Islam adalah agama yang syamil (sempurna). Segala hal diatur dengan rapi dalam Islam. Mulai dari hal kecil seperti buang air, makan, tidur, hingga hal yang besar seperti berpolitik, berkeluarga, dan lain sebagainya. Tak ada urusan apa pun yang tidak diatur oleh Islam, termasuk ciri fisik sekali pun.
Jenggot, gamis, celana gantung, atau jilbab bagi perempuan, dan hal zhohiriah (nampak) lainnya merupakan sebuah symbol atau ciri fisik orang Islam. Tentunya hal tersebut ada bukan dari kebetulan, melainkan memang seperti itulah yang disyari’atkan oleh Rosulullah SAW. Namun apakah ketika kita sudah memenuhi kriteria fisik tersebut kita sudah menjadi seorang Muslim/Muslimah yang kaffah (menyeluruh)? Sementara di lain sisi ada sebagian orang yang berpendapat hal zhohiriah tersebut tidaklah perlu diumbar atau ditampakan. Mereka menganggap yang terpenting adalah substansi dari keimanan tersebut, seperti sholat, zakat, puasa, dsb. Sedang hal yang zhohiriah mereka jauhi. Entah ada saja alasan yang mereka lontarkan. Bahkan ada dari mereka merasa malu bila harus menampakan ciri fisik tersebut lantaran takut dibilang sok alim.
Allah SWT berfirman, “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Q.S. al-Hasyr (59): 7]
Symbol dan substansi keislaman seorang Muslim/Muslimah merupakan kedua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seperti contoh, apabila ada seorang anak balita dikenakan seragam putih abu-abu, lantas apakah kita percaya bahwa ia adalah murid SMU? Atau jika ada seorang kakek-kakek mengenakan baju seragam putih merah, lantas apakah kita percaya bahwa sang kakek itu adalah murid SD? Begitu pula halnya seorang Muslim. Antara hal yang zhohiriah dan bhatiniah tentulah harus seimbang.
Jika kedua hal ini dipisahkan, maka sosok ideal seorang Muslim/Muslimah tidak akan tercipta. Lebih buruk lagi adalah terbentuknya sosok yang munafik atau bahkan sekuler. Bayangkan, jika ada seorang yang sholatnya rajin dan amal kebaikannya banyak, namun ciri fisiknya tidak menggambarkan ia seorang Islam, banyak tatonya, pakai rantai, atau bahkan ditindik, apakah itu baik? Aa’ Gym menganalogikannya seperti terasi. Bagaimana bisa terasi dikatakan sebuah terasi jika ia tidak berbau terasi, tidak berwarna terasi, tidak berasa terasi, tidak bertekstur terasi, dan tidak memiliki sifat-sifat terasi. Karena bisa jadi itu bukan terasi. Pun begitu dengan seorang Muslim/Muslimah. Bagaimana bisa orang Islam dihargai sebagai seorang Muslim/Muslimah apabila tidak memiliki ciri-ciri atau identitas orang Islam?
Rosulullah pernah bersabda, “Barangsiapa menyerupai (meniru-niru) tingkah-laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka.” [HR. Abu Dawud]
Dalam riwayat lain, Rosulullah pun bersabda, “Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, “Siapa ‘mereka’ yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani.”” [HR. Bukhari]
Lalu apa jadinya jika kasusnya dibalik, ada seorang yang penampilannya sangat hanif. Ke mana-mana pakai gamis, kopiah, jenggotnya panjang, atau untuk perempuan jilbabnya panjang. Namun kesehariannya tidak mencerminkan seorang muslim/muslimah. Mulutnya masih suka beradu domba, melihat yang tidak sepantasnya dilihat, atau bahkan kesehariannya tak lepas dari maksiat. Naudzubillah…
Rosulullah bersabda, “Celaka orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya tapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya.” [HR. Ad-Dailami]
Maka dari itu, baik yang symbolic maupun yang substansial tidaklah boleh dipisah. Apalagi diambil secara parsial. Barang siapa telah mengaku sebagai seorang Muslim/Muslimah, maka sudah sepatutnya ia terjun sepenuhnya ke dalam Islam dengan komitmen yang kuat. Komitmen untuk mengislamkan aqidahnya, mengislamkan akhlaknya, mengislamkan ibadahnya, mengislamkan keluarga dan rumah tangganya, serta mengislamkan seluruh yang ada pada dirinya dan senantiasa berjuang melawan hawa nafsu. Sehingga karakter dan indentitas yang terpancar benar-benar mencerminkan seorang Muslim/Muslimah yang kaffah dan memiliki izzah (kemuliaan) yang indah.
Allah SWT menerangkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” [Q.S. al-Baqoroh (2): 208]
Allahu’alam…