Berpartisipasi Politik dalam Pemerintahan Non Islami

Berpartisipasi politik dalam pemerintahan non islami disebut dengan musyarakah siyasiyah.

Makna Musyarakah

Musyarakah Siyasiyyah berarti keterlibatan gerakan dakwah dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kemaslahatan umum di lembaga-lembaga politik formal maupun informal, di tingkat nasional atau daerah beserta seluruh aktifitas yang mengikutinya seperti pemilihan umum, koalisi, dan aktifitas politik lainnya. (Fatwa Mujamma’ Fuqaha Syariah di Amerika dalam Mu’tamar ke-4 di Kairo Mesir, 28 Juli-2 Agustus dengan sedikit perubahan redaksi)

Partisipasi dalam pemerintahan merupakan tuntutan syumuliyatud da’wah (universalitas da’wah) yang harus menyentuh semua aspek kehidupan. Partisipasi dalam pemerintahan (non islami) merupakan upaya mengimbangi, melawan, bahkan menghilangi mudharat dan potensi kezaliman yang ada pada pemerintahan tersebut. Dengan cara melawan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam, sekaligus upaya awal memperkenalkan syariat Islam dan memperbesar peluang pemberlakuannya. Selain memang itu adalah bagian dari tadribat (pelatihan) bagi aktifis Islam sebagai conditioning (persiapan) bagi mereka, jika –qaddarallah- mereka ditakdirkan menjadi pemimpin negaranya.

Musyarakah Hanyalah Tahapan Bukan Tujuan

Ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi disorientasi dalam musyarakah. Para aktifis terjebak pada euphoria musyarakah, ternyata mereka melupakan tujuan asasi dan target besar mereka, yakni li I’la kalimatillah. Seharusnya hanya tahapan justru jadi tujuan dan berlama-lama di sana, sementara tujuannya dilupakan.

Sunatullah dalam hidup ini adalah sabar dalam berjuang, dan sabar dalam melalui tahapan dakwah adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar sebab Allah Ta’ala telah menetapkan sunatullahNya atas seluruh makhluk yaitu sunah tadarruj (sunah pentahapan).

Segala sesuatu berangkat dari yang kecil lalu membesar, lemah menjadi kuat, sedikit menjadi banyak. Kita bisa melihat sunnah ini dalam tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Tumbuhan tidak langsung berbuah, burung tidak langsung bisa terbang, manusia tidak langsung baligh. Sebelum itu, mereka semua melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkanNya.

Dalam mengarungi kehidupan juga demikian, baik itu pendidikan karir pekerjaan, dan lainnya. Walau kita sangat berambisi untuk mendapat yang lebih, namun kita tidak bisa melampaui sunah ini, bertahap. Sama halnya dengan penerapan system dan hukum Islam di negeri ini, atau penghapusan syirik dan bid’ah, semua ada pasang surut dan tantangannya, yang akhirnya kita menyadari bahwa memang betapa pentingnya tahapan dalam dakwah dan tahapan dalam merubah sistem yang ada. Itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dilanjutkan oleh para sahabat.  Ada pun terburu-buru dan orang yang terburu-buru, cepat atau lambat, akan menyadari  bahwa mereka keliru.
Lihatlah Islam … Al Quran diturunkan di dunia secara bertahap sesuai peristiwanya. Syariat diterapkan Allah Ta’ala juga bertahap, pengharaman Khamr (minuman keras) melalui tiga tahapan, pertama, ayat jangan dekati shalat dalam keadaan mabuk, kedua, ayat tentang khamr itu ada manfaat tetapi mudharatnya lebih besar, ketiga, ayat bahwa khamr adalah perbuatan syetan dan jauhilah. Masih banyak lagi contohnya.

Tidak Selamanya Boleh

Musyarakah bukanlah pilihan ideal, dia benar dalam konsidi tertentu, namun belum tentu benar dalam kondisi lain. Oleh karena itu aktifis Islam harus memperhatikan syarat-syarat ini, jika tidak terpenuhi, maka musyarakah adalah perbuatan terlarang.

  1. Tujuan memang karena ingin menghambat kerusakan dan seluruh pintunya, serta meraih maslahat umum dan menyempurnakannya.
  2. Tidak ada niat memperkaya diri dan mencari ketenaran dan segala godaan dunia lainnya.
  3. Partisipasi ini harus dilakukan secara nyata, bukan diperalat oleh kekuasaan yang ada sehingga mengebiri potensi dan kekuatan para aktifis itu sendiri.
  4. Partisipasi ini tidak boleh justru memperlama keberadaan system dan penguasa non islami tersebut, apalagi memperkuatnya, para aktifis harus bisa mendakwahinya, merubahnya dan mengajak mereka ke jalan Allah Ta’ala, bukan justru mendukung dan bersekutu dengan ideologi sesat mereka.

Nah untuk mengawal dan mengawasi syarat-syarat ini dengan baik, maka harus dilakukan evaluasi, kalau perlu dibuat secara periodik, agar mereka bisa mengetahui, apakah partisipasi mereka selama ini membawa maslahat atau tidak?

Apakah mereka menjadi alat saja, atau sebaliknya  menjadi aktor utama yang bisa menentukan arah angin kebijakan negara?

Apakah agenda-agenda syariah sudah dilakukan sesuai target dan harapan? Atau justru semakin tidak jelas, apakah warna Islam sudah pada system negera ini, walau sedikit saja?

Ini harus senantiasa dievaluasi dan koreksi, agar bisa mengetahui pula keputusan selanjutnya apa? Apakah musyakah bisa dilanjutkan atau menjadi out sider?

Sesungguhnya berpartisipasi atau tidak adalah pilihan yang sama-sama punya resiko, dan tantangan masing-masing. Ada pun legitimasi syariah bagi kedua pilihan itu juga ada dalam Al Quran, As Sunnah, dan realita sejarah umat ini. Maka, untuk negara ini pilihan manakah yang bisa kita ambil?

Pendapat Para Ulama

  1. Syaikh Abdurrahman As Sa’di: “Oleh karena itu, upaya kaum muslimun yang hidup dibawah naungan wilayah kuffar, dan mereka bekerja untuk merubah keadaan menjadi negeri yang demokratis bagi individu dan masyarakat agar mereka bisa menikmati hak-hak agama dan dunia mereka, itu semua lebih utama dibanding menyerahkan semua urusan mereka kepada orang kafir, baik urusan agama, dunia, urusan pengaturan ibadah dan semua kebutuhan mereka. Benar, jika mungkin kaum musliminlah sebagai pengendali Negara dan pemerintahnya, tetapi jika tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan harus kita lakukan dalam rangka melindungi agama dan dunia.” (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, Juz. 1, Hal. 388. Al Maktabah Asy Syamilah)
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241. Al Maktabah Asy Syamilah)
  3. Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam juga berkata: “Seandainya orang-orang kafir memimpin suatu daerah yang luas, lalu mereka (orang-orang) kafir menyerahkan kekuasaan kepada orang yang bisa menunaikan maslahat secara umum bagi kaum muslimin, maka hal itu bisa dilaksanakan karena nampak jelas bisa mendatangkan maslahat umum dan menolak kerusakan secara sempurna, walaupun jauh dari rahmat syariat dan pemeliharaannya terhadap maslahat hambaNya…(Qawa’id al Ahkam fii Mashalih al Anam, Juz. 1, Hal. 128. Al Maktabah Asy Syamilah)
  4. Syaikh Nashir Sulaiman al Umar: Ketahuilah, bahwa hukum asal dari musyarakah adalah jawwaz (boleh), Hal yang mendasarinya adalah disyariatkannya berjihad bersama imam  baik dan yang fajir (jahat), selama berperang untuk hal-hal yang syar’i. Ketahuilah, berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang jelas ada, Namun kerusakan ini menjadi kecil nilainya dihadapan besarnya kemaslahatan jihad, dan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan membawa kerusakan yang lebih besar dibanding kerusakan jika ikut berjihad bersamanya.”
  5. Syaikh Ahmad ar Raisuni –ulama Maroko-: “Sebenarnya adanya tantangan dan kesulitan adalah realita saat ini dan masa lalu. Itu semua bukan alasan bagi kita, itu ada alasan bagi orang-orang yang lemah dan semisal mereka yang telah melakukan penyimpangan. Penyimpangan personal yang mereka lakukan merupakan bukti kelemahan pribadi yang bersangkutan, dan itu bukan berarti tidak ada lagi dari umat ini yang berhasil dalam musyarakah. Orang yang baik tidak hanya berfikir dua kemungkinan dalam musyarakah: gagal lalu keluar atau larut dalam penyimpangan. Di dalam umat dan jamaah ini pasti ada tambang berharga yang mampu berhasil dalam musyarakah. Kita saling tolong menolong dalam barisan  yang solid dan kokoh dalam rangka terus mewujudkan keberhasilan musyarakah ini.”

Musyarakah Nabi Yusuf terhadap Pemerintahan Fir’aun

Ibnu Taimiyah berkata, “Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:

“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..”  (QS. Al Mu’min (40): 34) Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah  selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf (12): 39-40)

Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …”

Kesimpulan

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa berpartisipasi politik dalam pemerintahan non Islami adalah diperbolehkan, dengan syarat partisipasi tersebut dalam rangka meraih maslahat atau mengurangi mafsadat, sesuai kaidah-kaidah umum Islam. Bukan untuk tujuan lain.

Dalam pembahasan selanjutnya, akan dibahas mengenai Tahaluf Siyasi, Koalisi Politis dengan Kelompok Non-Islami.