Bisakah Non Muslim Selamat dari Neraka dan Masuk ke Surga?

Ada banyak Non Muslim di dunia ini yang mati dalam keadaan tidak mengetahui tentang Islam. Mereka dianggap mati kafir. Mungkin juga mereka tahu tapi tidak faham tentang Islam. Apakah mereka tetap masuk neraka?

Ini satu persoalan yang penting. Banyak Muslim menganggap siapa saja yang Non Muslim dalam dunia ini pasti akan masuk neraka. Ada beberapa perlara yang perlu kita ketahui dalam hal ini.

Hujjatul Islam Al Imam Al Ghazali (w. 505H) dalam Faisal Al Tafriqah bain Al Islam wa Al Zandaqah menyebutkan tentang mereka yang diselamatkan dengan rahmat Allah dari hukuman adzab neraka, di antaranya beliau menyebut, “Aku katakan bahawa kebanyakan Kristen Romawi dan Turki pada zaman ini (zaman Imam Al Ghazali-red) termasuk dalam rahmat ini –dengan izin Allah- yaitu mereka yang berada di penghujung Romawi dan Turki yang tidak sampai dakwah. Mereka itu tiga golongan;

  1. mereka yang tidak sampai kepada mereka nama Muhammad sama sekali. Mereka itu dimaafkan.
  2. mereka yang sampai kepada mereka nama Muhammad, sifat-sifatnya dan segala mukjizat (bukti) yang telah nyata. Mereka ini berjiran dengan Negara Islam dan bergaul dengan kaum Muslimin. Mereka ini kuffar yang nyata.
  3. mereka ini antara dua keadaan. Sampai kepada mereka nama Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi tidak sampai ciri dan sifatnya. Mereka sejak awal mendengar bahawa seorang pendusta yang menyesatkan bernama Muhammad telah mendakwa menjadi nabi…

mereka ini pada pendapatku sama seperti golongan yang pertama. Mereka ini sekalipun mendengar nama Muhammad tetapi mereka juga mendengar apa yang bertentangan dengan sifat-sifatnya. Ini tidak menggerakkan mereka untuk mencari kebenaran..”

Pernyataan Al Imam Ghazali ini sekalipun beliau berbicara pada zaman beliau tetapi juga memberi gambaran bahawa siapa saja saja yang tidak sampai hujah yang nyata tentang Islam sekalipun mengetahui nama Islam, tidak termasuk dalam golongan kafir yang layak dihukum neraka. Apa lagi di zaman kita ini, di mana wajah Islam yang sebenarnya sering dikelirukan dan orang Muslim juga sering bertindak mengelirukan orang lain tentang Islam yang sebenarnya. Tuhan Maha Rahmat kepada seluruh hamba-hambaNya.

Banyak halangan yang telah dan sedang menutupi cahaya yang hakiki Islam untuk sampai. Ini termasuk kemunduran negara umat Islam yang senantiasa porak-poranda, kelam-kabut, merusuh dan bergolak. Sikap buruk sebagian orang Muslim yang mendominasi keadaan lalu gagal menjadi contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat dunia. Ditambah media massa Barat yang memberikan wajah buruk tentang Islam; didukung pula oleh tindakan umat Islam sendiri. Lihat Iran yang menzhalimi rakyatnya, Pakistan yang porak peranda dan menindas wanita dan Dunia Arab yang sentiasa korupsi dan menumpah darah antara satu sama lain. Kelompok-kelompok yang kononnya jihad yang mengebom di sana-sini. Mereka semua itu telah menggunakan lencana ‘Islam’, nama ‘Islam’, lambang ‘Islam’ sehingga Islam yang hakiki menjadi begitu suram dan kabur. Semua itu adalah gunung dan bukit yang menghalangi cahaya keindahan Islam yang hakiki dari menembusi jiwa kebanyakan manusia hari ini. Maka, bukanlah satu keadilan jika Allah menghukum mereka di akhirat dalam keadaan demikian. Allah berfirman:

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

“Tidaklah tuhanmu itu zhalim terhadap hambaNya.” (Fussilat: 46).

Namun tidak dinafikan ada yang telah sampai penerangan yang jelas melalui jalan yang Allah kehendaki. Cuma, bukan semua berpeluang. Mungkin kita kata, “Mereka bisa mencari Islam yang sebenarnya dalam internet. Malangnya, informasi dalam internet juga bercampur baur antara yang benar dan yang palsu, antara yang indah dan buruk. Entah berapa banyak kelompok dan aliran dalam masyarakat Muslim. Jika orang yang lahir dalam masyarakat Islam pun keliru, apa lagi yang baru hendak mencari. Kemudian, bukan semua orang mempunyai kemampuan analisa. Tidak pula semua mempunyai cukup masa. Ada banyak yang tua dan tidak cukup berpendidikan. Juga bukan semua yang sadar bahwa mereka tidak berada atas hidayah. Jika pada zaman dahulu, Salman Al Farisi mengembara dari Persia untuk mencari Nabi dengan penuh dugaan dan derita, tapi berapa orangkah penduduk Persia yang sanggup sepertinya? Persia hanya menerima Islam selepas wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sampainya tentera Umar bin Al Khattab ke sana. Jika Allah mewajibkan semua orang lakukan seperti Salman, pasti suatu bebanan yang tidak tertanggung oleh manusia.

Para ulama bersepakat dengan prinsip yang ditegaskan oleh Al Quran bahwa Allah yaitu Allah tidak akan mengadzabkan seseorang melainkan setelah diutus rasul. Siapa saja yang tidak sampai kepadanya ajaran yang benar dari seorang rasul, tidak ditegakkan hujah yang teguh sehingga tiada alasan untuk ragu dan syak, maka dia tidak akan diadzabkan oleh Allah. Ini seperti yang Allah tegaskan:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Tiadalah Kami mengazabkan siapa sajapun sehingga Kami mengutuskan seorang rasul” (Surah Al Israk: 15).

Inilah yang menyelamatkan Non Muslim yang tidak sampai hujah hidayah kepada mereka. Bahkan inilah juga yang menyelamatkan Muslim yang jahil yang tidak disampaikan hujah dalam amalan atau kepercayaan tentang Islam mengenai sesuatu perkara. As Sa’di dalam tafsirnya menyebut, “Allah itu Maha Adil, Dia tidak akan mengadzab seseorang melainkan ditegakkan hujah dengan pengutusan rasul tapi dia menolaknya. Adapun siapa saja yang tidak sampai kepadanya hujah Allah, maka sesungguhnya dia tidak diazab.”

Ini dikuatkan lagi dengan firman Allah:

رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“Rasul-rasul pembawa kabar gembira dan amaran supaya tiada bagi manusia suatu hujah (alasan untuk berdalih pada hari kiamat) terhadap Allah sesudah mengutuskan rasul-rasul itu. Dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana” (al-Nisa: 165).

Juga dalam hadis sahih riwayat Al Bukhari yang menceritakan Allah mengampuni kekufuran disebabkan kejahilan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” كَانَ رَجُلٌ يُسْرِفُ عَلَى نَفْسِهِ فَلَمَّا حَضَرَهُ المَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ: إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَحْرِقُونِي، ثُمَّ اطْحَنُونِي، ثُمَّ ذَرُّونِي فِي الرِّيحِ، فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ عَلَيَّ رَبِّي لَيُعَذِّبَنِّي عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا، فَلَمَّا مَاتَ فُعِلَ بِهِ ذَلِكَ، فَأَمَرَ اللَّهُ الأَرْضَ فَقَالَ: اجْمَعِي مَا فِيكِ مِنْهُ، فَفَعَلَتْ، فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟ قَالَ: يَا رَبِّ خَشْيَتُكَ، فَغَفَرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dahulu ada seorang lelaki yang kecewa terhadap dirinya. Ketika dia hampir mati, dia berkata kepada anak-anaknya, “Jika aku mati kamu semua bakarlah aku, hancur leburkan aku kemudian jadikan aku ditiup angin. Demi Allah! Jika tuhanku dapat menangkapku nescaya Dia akan mengadzabku dengan azab yang Dia tidak pernah adzab siapa saja pun.” Saat dia mati, hasratnya dilakukan kepadanya. Maka Allah memerintahkan bumi, “Himpunkan dia.” Maka bumi lakukannya lalu dia pun berdiri (dibangkitkan). Allah berkata, “Apakah yang menyebabkan engkau lakukan tindakanmu itu?.” Dia menjawab, “Wahai Tuhanku, karena takutkan Engkau.” Maka Allah pun mengampuninya.

Al-Hafiz Ibn Hajar Al ‘Asqalani (meninggal 852H) ketika mensyarahkan hadis ini dalam Fath Al Bari memetik ulasan Al Khattabi yang menyebut, “Mungkin hadis ini menimbulkan kemusykilan bagaimana dia diampunkan sedangkan dia mengingkari Hari Kebangkitan dan kudrat Allah menghidupkan orang yang mati. Jawabannya, dia sebenarnya tidak ingkar tetapi jahil lalu menyangka bahwa jika dilakukan ke atasnya seperti itu dia tidak dibangkitkan dan diazab. Sesungguhnya telah zhahir imannya dengan dia mengiktiraf bahwa dia lakukan hal itu karena takut Allah.”

Syaikh Al Islam Ibn Taimiyyah (meninggal 728H) pula dalam karyanya Al Istiqamah mengulas hadis ini dengan menyebut, “Lelaki ini percaya bahawa Allah tidak mampu menghimpunkannya jika dia berbuat demikian ataupun dia syak bahwa Allah tidak membangkitkannya. Kedua-dua iktikad ini kufur yang dihukum kafir siapa saja yang telah tertegak hujah untuknya (sampai kepadanya penerangan yang mencukupi). Namun lelaki ini jahil mengenai hal itu dan tidak sampai kepadanya ilmu yang mengeluarkannya dari kejahilannya. Pun begitu dia ada iman kepada Allah, suruhan dan laranganNYA, janji nikmat dan azabNYA maka dia takutkan balasannya maka dia pun diampunkan disebabkan ketakutannya itu.”

Ibnu Taimiyyah menambah lebih dalam lagi, “Maka siapa saja dalam kalangan ahli iman kepada Allah, rasulNya, Hari Akhirat serta beramal shaleh yang tersilap dalam sebagian masalah akidah sudah pasti tidak lebih buruk dari lelaki tadi. Allah akan mengampuni kesilafannya (ahli iman tersebut), Dia akan mengazabkannya jika ada kecerobohan dalam menuruti kebenaran dengan kadar pegangan agamanya. Adapun mengkafirkan individu yang diketahui imannya hanya semata karena kesilafan tersebut maka itu satu kesalahan yang besar.” (Ibn Taimiyyah, Al Istiqamah, 1l168, Madinah Munawwarah: Univ Al Imam Sa’ud)

Al Imam Ibn Qayyim Al Jauziyyah (meninggal 751H) dalam karyanya Tariq Al Hijratain menyebut, “Sesungguhnya azdab itu layak diterima karena dua sebab;

  • Pertama, tidak mau mendengar hujah serta enggan menerima dan beramal dengan tuntutannya.
  • Kedua, berkeras setelah ditegakkan hujah dan meninggalkan tanggungjawab berkaitan.

Maka jenis yang pertama; kufur berpaling (enggan mendengar) dan yang kedua; kufur keras kepala. Adapun kufur karena jahil tanpa ditegakkan hujah dan tanpa kemampuan untuk mengenali hujah, jenis inilah yang Allah tidak akan adzab sehingga tertegaknya hujah rasul.”

Ibnul Qayyim menyebut lagi, “Sesungguhnya penegakan hujah itu berbeda dengan berbedanya zaman, tempat dan individu. Mungkin dikira tertegaknya hujah ke atas orang-orang kafir pada suatu zaman, tidak pula pada zaman yang lain. Juga dikira tertegak pada satu tempat atau kawasan, tidak pada tempat atau kawasan yang lain. Demikian untuk seseorang, namun tidak pada individu lain.” (halaman 438. Kairo: Maktabah Al Mutanabi)

Prof. Madya Dr. Muhammad Asri Zainul Abidin