Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang Ahli Kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS An Nisa’: 171)
Dalam Shahih Bukhari ada satu riwayat dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu yang menjelaskan tentang firman Allah Subahanhu wa Ta’ala, “Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata, janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Tuhan-tuhan kamu, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr.” (QS Nuh, 23)
Beliau (Ibnu Abbas) mengatakan, “Ini adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meniggal dunia, Syaithan membisikan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung mereka yang telah meninggal di tempat-tempat dimana di situ pernah diadakan pertemuan-pertemuan mereka. Dan mereka disuruh memberikan nama-nama patung tersebut dengan nama-nama mereka. Kemudian orang-orang tersebut menerima bisikan Syaithan. Saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan, baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, saat itulah patung-patung tersebut mulai disembah.”
Ibnul Qoyyim berkata: Banyak para ulama salaf mengatakan, “Setelah mereka itu meninggal, banyak orang-orang yang berbondong-bondong mendatangi kuburan mereka, lalu mereka membuat patung-patung mereka. Kemudian setelah waktu berjalan beberapa lama lahirnya patung-patung tersebut dijadikan sesembahan.”
Diriwayatkan dari Umar Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (utusan Allah.)” (HR. Bukhari dan Muslim
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Ahmad, At Turmudzi, dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’Anhu)
Dan dalam Shahih Muslim, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ’Anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan! Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan! Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan!”
Orang yang memahami penjelasan, akan jelas baginya keterasingan Islam, dan ia akan melihat betapa kuasanya Allah itu untuk merubah hati manusia. Dan dari pemaparan nash-nash tersebut, kita mengetahui bahwa awal munculnya kemusyrikan di muka bumi ini adalah karena sikap berlebih-lebihan mereka terhadap orang-orang shalih.
Kita juga memahami bahwa apa yang pertama kali diperbuat oleh orang-orang Ahli Kitab sehingga ajaran para Nabi menjadi berubah, yakni memuji secara berlebihan Nabi Isa, padahal mereka mengetahui bahwa para Nabi itu adalah utusan Allah semata.
Faktor yang menyebabkan terjadinya hal diatas adalah tercampur aduknya kebenaran dengan kebatilan:
- rasa cinta kepada orang-orang shalih.
- tindakan yang dilakukan oleh orang orang ‘alim yang ahli dalam masalah agama, dengan maksud untuk suatu kebaikan, tetapi orang-orang yang hidup sesudah mereka menduga bahwa apa yang mereka maksudkan bukanlah hal itu.
Selain itu watak manusia bahwa kebenaran yang ada pada dirinya bisa berkurang, dan kebatilan malah bisa bertambah. Hal itu terbukti pada masa setelah Nabi Nuh dan Nabi Isa sebagaimana disebutkan di atas.
Penjelasan ini juga mengandung suatu bukti tentang kebenaran pernyataan ulama salaf bahwa bid’ah adalah penyebab/pendorong kekafiran. Syaithan mengetahui tentang dampak yang diakibatkan oleh bid’ah, walaupun maksud pelakunya baik.
Hal ini mengingatkan kita akan bahaya dari perbuatan sebagian masyarakat yang sering mendatangi kuburan dengan niat untuk suatu amal shalih yang dilakukan oleh orang-orang di masa sekarang. Benar bahwa di antara mereka datang ke kuburan dengan niat yang baik, akan tetapi sebagaimana watak zaman dan watak manusia, bahwa apa yang terjadi pada generasi sesudah Nabi Nuh ‘Alaihis Salam dan pengikut Nabi Isa Al Masih, sangat mungkin terjadi juga pada mereka. Hal ini sebagaimana dikhawatirkan Rasulullah, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam.”
Ayat ke 23 Surat Nuh tersebut mengandung hikmah atas larangan adanya patung-patung, dan hikmah dibalik perintah menghancurkannya, yaitu untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan, sebagaimana dijelaskan oleh Shahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al Bukhari.
Satu hal yang sangat mengherankan, bahwa banyak orang telah membaca dan memahami kisah patung orang-orang shalih pada masa Nabi Nuh ini, baik lewat kitab-kitab tafsir maupun hadits, tapi Allah menutup hati mereka. Sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh adalah amal ibadah yang paling utama, dan merekapun beranggapan bahwa apa yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya adalah kekafiran yang menghalalkan darah dan harta.
Dinyatakan bahwa mereka berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih itu tiada lain karena mengharapkan syafa’at mereka. Mereka menduga bahwa orang-orang berilmu yang membikin patung itu bermaksud demikian.
Pernyataan yang sangat penting yang termuat dalam sabda Nabi, “Janganlah kalian memujiku dengan berlebih-lebihan, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam.” Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau yang telah menyampaikan risalah dengan sebenar benarnya. Ketulusan hati beliau kepada kita dengan memberikan nasehat bahwa orang-orang yang berlebih-lebihan itu akan binasa.
Maksud pernyataan bahwa patung-patung itu tidak disembah kecuali setelah ilmu agama dilupakan, dengan demikian dapat diketahui betapa berharganya keberadaan ilmu agama ini dan bahayanya jika hilang. Dan penyebab hilangnya ilmu agama adalah meninggalnya para ulama.