Dari Mu’az bin Jabal ra dia berkata, “Aku berkata, “Ya Rasulullah, beritahukanlah tentang perbuatan yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka.” Beliau bersabda, “Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah ta’ala. Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya sedikitpun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji.”
Kemudian beliau Rasulullah saw bersabda, “Maukah engkau aku beritahukan tentang pintu-pintu surga? Puasa adalah benteng, sodaqoh akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail).”
Kemudian beliau membacakan ayat yang artinya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan pokok dari segala perkara, tiangnya dan puncaknya?”. Aku menjawab, “Mau ya Nabi Allah.” Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad. Kemudian beliau bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang jika kalian laksanakan kalian dapat memiliki semua itu?” Aku berkata, “Mau ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda, “Jagalah ini.”
Aku berkata, “Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita katakan?” Beliau bersabda, “Adakah yang menyebabkan seseorang terjungkal wajahnya di neraka –atau sabda beliau : diatas hidungnya – selain buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka.” (HR Imam Tirmidzi) – dimuat dalam kitab Hadits Arba’in no 29.
Betapa besar pentingnya pengendalian lisan bagi seorang mukmin yang digambarkan dalam hadits diatas. Dan tidak hanya itu, Al Quran sendiri pun berbicara tentang lisan dan berbagai jenis perkataan yang bisa tertutur darinya. Ada “Qaulan Sadida” (perkataan yang benar), “Qaulan Baligha” (perkataan yang lugas, jelas), “Qaulan Marufa” (perkataan yang menimbulkan kebaikan dan tidak menyakitkan), “Qaulan Karima” (perkataan yang penuh dengan pemuliaan), “Qaulan Maysura” (perkataan yang mudah), dan juga “Qaulan Layinan” (perkataan yang lemah lembut).
Berbicara tentang Qaulan Layinan, sangat menarik. Karena ternyata Qaulan Layinan adalah perintah cara berkomunikasi yang tertulis dalam surat Thaha ayat ke-44, dari Allah swt kepada nabi Musa as dan Harun as saat berkomunikasi dengan Fir’aun.
Ya, jika nabi Musa as dan Harun as yang begitu mulia saja diperintahkan untuk bertutur secara halus kepada Fir’aun yang durhaka, lalu bagaimana dengan kita? Tidakkah kita merasa tertuntut untuk bertutur secara lembut, baik secara lisan maupun tulisan, saat saling bernasehat dengan keluarga dan saudara muslim kita?
Betapa sering kita berlindung dibalik alasan ingin menyampaikan kebenaran, disaat sebenarnya kita tak mampu menahan kekasaran ucapan maupun tulisan yang tersampaikan dari diri kepada saudara kita? Betapa sering kita merasa bangga disaat telah mampu menunjuk kesalahan teman dan saudara kita, padahal di saat itu kita sedang gagal menjaga adab memberi nasihat dan merusak ikatan ukhuwah disebabkan kelalaian kita dalam menjaga hati saudara seiman?
Sungguh, tauladan yang diberikan Rasul saw dan sahabatnya sangat jauh dari hal yang demikian. Bahkan ungkapan “katakanlah yang benar, meski pahit “, telah berubah fungsi di zaman kita ini. Para sahabat di zaman Rasulullah saw, mengaplikasikan ungkapan ini dalam hidup mereka dengan penuh kejantanan. Mereka siap mengatakan kebenaran, meskipun nyawa mereka terancam, dan kepahitan duniawi mungkin harus mereka tanggung sebagai pengucapnya. Adapun banyak dari kita di zaman ini, memaknai ‘kepahitan’ dalam ungkapan ini sebagai hal yang harus ditanggung bukan oleh pengucapnya, tetapi oleh mereka yang mendengar ucapannya, yang meski benar, namun terdengar kasar dan menggores hati.
MasyaAllah. Ternyata jauh sebelum berbagai teori komunikasi modern tentang bagaimana menyentuh hati manusia dibukukan dan diajarkan, Allah telah memerintahkannya, dan Rasul saw serta para sahabatnya pun telah mencontohkannya bagi kita.
Ya, hati memang hanya bisa disentuh oleh hati.
Dan hati-hati mulia saudara seiman, sungguh tidak layak kita gores dan sakiti. Sungguh patut kita sadari bahwa dalam upaya menyentuh dan saling mendekatkan hati-hati kita, niat yang baik saja tidak akan pernah cukup tanpa upaya untuk senantiasa bertutur dengan baik.
Maka mari budayakan kesantunan dalam bertutur, baik secara lisan maupun tulisan.
Mari saling memotivasi dengan mengungkap kebaikan, dan bukan sebaliknya.
Mari saling berpesan dan menasehati dengan cara seindah dan sebaik mungkin.
Semoga Ramadhan ini Allah mudahkan kita untuk terus belajar menghadirkan hati yang senantiasa khusyu’, yang mampu menjaga kebaikan tutur lisan dan tulisan.
Semoga Allah karuniakan kita akhlak yang indah sebagai wujud keimanan yang mengokoh dalam hati.
Semoga Allah satukan hati-hati kita dalam keimanan, dan karuniakan kepada kita nikmat indah ukhuwah itu.
Allahu a’lam bishowwab.
Oleh: Ariessa Ulfa, IMUSKA, Korea Selatan