Bekal Bagi Para 94L4W-ers: Cinta Dulu, Atau Nikah Dulu?

Kapankah saat yang tepat menumbuhkan rasa suka pada pasangan? Sebelum atau sesudah aqad nikah? Ada yang berpendapat, minimal dua minggu sebelum waktu aqad, sudah mulai ada usaha untuk menimbulkan rasa itu, agar saat malam zafaf (malam diboyongnya istri ke rumah suami, tapi kadang disederhanakan sebagai malam pertama) tidak ada kekakuan lagi. Mengapa? Karena ada juga sampai ada muslimah yang merasa -maaf- diperkosa oleh suaminya sendiri (mungkin karena merasa kesakitan dan cara jima’ suami yang agak kasar), juga belum adanya rasa cinta akhwat tersebut pada pasangan.

Hakikatnya, yang dibutuhkan oleh calon pasangan setelah khitbah (lamaran) tapi belum menikah bukanlah cinta/sayang, tapi kesiapan dan kelapangan hati. Dalam arti, siap menerima pasangan apa adanya, tidak ada keraguan lagi terhadap calon pasangan baik secara fikriyah, jasadi, akhlak, dan lain-lain. Dengan adanya kelapangan hati dan kesiapan mental dari keduanya, Insya Allah bayangan-bayangan buruk tentang malam zafaf tidak akan terjadi. Masing-masing berusaha untuk memuliakan pasangannya, tidak akan saling menyakiti. Dengan itu pula, cinta akan hadir dan terus bersemi sejak aqad diucapkan.

Bagaimana jika setelah menikah pun belum muncul rasa cinta? Tidak mengapa. Hal ini wajar terjadi pada sepasang pengantin yang memang bertemu karena perjodohan. Tetapi yakinlah, bahwa cinta itu akan tumbuh perlahan, selama kita berhusnudzan pada Allah. Pasrahkan hati kita pada Sang Pemilik hati, agar Dia berkenan menumbuhkan rasa itu. Banyak berdoa, dan juga berusaha agar tumbuh rasa cinta yang menentramkan. Cinta bukan sesuatu yang pasif, tapi justru aktif. Stephen Covey dalam Seven Habit-nya mengatakan, cinta itu kata kerja, bukan kata sifat. Jadi bukan seperti film India, yang menyikapi cinta seolah menungu wangsit. Menganggap cinta itu ’given’ semata. Tidak mau menikah kalau tidak dengan pasangan yang digandrunginya, hingga sampai merebutnya meskipun sudah menjadi istri orang. Hmm, padahal, cinta di bawah naungan-Nya, jauh lebih indah.

Bagaimana jika sudah timbul rasa suka/cinta sebelum aqad? Tidak mengapa juga, karena ketertarikan dan kedekatan itulah landasan dan motivasi seseorang memilih pasangan hidup dan bermaksud menikahinya. Hal yang perlu dijaga adalah rasa cinta itu ada dalam batas kewajaran, tidak sampai ’mabuk kepayang’, mengganggu konsentrasi. Ini bisa diimbangi dengan tetap mendekatkan diri pada Allah dan minta perlindungan-Nya, untuk menjaga diri dan hati kita agar cinta yang sudah ada tersebut tetap dijaga kesuciannya, tidak terkotori berbagai ’imajinasi’ yang dapat mengotori hati.

Hal lain yang perlu diingatkan adalah, meskipun sudah khitbah (dan mungkin sudah ada benih-benih cinta), tidak perlu diungkapkan secara verbal/non verbal pada calon istri/suami, cukup disimpan dalam hati masing-masing saja.

Banyak kasus yang saya temukan dalam masalah ini, dimana komunikasi antar calon pasangan yang niat awalnya hanya berkoordinasi untuk urusan menikah, kebablasan menjurus ke hal-hal yang bersifat pribadi, bahkan sampai mengungkapkan rasa sayang, kangen, kuatir, hingga rayuan maut yang tak terkendali layaknya anak muda biasa pacaran. Sebagai orang yang sudah terbina dan mengerti agama, selayaknya hal seperti ini benar-benar dipahami. Harus ada beda (furqan) antara mereka yang sudah ngaji dengan yang belum ngaji.

Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi yang sedemikian rupa saat ini seperti HP dan internet, peluang untuk mengungkapkan hal seperti itu melalui media menjadi terbuka lebar. Mungkin seseorang yang sudah mengaji, akan berpikir ulang untuk mengungkapkan rasa hatinya secara langsung saat bertatap muka atau melalui telepon rumah, karena malu didengar banyak orang dan butuh ’nyali’ yang besar. Tapi dengan adanya HP (sms), email, YM, atau BBM yang bersifat lebih pribadi, kadang ada juga calon pasangan yang ’tergoda’. Bukan bermaksud memojokkan, dalam hal ini, saya lihat justru dari pihak lelakilah yang sering kurang bisa menahan diri. Mungkin karena memang begitulah laki-laki diciptakan, jika menyangkut kecenderungan hati pada perempuan, apalagi perempuan tersebut sudah dia pinang (artinya sudah menerima dia sepenuh hati). Laki-laki akan cenderung tidak bisa ’menahan perasaan’nya. Oleh karena itu, perlu saling mengingatkan, saling taushiyah.

Menghadapi lelaki model begitu (biarpun kita juga tahu dia sudah mengaji cukup lama), diharapkan muslimahnya yang bisa bersikap lebih tegas dalam hal begini. Jika mulai ada tanda-tanda ’aneh’ dari calon suaminya, lebih baik terkesan galak dan jutek dari pada terjerumus ke hal-hal yang begini (nanti romantismenya setelah aqad saja lah).

Atau untuk lebih amannya, sejak awal selalu melibatkan orang ketiga dalam koordinasi tersebut. Misalnya minta kakak kandung, guru ngaji, atau teman ngaji yang dipercaya dalam setiap komunikasi. Jika saling ber-sms atau email orang-orang tersebut diforward atau melalui mereka dulu sebagai perantara (tidak langsung). Atau jika dengan YM dan BBM ya dibuat dalam conference. Bentuk-bentuk preventif semacam ini sangat penting, karena ternyata, meskipun sudah mendapatkan materi ma’rifatullah dan ma’iyatullah di awal tarbiyah, tetap saja membutuhkan ’polisi pengawas’ yang akan membuat calon pasangan berpikir ulang untuk bersikap ’aneh-aneh’.

Satu hal lagi yang perlu diingat untuk calon pasangan, bahwa keberkahan pasca menikah nanti, erat kaitannya dengan kebersihan proses pernikahan itu sendiri sejak awalnya. Karena pernikahan dalam Islam tetap bagian dari ibadah, dan sesuatu baru bernilai ibadah jika sudah mengunakan cara-Nya. Jika Allah suka, maka keberkahan-Nya akan turun menyemai pernikahan kita. Itulah sebabnya doa bagi sepasang pengantin yang disunnahkan adalah Barokallahu lakuma wabaaroka alaika…, bukan doa semoga cepat mendapatkan momongan, semoga langgeng sampai kakek nenek, dan sebagainya.

Tapi, bagaimana mungkin Allah akan memberikan keberkahan berlimpah, jika kita sendiri melakukan hal-hal yang membuat Allah tak suka? Jadi, jangan kotori atau membuat pernikahan kita sendiri tidak berkah, hanya karena kita tidak pandai mengelola rasa. Ketakmampuan kita dalam mengelola rasa yang mengotori proses menjekang pernikahan, itu ibarat menggali lubang untuk kuburan kita sendiri.

Lalu apa batasannya antara yang boleh dan tidak boleh dilakukan sambil menunggu aqad nikah? Batasan komunikasi antara calon pasangan setelah khitbah dikembalikan pada hati nurani masing-masing. Kira-kira ini memalukan tidak, keluar dari adab atau tidak. Namun yang perlu diingat adalah, Allah lebih berhak untuk mendapatkan rasa malu itu dari hamba-Nya. Rasa malu pada manusia sangat relatif, lagi pula manusia punya pengetahuan yang terbatas tentang apa yang dilakukan manusia lainnya. Tetapi, Allahu ’alimul ghoibi was syahadah! Allah Maha Mengetahui apa yang tampak dan apa yang disembunyikan oleh hati.  Di mana kita akan bersembunyi dari Allah, saat perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji itu saat itu juga langsung diketahui Allah? Kasarnya, jika sudah sulit mengendalikan hasrat hati, ingat-ingatlah hadits: jika kamu sudah tidak punya malu, berbuatlah sesukamu..