Bolehkah Memberikan Nama Berhala (Na’ilah) pada Anak?

Ditanyakan kepada tim fatwa IslamQA asuhan Syaikh Muhammad Shaalih Al-Munajjid hafizhahullah, apakah hukum memberi nama dengan nama Laynah atau Naa’ilah karena penanya pernah membaca bahwa nama tersebut adalah nama berhala, apakah ini shahih?

Maka dijawab:

Pertama:

Tidak ada dosa atas seseorang dalam hal memberi nama putrinya dengan nama “Naa’ilah”, dan nama ini adalah nama masyhuur dan ma’ruuf di sisi para salaf. Sejumlah shahabiyah pun mempunyai nama ini, diantaranya:

  1. Naa’ilah binti Faraafishah, istri Khaliifah Ar-Rasyiid : ‘Utsmaan bin ‘Affaan radhiyallaahu ‘anhu
  2. Naa’ilah binti Ar-Rabii’ bin Qais bin ‘Aamir, dialah wanita pertama yang membai’at Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam [Al-Ishaabah 1/298]
  3. Naa’ilah binti Sa’d bin Maalik Al-Anshaariyyah, berasal dari bani Saa’idah. Ibnu Habiib menyebutkannya pada orang-orang yang membai’at Rasul [Al-Ishaabah 8/331]
  4. Naa’ilah binti Salaamah. Ibnu Sa’d menyebutkannya dan ia berkata : “masuk Islam dan berbai’at”, selesai kutipan dari [Al-Ishaabah 8/331]
  5. Naa’ilah binti ‘Ubaid bin Al-Hurr, berasal dari bani Maazan bin An-Najjaar Al-Anshaariyyah. Ibnu Habiib menyebutkannya pada orang-orang yang membai’at Rasul [Al-Ishaabah 8/331]

Jika saja nama Naa’ilah ini mengandung kemungkaran, sudah pasti Rasul Shallallaahu ‘alaihi wasallam akan mengubahnya, atau memerintahkan untuk mengubahnya.

Kedua:

Para sahabat yang berkuniyah dengan nama ini, dia adalah sahabat yang mulia : Abu Naa’ilah, Salkaan bin Salaamah Al-Asyhaliy, syaahid perang Badr, lihat Ats-Tsiqaat karya Ibnu Hibbaan 3/178 dan Ma’rifah Ash-Shahaabah karya Abu Nu’aim 3/1441

Dan mereka yang menggunakan nama ini dari kalangan para muhaddits adalah : Ibraahiim bin Muhammad bin Al-Haarits Al-Ashbahaaniy, beliau kerap disebut “Ibnu Naa’ilah”, sementara Naa’ilah adalah nama ibunya. Wafat tahun 291 H. Lihat Thabaqaat Al-Muhadditsiin bi Ashbahaan 3/356.

Adapun pada apa yang dikatakan bahwa nama Naa’ilah adalah nama berhala, maka hal tersebut tidak menghalangi penamaan seseorang dengannya, karena beberapa sebab:

  1. Bahwa hukum asal pada bab pemberian nama-nama adalah mubah, maka tidak terlarang seseorang memberi nama kecuali nama-nama yang disebutkan syari’at yang mana syari’at sendiri telah melarangnya, dan tidak terdapat nash syar’iy dalam hal larangan memberi nama dengan nama “Naa’ilah”.
  2. Bahwa nama ini tidak mengandung makna mungkar, bahkan maknanya dalam lughah berpulang kepada “Al-‘Athaa'” (pemberian). Al-Fairuz Abadiy berkata : “An-Nawaal, An-Naal, dan An-Naa’il adalah Al-‘Athaa’.” Selesai kutipan dari Al-Qaamuus Al-Muhiith hal. 1066.
  3. Bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengubah nama para shahabiyat yang dinamakan dengan nama ini.
  4. Tak seorangpun sahabat yang mengingkari pemberian nama ini dan telah masyhur diantara mereka, bahkan nama ini adalah nama istri Khaliifah Ar-Raasyid ‘Utsmaan bin ‘Affaan radhiyallaahu ‘anhu
  5. Tidak diketahui seorangpun ulama pada masa lampau mengingkari pemberian nama ini.
  6. Ada beda diantara nama yang telah diketahui sebagai berhala,seperti “hubal, manaat, al-laata dan al-‘uzzaa, dengan nama-nama yang memang ia adalah nama manusia, kemudian dimutlakkan-lah kepada salah satu dari berhala-berhala dengan sebab-sebab tertentu.

Telah disebutkan oleh ahli tarikh bahwa nama “Naa’ilah” asalnya adalah nama perempuan dari kabilah Jurhum.

Ibnu Katsiir berkata, “Kemudian kabilah Jurhum menduduki Makkah dan kebanyakan orang-orangnya suka berbuat kerusakan. Mereka berbuat hal-hal yang tidak senonoh di Masjidil Haraam hingga disebutkan bahwasanya ada seorang laki-laki bernama Isaaf bin Baghiy dan wanita yang bernama Naa’ilah binti Waa’il, keduanya berkumpul didalam Ka’bah dan terjadi perbuatan keji (zina, -pent) yang dilakukan keduanya. Maka Allah mengubah keduanya menjadi batu kemudian orang-orang mendirikan kedua batu tersebut di dekat Ka’bah untuk mengenang mereka berdua. Ketika berlalulah beberapa masa yang lama setelah kejadian itu, keduanya dijadikan sesembahan selain Allah pada zaman Khuzaa’ah.” Selesai kutipan dari Al-Bidaayah 3/181.