Setelah seminggu, saya baru sempat membaca Majalah Tempo edisi khusus Benny Moerdani tadi malam. Judul sampul depannya memang menjanjikan, “Benny Moerdani: Yang Belum Terungkap”. Tapi judul itu, seperti biasa, cuma isapan jempol.
Saya berharap tadinya majalah yang dulu disebut “dikelola para rahib” oleh Zaim Uchrowi ini akan mengkonfirmasi satu bab yang menjadi tanda tanya besar ihwal hubungan Benny dengan Megawati. Ya, hubungan Benny dengan Mega! Dalam semi-memoarnya, “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian” (2013), Salim Said menulis bab sangat panjang mengenai Benny, yang disebutnya sebagai “king maker” itu. Sebagai bagian dari minoritas, Benny memang sangat menyadari bahwa posisinya tidak mungkin lebih tinggi lagi. Oleh karena itu dia berusaha membangun kekuasaan sebagai “king maker”.
Dalam bab yang panjang itu, dia menulis sebuah kesaksian penting bahwa Benny pernah dilamar oleh Bung Karno untuk menjadi suami Mega, tak lama setelah Benny mendapatkan Bintang Sakti, bintang tertinggi dalam dunia keprajuritan. Itu terjadi setelah keberhasilan Operasi Trikora di Irian Barat. Dalam bab yang sama, Salim Said juga menyinggung bagaimana kemudian di ujung kekuasaan Orde Baru, Benny “membantu” Megawati dan PDI, melalui tangan Agum Gumelar dan A.M Hendropriyono, sesuatu yang pernah membuat Soeharto sangat murka.
Kisah tentang lamaran Bung Karno kepada Benny untuk Mega bukan hanya diceritakan Salim Said, tapi juga oleh biografi Benny sendiri, “Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan” (1993). Meski disarukan oleh berbagai kisah, cerita lamaran Bung Karno itu diceritakan dalam sebuah bab tersendiri. Dalam buku biografi tersebut, ada dua sebenarnya lamaran Bung Karno pada Benny, yaitu lamaran agar Benny menjadi menantunya, dan agar Benny bersedia menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa. Namun, keduanya ditolak oleh Benny. Khusus untuk calon isteri, Benny sudah punya calon sendiri.
Fragmen itu sebenarnya menarik. Namun sayangnya, cerita mengenai hal itu juga dilewatkan oleh Jusuf Wanandi dalam buku memoarnya, “Menyibak Tabir Orde Baru” (2014). Jusuf, kakak kandung Sofjan Wanandi, yang juga pendiri dan petinggi CSIS, adalah orang dekat Benny. Fragmen penting itu mestinya mustahil dilewatkan. Namun Jusuf sepertinya memang sengaja melompati soal itu. Entah kenapa.
Pada awal 1990-an, bantuan Benny sebenarnya bukan hanya diberikan kepada Mega dan PDI, yang kemudian menjadi simbol oposisi paling kuat terhadap Soeharto, tapi juga kepada Gus Dur. Forum Demokrasi yang dipimpin Gus Dur, mustahil bisa eksis pada zaman itu jika tidak “dilindungi” oleh orang kuat seperti Benny.
Tentunya ada sejumlah pertanyaan menarik yang bisa dikemukakan terkait hal itu, yaitu apakah sokongan Benny kepada Mega itu ada kaitannya dengan kisah lama tahun 1960-an tadi, atau itu lebih merupakan efek dari ketersingkiran Benny dari panggung kekuasaan pasca-dicopot sebagai Panglima ABRI pada 1988?
Bukan merupakan rahasia lagi, sejak menjadi Pangab pada 1983, hubungan Benny dengan Soeharto memang malah semakin menjauh. Ujungnya adalah ketika Soeharto mencopotnya dari kursi Pangab menjelang Sidang Umum MPR 1988. Sebuah momen pergantian jabatan yang tidak lazim, karena dilakukan menjelang momen krusial SU-MPR yang disebut-sebut akan menjadi periode terakhir kepresidenan Soeharto. Tak berhenti di sana, sisa-sisa kekuatan Benny di tubuh militer semakin terkikis pasca-peristiwa Santa Cruz di Dili pada 1991. Satu per satu orang-orangnya dicopot dari jabatan-jabatan strategis.
Gus Dur dan Mega adalah simbol oposisi terhadap Soeharto yang sedang naik daun pada awal 1990-an. Apakah Benny telah memanfaatkan keduanya untuk menunjukkan garis politiknya pada Soeharto? Atau, apakah terjadi hubungan saling memanfaatkan antara Benny, Mega dan Gus Dur? Saya punya sebuah catatan menarik, bahwa ketika Gus Dur menjadi presiden, mereka yang sebelumnya disebut sebagai “orang-orang Benny” kembali naik daun dan menempati jabatan-jabatan strategis. Sekali lagi, sayangnya fragmen penting ini tidak diungkap oleh klaim “yang belum terungkap” yang dijual oleh Tempo. Padahal itu adalah obyek ‘in depth reporting’ yang menarik.
Tapi, barangkali ekspektasi saya mungkin terlalu besar.
Tarli Nugroho