuk membantunya, tapi mereka tidak terlalu merespon keinginan Mughits itu.
Melihat Mughits yang makin diliputi kesedihan, Abu Ahmad pun menghiburnya, “Kenapa kamu ini, wahai Mughits? Sepertinya kamu terlalu memikirkan Barirah, perempuan selain dia kan banyak.”
“Tidak, demi Allah, wahai Tuanku,” jawabnya penuh kesedihan, “Aku tidak bisa membencinya dan tidak bisa mencintai perempuan selainnya.”
“Kalau begitu bersabarlah, sampai ia melahirkan anakmu, semoga setelah itu hatinya mulai berubah dan bisa mencintaimu.”
Harapan dalam hati Mughits pun berbinar berpendar. Ia sangat berharap bahwa jika nanti anaknya dengan Barirah lahir, ia akan menjadi wasilah bagi Barirah untuk kemudian mencintainya. Barirah hamil. Hingga ketika anak yang dikandungnya telah lahir, ternyata Barirah tidak menunjukkan tanda-tanda ia mulai mencintai Mughits, malah kebenciannya pun semakin dalam. Tidak pernah muncul keinginan dalam hatinya untuk melahirkan seorang anak dari Mughits.
Saat dalam keadaan nifas pasca melahirkan, Ummul Mukminin Aisyah mendatanginya untuk bersilaturahim, mengucapkan selamat, dan mendoakannya. Namun, Barirah malah menangis meratapi kemalangan dirinya melahirkan seorang anak dari seorang lelaki yang dibencinya.
“Wahai Barirah,” kata Ummul Mukminin Aisyah, “Mungkinkah engkau untuk membeli dirimu, jika engkau lakukan hal ini maka masalahmu akan bisa teratasi dan engkau berhak atas dirimu sendiri, dan jika engkau mau, engkau bisa berpisah dari suamimu.”
Ummul Mukminin Aisyah memberikan saran berdasarkan hukum Islam, bahwa seorang perempuan merdeka yang bersuamikan seorang budak memiliki hak khiyar (memilih) untuk melanjutkan pernikahannya atau bercerai.
“Aku telah mencoba berkali-kali memohon mereka untuk memerdekakanku, tapi mereka tidak menerimanya, seolah-olah tidak ada budak selainku yang bisa membantu mereka. Tetapi aku akan tetap bersabar sehingga Allah menghilangkan rasa sedih dan gundahku,” kata Barirah menjelaskan.
Setelah berlalu beberapa tahun. Keluarga Bani Hilal pun menyetujui pembebasan diri Barirah dengan pembayaran sejumlah uang. Bukan main gembira hati Barirah atas kesepakatan itu.
Barirah pun mendatangi Aisyah dan meminta bantuannya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya saya telah mengadakan janji dengan tuanku untuk memerdekakan diriku, dengan sembilan uqiyah, pada setiap tahun satuuqiyah, maka bantulah saya.”
Saat itu Barirah sama sekali belum membayar angsuran penebusan dirinya. Satu uqiyah adalah dua belas dirham. Imam An Nasa’i mencatat riwayat ini dalam Sunan.
“Kembalilah kepada keluargamu,” kata Ummul Mukminin sebagaimana dicatat dalam Shahih Muslim, “Jika mereka mau saya akan membayar tebusanmu, dan hak perwalianmu padaku, maka saya akan melunasinya.”
Hak perwalian adalah hak seorang majikan bila seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia sementara ia meninggalkan harta, maka hartanya itu diwarisi oleh orang yang memerdekakannya.
Barirah pun kembali kepada keluarganya dan menyampaikan apa-apa yang disampaikan oleh Ummul Mukminin Aisyah. Namun, keluarga Bani Hilal mengatakan, “Apabila ia mau mengharapkan pahala maka hendaknya silakan ia melakukan dan perwalian itu untuk kami.”
Barirah pun datang pada Ummul Mukminin Aisyah kembali. Ia menceritakan perihal keinginan majikannya untuk tetap mempertahankan hak perwalian itu. Ummul Mukminin Aisyah pun memberitahukan hal itu kepada Rasulullah.
“Wahai Rasulullah,” kata Ummul Mukminin Aisyah dalam Sunan An Nasa’i, “Barirah datang kepadaku meminta bantuan menyelesaikan perjanjian pembebasannya, kemudian saya katakan, ‘Tidak, kecuali mereka menghendaki saya menghitung bagi mereka satu hitungan dan perwaliannya adalah untukku.’ Kemudian ia menyebutkan hal tersebut kepada tuannya, lalu mereka menolak kecuali perwalian untuk mereka.”
Beliau lantas bersabda seperti dicatat Imam Muslim dalam Shahih, “Tebuslah dan merdekakanlah dia, karena hak perwalian itu bagi orang yang memerdekakan.”
Kemudian Rasulullah berdiri di hadapan manusia seraya memuji Allah dan mengagungkanNya, “Apa urusan orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak pernah ada pada Kitabullah. Barangsiapa yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah, maka ia tidak berhak mendapatkannya, walaupun dia mensyaratkan seratus kali, kerana syarat Allah lebih berhak untuk dilaksanakan dan lebih kuat.”
Dalam riwayat Bukhari, Rasulullah menambahkan, “Sesungguhnya perwalian (seorang budak) adalah milik orang yang memerdekakannya.”
Ummul Mukminin Aisyah menyerahkan uang sebesar sembilan uqiyah kepada Barirah untuk menebus dirinya. Barirah membawa uang itu kepada majikannya dan menebus dirinya. Ia mendatangi Ummul Mukminin Aisyah dengan status baru.
“Alhamdulillah, wahai Ummul Mu’minin, Allah telah menghilangkan duka citaku dan menyingkapkan kegundahanku, dan aku telah mendapatkan sesuatu yang besar dengan keshabaran.”
Barirah pun menyampaikan pada Ummul Mukminin Aisyah bahwa ia akan segera meminta kepada Rasulullah untuk memisahkan dirinya dengan suaminya, Mughits. Ia pun menemui Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku memohon, kiranya tuan sudi menceraikanku dari suamiku Mughits, aku sekarang telah merdeka sedangkan dia masih sebagai budak, aku sudah tidak kuat lagi hidup bersamanya. Tanyalah pada Ummu Abdillah, Aisyah. Pasti beliau akan memberitahukan bagaimana nasib kehidupanku bersamanya.”
Dalam Musnad Ahmad, Rasulullah memberikan pilihan pada Barirah tanpa Barirah meminta dipisahkan, “Pilihlah jika kamu mau, apakah engkau akan tetap tinggal di bawah budak ini (tetap menjadi istrinya) atau engkau berpisah darinya.”
Sementara dalam Sunan Ad Darimi, Rasulullah menganjurkannya agar ia berbuat baik terhadap suaminya. Namun, Barirah berkata kepada Rasulullah , “Bukankah aku boleh berpisah dengannya?”
Beliau menjawab, “Benar.”
Barirah pun berkata, “Sungguh aku telah berpisah darinya.”
“Seandainya suamiku memberi kepadaku ini dan itu,” kata Barirah dalam Shahih Bukhari, “Itu semuanya tidak menjadikanku tinggal bersamanya.”
Dalam riwayat lain ia mengatakan, “Kalaulah suamiku memberiku demikian dan demikian, aku tidak mau bermalam dengannya.”
“Aku tidak suka tinggal bersamanya, dan aku memiliki demikian dan demikian,” katanya dalam Sunan Abu Dawud. Lalu Barirah memilih untuk sendiri.
Maka, Rasulullah pun mengutus seseorang mengabarkan bahwa Barirah telah memutuskan untuk bercerai dari Mughits dan diterima oleh Rasulullah . Saat kabar itu didengar oleh Mughits, ia pun jatuh pingsan. Kekhawatirannya menjadi kenyataan. Kesedihan begitu mendalam mencabik-cabik hatinya. Harapan seakan tidak menyisa lagi dalam perjalanan masa depannya. Bumi terasa menyempit dan masa depan seakan suram jika ia terpisah dari isteri yang sangat dicintainya itu.
Rasulullah memerintahkan Barirah untuk ber’iddah selama tiga kali quru’ layaknya perempuan yang baru bercerai lainnya. Abdullah bin Abbas menceritakan bahwa ia melihat Mughits berjalan di sepanjang lorong-lorong Madinah mengikuti Barirah. Ia menangis tanpa henti. Airmatanya menetes membasahi jenggotnya. Mughits mengiba dan terus-menerus merayu Barirah agar ia mau kembali kepadanya dan menjadi isterinya lagi. Namun, Barirah tetap keukeuh pada pendiriannya untuk berpisah dari Mughits.
Mughit pun meminta bantuan pada Rasulullah , dalam Sunan Abu Dawud, “Wahai Rasulullah, bantulah aku berbicara kepadanya.”
Rasulullah yang kala itu bersama Abbas bin Abdul Muthalib pun bersabda dalam Shahih Bukhari, “Wahai Abbas, tidakkah kamu takjub akan kecintaan Mughits terhadap Barirah dan kebencian Barirah terhadap Mughits?”
“Betul,” jawab Abbas, “Demi Zat Yang Mengutusmu, sungguh urusan mereka sangat aneh.”
Kemudian Rasulullah memanggil Barirah. “Wahai Barirah,” kata beliau, “Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, ia adalah suamimu dan ayah anakmu.” Dalam Shahih Bukhari, Rasulullah berkata, “Seandainya kamu mau meruju’nya kembali.”
“Wahai Rasulullah, apakah Anda menyuruhku?” tanyanya.
Barirah tahu bahwa jika Rasulullah telah memerintahkan sesuatu, maka tiada pilihan lain bagi seorang muslim selain untuk memenuhi perintah tersebut. Karena itu, ia menanyakan perihal permintaan Rasulullah untuk rujuk dengan Mughits. Namun, jika Rasulullah hanya memberikan saran, maka ia sudah mempersiapkan jawaban.
“Aku hanya menyarankan,” kata Rasulullah dalam satu riwayat Shahih Bukhari. Dalam Musnad Ahmad dan riwayat Shahih Bukhari yang lain, Rasulullah berkata, “Innama ana asyfa’u. Sesungguhnya saya hanyalah seorang penolong.”
Maka, dengan tegas, Barirah pun menjawab, “Sesungguhnya aku tak berhajat sedikit pun padanya.”
Berakhirlah sejarah mencatat kisah cinta Mughits dan benci Barirah. Keduanya memberikan satu pelajaran yang berharga tentang cinta, kebencian, dan keshabaran. Seluruhnya terlingkupi dalam pilihan, keputusan, dan konsekuensinya. Bahkan dalam ilmu fikih, kisah Mughits – Barirah memberikan hukum yang terang dan sangat penting tentang hukum-hukum munakahat dan kemasyarakatan.
Mughits mencintai perempuan shahabiyah itu dengan cinta yang demikian dalam hingga berkali-kali membawanya pada ketertutupan akal sehatnya. Ia hanya mau menikah dengan perempuan yang dicintainya, meski telah ditolak. Bahkan ia menyatakan tidak akan bisa mencintai perempuan yang lain. Sebuah pernyataan yang hakikatnya berlebihan.
Kondisinya semakin diperparah dengan karakter melankolis yang mengakar kuat dalam dirinya. Yang demikian menjerembabkannya pada kondisi-kondisi yang tidak diinginkannya hingga ia seakan-akan terus membiarkan dirinya dalam penderitaan dan kesedihan yang timbul atas sebuah kondisi. Ia tidak mau bangkit atas keterpurukannya.
Namun, perjuangannya untuk meraih cinta sang isteri sungguh luar biasa. Bertahun-tahun diupayakan yang terbaik dan berjuang agar sang isteri mencintainya. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkannya. Sang isteri makin membencinya.
Sementara Barirah, ia mengambil keputusan menerima pinangan Mughits dengan rasa keterpaksaan. Mungkin ia lupa bahwa menerima pinangan seseorang itu adalah sebuah keputusan besar yang akan memberikan konsekuensi yang demikian berat yang imbasnya ada di dunia dan akhirat. Ia akan memiliki kewajiban-kewajiban yang demikian banyak bagi suaminya. Dan jika ia tidak memenuhinya, maka ia telah durhaka.
Keshabarannya terus membersamai Mughits dalam sekian tahun yang panjang adalah sebuah kekuatan yang dahsyat. Ia membenci seseorang yang lain yang tinggal bersama, sekamar, bahkan seranjang. Ia juga harus melayani suaminya yang dibencinya itu bertahun-tahun lamanya. Sungguh perjuangan yang sangat hebat. Ia berusaha mencintai orang yang mencintainya, tapi malah kebencian yang makin terasa. Meski begitu, sejak lama ia berusaha lepas dari sang suami dan memperoleh kebebasannya sebagai manusia merdeka dan perempuan merdeka sekaligus. Keshabarannya menepi. Padahal sejatinya keshabaran itu laksana samudera yang mampu menampung seluruh air di dunia.
Seteleh Barirah dibebaskan dari keluarga bani Hilal, ia pun mengabdikan dirinya untuk melayani Ummul Mu’minin Aisyah yang telah menebusnya. Maka tidaklah mengherankan jika antara Ummul Mu’minin Aisyah dan Barirah terjalin ikatan yang semakin kuat. Bukan hanya sekadar majikan dan khadimat, tetapi hingga seakan-akan bersaudara.
Pasca kemerdekaan dirinya, orang-orang mengirimkan zakat sedekah berupa daging kambing kepadanya. Sebagian daging kambing itu dihadiahkannya kepada Ummul Mu’minin Aisyah. Ia pun memasaknya dalam sebuah periuk atau kuwali. Rasulullah SAW masuk ke dalam rumah dan melihat daging dalam periuk itu. Namun, yang disuguhkan kepada beliau saat itu adalah roti dan lauk dari rumah. Maka, beliau pun bertanya, “Bukankah tadi aku melihat periuk yang berisikan daging?”
“Ya, benar,” kata mereka, “Akan tetapi daging itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, sementara Anda tidak makan harta sedekah.” Keluarga Rasulullah SAW adalah orang-orang yang dilarang memakan harta zakat dan sedekah.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bagi Barirah adalah sedekah, sementara untukku adalah hadiah.”
Imam An Nasa’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ad Darimi, Imam Al Bukhari, dan Imam Malik mencatatnya dalam kitab hadits masing-masing, dan ini adalah lafadz dari Shahih Bukhari. Dari hadits tentang daging sedekah ini, dapat diambil hukum bahwa perpindahan kepemilikan harta dapat merubah status harta itu.
Saat terjadi peristiwa haditsul ifk, Rasulullah datang dan menanyai Barirah perihal Ummul Mu’minin Aisyah yang kala itu difitnah oleh kaum munafikin telah berselingkuh dengan Shafwan bin Al Muathal dalam perjalanan pasca perang melawan Bani Musthaliq.
“Wahai Barirah, pernahkah engkau melihat sesuatu pada ‘Aisyah yang membuatmu bimbang?” tanya beliau.
“Demi Zat Yang mengutusmu dengan Al Haq,” jawab Barirah, “aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang pantas kucela, kecuali dia itu seorang wanita yang masih sangat muda yang masih suka tertidur di sisi adonan makanan yang dibuat untuk keluarganya hingga datang hewan memakan adonan itu.”
Berdasarkan penuturan Barirah inilah Rasulullah SAW cenderung mempercayai Ummul Mu’minin Aisyah daripada desasdesus dari kaum munafikin dan sebagian kaum muslimin.
Pernah juga suatu kali tatkala Ummul Aisyah merasakan kecemburuan terhadap Rasulullah SAW, ia mengandalkan Barirah untuk mengetahui kebenaran firasat keperempuanannya itu. Ummul Mu’minin Aisyah menceritakan dalam Musnad Imam Ahmad dan Al Muwatha’ Imam Malik bahwa pada suatu malam Rasulullah dating ke biliknya, kemudian segera memakai baju kemejanya dan keluar. Ia mengira bahwa Rasulullah akan ke salah satu isterinya yang lain, ia cemburu dengan firasatnya itu. Diutusnya Barirah untuk membuntuti Rasulullah SAW dan mengetahui kemana Rasulullah pergi. Barirah membuntutinya hingga ke Baqi’ Gharqad, lalu diujung Baqi’ beliau mengangkat kedua tangannya dan berbalik pulang. Lalu Barirah pun kembali dan melaporkan apa yang dilihatnya.
Pagi harinya, Ummul Mu’minin Aisyah bertanya pada Rasulullah, “Rasulullah, semalam engkau keluar pergi kemana?”
“Saya diutus untuk pergi ke penghuni kuburan Baqi` untuk mendoakan mereka,” kata Rasulullah. Dalam Sunan An Nasa’i, Rasulullah menjawab, “Aku diutus kepada penduduk Baqi’ agar aku shalat untuk mereka.” Maka jelaslah kini firasat kecemburuan Ummul Mu’minin Aisyah tidak terbukti.
Barirah juga memiliki bashirah yang tajam. Suatu kali, Abdul Malik bin Marwan datang kepadanya. Ia melihat dalam diri Abdul Malik bin Marwan ada tanda-tanda kepemimpinan. Maka ia pun memberikan nasihat kepadanya perihal kepemimpinan. “Wahai Abdul Malik, aku melihatmu memiliki perangaiperangai yang mulia, dan engkau layak untuk memegang tampuk pemerintahan. Maka bila nanti engkau diserahi kepemimpinan, berhati-hatilah dengan masalah darah kaum muslimin, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya seseorang ditolak dari pintu surga setelah melihat keindahan surga disebabkan darah seorang muslim sepenuh mihjamah yang dia tumpahkan tanpa hak.’” Mihjamah adalah alat untuk berbekam.
Maka benarlah nasihat Barirah untuk Abdul Malik bin Marwan. Di kemudian hari ia menjadi salah seorang khilafah Bani Umayah dan memang nasihat Barirah itu cocok untuk dirinya.
Barirah hidup hingga masa Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Sedangkan sejarah mengenai mantan suaminya tidak tercatat. Semoga Allah meridhai keduanya.
foto| ilustrasi