Secara nash, kita memang menemukan banyak hadits yang menyebutkan tentang hijamah (berbekam) yang mengarah kepada hukum yang mewajibkan. Namun sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat tentang hukumnya, bahkan masih juga berbeda pendapat tentang apakah hijamah itu bagian dari syariat atau bukan.
Di antara nash tentang hijamah (berbekam) antara lain:
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa dia berkata kepada orang sakit yang dijenguknya, “Tidak akan sembuh kecuali dengan berbekam. Sungguh aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata bahwa pada berbekam itu ada kesembuhan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Salma pelayan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata bahwa tidak ada seorang pun yang mengadukan penyakitnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam di kepala kecuali beliau memerintahkan, “Berbekamlah.” (HR Abu Daud dengan isnad hasan)
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, “Berbekamlah (pada tanggal) 17, 19 dan 21. Karena itu obat dari segala penyakit. (HR Abu Daud dengan isnad hasan dengan syarat dari Muslim)
Dr. Yusuf Al Qaradhawi dan juga banyak ulama di masa lalu, ketika membahas tentang hukum hijamah ini, berpendapat bahwa hijamah tidak lebih dari sebuah teknologi kesehatan yang sedang berkembang di masa lalu. Kalau pun ada riwayat bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan hijamah (dibekam), bukan berarti hal itu menjadi bagian dari risalah beliau sebagai nabi.
Menurut beliau, ketika Nabi memberi pengarahan tentang berbekam, beliau sedang tidak dalam kapasitas sebagai pembawa risalah, melainkan sebagai orang yang punya pengalaman teknis dengan hijamah. Jadi sekedar ijtihad, bukan syariat yang turun dari langit.
Persis dengan kasus ketika beliau mengatur posisi pasukan dalam perang Badar. Oleh para shahabat yang jauh lebih berpengalaman, petunjuk Nabi ini dianggap kurang tepat. Setelah memastikan bahwa ketetapan itu bukan wahyu melainkan hanya ijithad Nabi belaka, maka posisi pasukan pun diubah supaya lebih menguntungkan. Dan hal itu sangat dimungkinkan.
Tentang adanya tindakan Nabi yang menjadi bagian dari syariah dan bukan syariah, kalau kita telusuri dalam literatur, kita akan bertemu dengan sebuah kitab yang sangat menarik dalam membahas hal ini. Penulisnya adalah Syeikh Ad Dahlawi.
Dalam kitabnya, Hujjatullah Al-Balighah, beliaumengatakan bahwa sunnah (perkataan dan perbuatan) Nabi itu terbagi menjadi dua klasifikasi:
Pertama, bagian yang terkait dengan hukum syariah, di mana hukumnya bisa ditetapkan menjadi 5, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Kedua, bagian yang tidak terkait dengan hukum syariah, melainkan sekedar menjadi bagian dari fenomena sosial, teknologi dan hal-hal yang berbau teknis pada zaman dan wilayah tertentu.
Dan praktek hijamah ini dikelompokkan sebagai perbuatan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang bukan termasuk syariah. Sehingga hukumnya tidak terkait dengan hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Hukumnya dikembalikan kepada semata-mata pertimbangan logika dan pengalaman empiris. Kalau ternyata teknologi hijamah itu masih bisa cocok dan sesuai dengan ilmu kesehatan yang berkembang sekarang, maka silahkan dipakai. Tetapi kalau tidak, maka tinggalkan saja.
Maka kalau kita menggunakan logika Ad Dahlawi, silahkan saja gunakan teknologi hijamah ini bila secara empiris dan ilmu kesehatan dianggap sangat bermanfaat. Tetapi agaknya tidak ada kaitannya dengan hukum wajib atau sunnah. Semua dikembalikan kepada manfaatnya.
Adapun tentang penggunaan beragam peralatan dan perkembangan teknologi hijamah, silahkan saja dikembangkan sebebas-bebasnya, karena masalah ini bukan ritual agama. Misalnya dengan teknologi plester seperti koyo yang bisa menyerap ‘darah kotor’. Tentu sangat praktis dan bisa didapat dipinggir jalan serta bisa digunakan kapan saja.
Wallahu a’lam bish shawab,
Oleh: Ahmad Sarwat, Lc.