Orang yang menekuni bidang studi syariah, atau lebih spesifik lagi, ia menekuni bidang fiqih perbandingan madzhab, pastilah ia mengenal kitab Bidayah Al-Mujtahida wa Nihayah Al-Muqtashid [بداية المجتهد ونهاية المقتصد] karangan Imam Imam Ibnu Rusyd Al-Qurthubi Al-Andalusi (595 H).
Bahkan bukan hanya tahu ada kitab itu, akan tetapi ia mempelajarinya dan membukanya lembar per-lembar, halaman per-halaman dan membacanya. Sepertinya itu sebuah hal yang pasti bagi para pelajar atau mahasiswa syariah, khususnya bida studi fiqih perbandingan madzhab.
Karena memang kitab Imam Ibnu Rusyd, walaupun beliau bermadzhab Fiqih Maliki, beliau tidak hanya menyediakan pendapat-pendapatnya sebagai bagian dari punggawa ulama-ulama Malikiyah, akan tetapi beliau uraikan semua pendapar madzhab, dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Zohiriyah, Zaidiyah, dan Hanabilah. Bahwa pendapat-pendapat para madzhab fiqih sahabat serta Tabi’in pun dimuat dalam kitabnya ini, seperti sayyidah ‘Aisyah, sahabat Ibn Mas’ud, sahabat Ibnu Umar, sahabat Ibn Abbas. Kalau dari kalangan Tabi’in ada Hammad bin Abi Sulaiman, Ibrahim Al-Nakho’i dan yang lainnya.
Jadi setiap kali beliau memulai penjabaran masalah, beliau juga mengurai pendapat masing-masing madzhab. Kemudian beliau menarik benang merah perbedaan antara madzhab-madzhab tersebut, “Apa sih yang membuat mereka berbeda pendapat?”, sehingga orang yang mempelajarinta tahu sumber masalah, kamudian barulah beliau mengurai dalil masing-masing madzhab.
Dan kalau ada orang yang mengaku mempelajari fiqih, dan menekuninya, aneh kalau ia tidak mengenal dan tidak mempelajari kitab ini. Karena bagaimanapun, kitab ini dipelajari dan menjadi muqorror resmi semua fakultas syariah di sejagad raya ini. Apapun negaranya, kalau itu fakultas syariah studi Fiqih, pastilah kitab ini yang dipakai.
Faidah
Dengan kitab ini, sejatinya orang mempelajarinya paham dan mengerti dan mendapat setidaknya 4 faidah:
• Pendapat masing-masing madzhab
• Benang merah perbedaan
• Dan dalil masing-masing madzhab
• Wijhat Nadzor (sudut pandang) seorang faqih (ahli fiqih) dalam menyimpulkan hukum dari sebuah teks syariah
Dan memang 4 poin ini yang menjadi bekal utama seorang ahli fiqih, baik mereka yang mau berijtihad atau juga mereka yang sudah dalam taraf mujtahid.
Semua itu yang memang jelas akan didapatkan oleh seorang pembelajar kitab Imam Ibnu Rusyd ini. Tapi ada satu poin lagi yang Imam Ibnu Rusyd ajarkan dalam kitabnya, namun sayang banyak yang tidak menyadari. Dan –Alhamdulillah¬- penulis punya guru yang memapu menyadarkan poin itu untuk kami.
Beradab Adabnya Ulama
Yaitu poin Adab yang selalu Imam Ibnu Rusyd gambarkan dalam setiap baris tulisan yang beliau tulis dalam kitabnya; Adab beliau sebagai ulama yang banyak orang mengambil ilmu darinya, dan adab beliau sebagai pembelajar juga penuntut ilmu yang mengambil ilmu dari ulama-ulama yang telah mendahuluinya.
Bidayatul-Mujtahid adalah kitab yang mengurai semua pendapat fiqih dari Imam dan madzhab-madzhab fiqih yang masyhur, tapi sepanjang telaah penulis yang minim ini, penulis tidak pernah mendapati Imam Ibnu Rusyd mendeskreditkan pendapat ulama lain atau madzhab lain yang bersebrangan dengan madzhab beliau; Maliki.
Tidak pernah sekalipun Imam Ibnu Rusyd menyindir dan mencela pendapat madzhab lain yang itu bersebrangan dengan pendapat beliau. Dengan fair dan bijak beliau urai semua, beliau juga jelaskan kenapa fulan mengambil kesimpulan seperti itu dan beliau tidak menutupi.
Tidak [Pernah] Men-Tarjih
Dan di akhir pembahasan, tak sekalipun beliau melakukan Tarjih (proses pengunggulan) pendapat antar pendapat yang lain. Justru beliau malah membiarkan masalah begitu saja tanpa mengatakan bahwa yang satu lebih benar dari yang satu. Lihat bagaimana adab beliau kepada para ulama. Tak pernah menghina, tak pernah mencela.
Beliau sadar, beliau bukan satu-satunya ulama, beliau sadar besarnya jasa dan usaha ulama yang mendahuluinya dalam upaya mencerdsakan umat. Dan beliau sadar, beginilah fiqih yang tidak lepas dari perbedaan pendapat.
Satu-satunya masalah yang ia tarjih ialah masalah nabidz, yaitu perasan buah atau sejenisnya selain kurma dan anggur, yang kemudian menjadi barang yang memabukkan. Dalam masalah ini, jumhur ulama mengatakan itu tetap haram baik sedikit atau banyak, akan tetapi madzhab Hanafi tidak melihat itu sebagai keharaman kecuali jika itu memabukkan. Di sini Imam Ibnu Rusyd melakukan proses “pembelaan” untuk madzhabnya Malikiyah. Hanya masalah ini saja dari sekian ribu masalah yang ada dalam kitab beliau!
Lihat bagaimana adab seorang ulama besar seperti Imam Ibnu Rusyd, punya ilmu mumpuni akan tetapi tak sekalipun mendeskriditkan ulama lain. Tidak merasa benar, tidak meresa paling mengikuti Nabi saw.
Takut Ghibah
Tak bisa kita pungkiri bahwa dalam masalah fiqih, ada saja pendapat yang memang terkesan nyeleneh dan tidak masuk akal, bahkan tak berdasarkan dalil atau bahkan berdasar hawa nanafsu saja. Akan tetapi Imam Ibnu Rusyd tetap saja menaruh dan menulis pendapat tersebut.
Tapi lihat bagaimana adabnya Imam Ibnu Rusyd! Setiap kali beliau menuliskan pendapat, beliau sandingkan pendapat itu kepada si empunya pendapat; Syafiiyah kah, Hanafiyah kah atau Zohiriyah kah. Tapi ketika ada pendapat yang nyelenah, beliau menyebutkan itu tapi tidak beliau sandingkan kepada si empunya qoul, beliau hanya mengatakan [قال به قوم] Qoola bihi Qoum (Ini pendapatnya salah satu kaum), atau [ذهبت إليه طائفة] Dzahabat Ilaih Thoifah (ini pendapat salah satu kelompok).
Beliau tidak sandingkan si empunya qoul, karena beliau sadar, ini pendapat yang kurang masuk akal dan agak jauh dari dalil,, kalau disebutkan juga si empunya, baliu takut jatuh pada dosa Ghibah.
Beliau seperti ini, tidak lain karena memang mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Imam-imam Madzhab sebelumnya, yang memang tak sekalipun menghina atau mencela ijtihad ulama lain. Semua saling menghargai dan saling menutupi aib, bukan malah menghamburnya agar diketahui oleh orang lain.
Tapi kita lihat sekarang justru kebalikannya, banyak orang yang mengaku pelajar syariah, tapi justru malah saling menghina dan lempar hujatan. Ketika menuliskan sebuah masalah hukum syariah pun tidak jahu beda. Mereka menganggap bahwa hanya pendapat dia yang benar dan yang lain salah, dan tidak boleh mengikuti selain pendapat dia. Kemudian habis-habisan mneghujat pendapat orang lain dengan menuduhnya sebagai orang yang tidak mengerti sunnah.
Lalu dimana adab seorang penuntut ilmu? Bukankah ulama salaf kita; Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Malik bin Anas (179 H), Imam Syafi’i bin Idris (204 H), dan juga Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) tidak pernah mengajari menghina dan mencemooh pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya?
Lalu yang biasa menghina dan meresa benar sendiri, belajar dari mana? Wallahu A’lam
Zarkasih Ahmad, S.Sy.