Pastilah ada sesuatu yang menarik dari sebuah batu; bisa jadi kekokohannya, bisa jadi ketegarannya. Batu besar yang diletakkan di suatu tempat tak akan berpindah atau berganti posisi meski diterpa hujan, tidak perlu tempat berteduh jika kepanasan, dan tidak perlu selimut jika kedinginan. Hanya beberapa kejadian luar biasa saja yang bisa mengakhiri “keangkuhan” sang batu.
Mungkin kekokohan itu pula yang telah mengundang imajinasi manusia untuk bermain dengan liarnya, hingga diciptakanlah berbagai perkakas sebagai alat bantu agar manusia bisa membuat berbagai macam bentuk dari batu. Manusia yang tak ingin kehilangan orang-orang yang paling dicintai dan dihormatinya kemudian mulai mengabadikan wajah dan tubuh idola-idola mereka pada sebuah batu. Mereka pun mulai mewariskan cerita, baik kisah-kisah kepahlawanan atau pun sekedar dongeng masa kecilnya di atas batu, dengan harapan anak-cucunya akan sudi membaca dan meneruskan narasi itu ke generasi berikutnya.
Semakin liar imajinasinya, semakin besar pula media tempat tercurahnya. Manusia tidak puas dengan batu yang cuma sekepalan tangan, maka mereka pun mengambil bebatuan yang seukuran tubuhnya sendiri. Bukan pekerjaan gampang pada masa-masa ketika kendaraan berat seperti truk atau ekskavator belum lagi diciptakan orang. Sungguh besar pengorbanan manusia untuk memindahkan batu-batu besar ke tempat yang sesuai, kemudian memahatnya hingga menjadi bentuk-bentuk yang indah. Ukuran-ukuran batu yang digunakan cukup fantastis, sebagian bahkan jauh melebihi ukuran manusia dewasa.
Tinggi, besar, kokoh, angkuh, dan mengundang imaji. Betapa asyiknya manusia bermain dengan khayalannya sendiri, hingga batu yang sudah berlelah-lelah ia bawa dan bentuk sebisanya justru akhirnya malah disembahnya sendiri. Batu pun menjelma jadi berhala; ia yang tegar berdiri, akhirnya menjadi tumpuan harapan, semata-mata karena manusia putus asa berharap pada Tuhan yang tidak terjangkau oleh matanya sendiri.
Batu yang sama jenisnya dengan yang disembah-sembah itu adakalanya juga dipergunakan untuk keperluan lain. Akal manusia kembali berkelana, mengembara ke ujung ufuk khayalan untuk menemukan inspirasi. Setelah membuat “tuhannya” sendiri, barulah manusia berinisiatif untuk membuat bangunan-bangunan yang masih ada hubungannya dengan kepercayaan mereka.
Ribuan, bahkan mungkin puluhan atau ratusan ribu manusia dikerahkan oleh raja-raja Mesir untuk membangun sekedar tempat jasadnya bernaung kelak setelah ruhnya dibawa pergi. Dibangunlah piramida-piramida raksasa dengan ukuran proyek yang teramat sulit untuk dibayangkan terwujud pada masa itu. Betapa besar pengorbanan umat manusia untuk segelintir orang yang tidak terkira egoisnya.
Di Amerika Selatan, peradaban Aztec telah mencapai puncak kejayaannya yang ditandai dengan bangunan-bangunan megah dan indah. Batu-batu diukirnya dengan tingkat ketelitian yang luar biasa tinggi, kemudian disusun satu persatu hingga tinggi menjulang. Mereka pun membangun piramida-piramida, walaupun tidak persis sama seperti yang dibuat orang di Mesir.
Betapa cintanya mereka pada bangunan-bangunan batu hasil karya tangan mereka sendiri, sehingga mereka perlu membuat ritual-ritual besar untuk menyucikannya. Besarnya kecintaan mereka pada bebatuan ternyata jauh melampaui penghargaan mereka terhadap nyawa manusia. Dalam acara ritual penyucian Piramida Tenochtitlan, misalnya, mereka mengorbankan puluhan ribu nyawa manusia yang tidak lain adalah tahanan perang mereka. Semuanya itu dilakukan hanya dalam empat hari!
Suku Aztec melakukan perayaan setidaknya delapan belas kali dalam setahun, satu hari di setiap bulan dalam kalender Aztec. Dalam setiap perayaan itu senantiasa dilakukan pengorbanan manusia. Bukan satu-dua, karena masing-masing dewa menuntut korban yang berbeda-beda; perempuan muda ditenggelamkan untuk dewa Xilonen, anak-anak untuk Tlaloc, tawanan yang berbahasa Nahuatl untuk dewa Huitzilopochtli, dan seorang dari suku Aztec sendiri akan menjadi sukarelawan untuk dikorbankan pada dewa Tezcatlipoca. Bahkan untuk perayaan tahunan dewa Huitzilopochtli saja biasanya dikorbankan lebih dari enam puluh tawanan, semuanya terjadi di kuil-kuil Aztec yang megah-megah itu.
Bangsa Romawi juga mampu membuat bangunan yang megah-megah. Colosseum, misalnya, merupakan bangunan megah yang masih berdiri tegar hingga detik ini. Gedung batu raksasa ini dibuat untuk keperluan hiburan rakyat -tontonan manusia yang saling bunuh (gladiator)-, pertarungan antara manusia dan hewan buas, atau sekedar pementasan drama. Semua dilakukan di panggung yang sama, di tengah-tengah kerumunan massa yang memuaskan dahaganya akan “hiburan”.
Di Indonesia, bebatuan diangkut, disusun dan diukir sedemikian indahnya hingga menjadi candi raksasa seperti Borobudur, atau komplek candi seperti Prambanan. Sebuah proyek kolosal yang sama menakjubkannya dengan bangunan-bangunan batu di belahan dunia lainnya. Pola pembangunannya pun bisa kita perkirakan tidak jauh beda dengan bangunan-bangunan batu megah lainnya dari masa lampau: rakyat jelata memeras keringat dan darah, kaum bangsawan yang menikmatinya.
Itulah keangkuhan batu dan peradaban yang dibangun atasnya. Sebutlah ia “peradaban batu”, sebuah peradaban elitis yang selalu menciptakan diskriminasi di antara manusia. Raja-raja di Mesir memaksa rakyat dan budak belian untuk membangunkannya kuburan megah. Para bangsawan Aztec mengorbankan nyawa manusia untuk menyucikan kuil-kuilnya dan untuk menyenangkan dewa-dewanya. Kaum elit Romawi enak-enak duduk dan bercengkerama sementara para gladiator saling tikam dan budak belian dimangsa hewan buas. Pada akhirnya, peradaban yang fasis, rasis dan diskriminatif ini ditinggalkan begitu saja. Kejayaan Fir’aun musnah, peradaban Aztec hancur, dan Romawi terpecah-belah.
Bagaimana dengan candi-candi di Indonesia? Ah, tidak tahukah antum bahwa Candi Borobudur baru ditemukan kembali pada tahun 1814 setelah delapan abad terkubur dan dilupakan orang? Selama kurun waktu itu, Borobudur telah berubah menjadi sebuah bukit yang ditumbuhi semak belukar. Beberapa warga yang berani biasa menemukan potongan-potongan arca di sana, sedangkan pada umumnya masyarakat sekitar tidak berani ke daerah itu karena dianggap angker dan berbahaya. Pada tahun 1814, Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Britania Raya di Jawa, mendengar tentang penemuan sejumlah arca di daerah tersebut, kemudian barulah ia memerintahkan HC. Cornelius pada tahun 1815 untuk memulai penggalian di sana. Lebih dari 200 orang penduduk pribumi disuruh kerja paksa selama 45 hari untuk membabat semak belukar dan menggali tanah hingga terlihatlah wujud Candi Borobudur yang sudah rusak cukup parah karena dilupakan orang hingga delapan ratus tahun lamanya.
Candi-candi batu itu, sebagaimana bangunan-bangunan peninggalan ‘peradaban batu’ lainnya, juga tidak lepas dari sejarahnya yang elitis. Mereka yang berkasta Syudra dan Paria dikerahkan untuk pembangunannya, namun yang menikmatinya hanya kasta Brahmana dan Ksatriya saja. Peradaban yang semacam ini memang meninggalkan warisan bangunan-bangunan batu yang menakjubkan, namun juga pengalaman hidup yang pedih bagi masyarakatnya. Itulah sebabnya manusia dengan mudah saja dapat melupakan peradaban yang semacam itu.
Setelah candi-candi ditinggalkan dan dilupakan orang hingga ratusan tahun lamanya, ke manakah masyarakat Jawa berpaling, dan mengapa? Kalau mau jujur, sebenarnya hal yang demikian itu terjadi karena datangnya agama yang menawarkan persamaan derajat di antara manusia, tidak memaksa manusia untuk membuat bangunan-bangunan batu, apalagi kalau sampai harus mengorbankan manusia, dan tidak elitis dalam peribadatannya. Agama ini mengajak manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang Satu, yang tiada duanya, bersimpuh di tanah yang sama tingginya, bersujud menempelkan dahi di tanah yang sama rendahnya. Siapa yang datang lebih dahulu, dialah yang berhak mendapatkan shaf terdepan. Siapa yang lebih ber-taqwa, dialah yang lebih dicintai Tuhannya. Dalam agama ini, tidak ada rasialisme, fasisme, atau diskriminasi dalam bentuk apa pun.
Tidak heran masyarakat Jawa berpaling melupakan Borobudur hingga 8 abad lamanya. Yang mengherankan adalah ketika ada orang-orang yang memberi kesan bahwa Borobudur dan candi-candi semacamnya adalah bukti puncak kejayaan peradaban manusia, padahal ia hanyalah satu dari sekian banyak bukti sejarah kegagalan peradaban batu.