Bolehkah Mengkritisi Kebijakan Pimpinan?

Siapa yang menduga, berita miring itu datang dari para sahabat yang begitu mencintainya. Tak ada pula yang mengira kecemburuan itu bergemuruh di hati para orang yang begitu mulia, yang dahulu tanpa ragu mengucapkan bai’at dipersaksikan rimbunnya pohon kurma. Bahkan sang pemimpin kaum turut membenarkan apa yang tengah tersebar luas di hati kaumnya. Ah, memang benar mereka adalah generasi paling mulia, tetapi bukankah mereka juga mempunyai akal dan hati yang mampu menimbang dan membedakan mana yang benar dan mana yang kurang tepat secara manusiawi? Memang mereka adalah generasi terbaik, tetapi bukan berarti mereka tak boleh mengkritisi apa yang tengah dilakukan oleh orang lain, termasuk Rasulullah sekalipun.

Peristiwa perang Hunain, meninggalkan hikmah dan pelajaran yang berharga bagi kaum muslim yang datang belakangan, bagi kita, bagi umat ini. Gambaran di atas menunjukkan kecemburuan para sahabat Rasulullah dari golongan yang tidak puas terhadap pembagian rampasan perang yang dilakukan oleh rasulullah. Kala itu rasulullah membagikan harta rampasan perang Hunain dalam porsi yang sangat besar diperuntukkan para orang-orang Quraisy yang baru saja bergabung dalam islam. Mereka yang dulu getol menentang beliau dan kini ikut berperang membela beliau. Pembagian inilah yang dirasa tidak adil oleh sahabat anshar, hingga beberapa ungkapan kekecewaan keluar dari mulut mereka. Bagaimana tidak, sahabat ansharlah yang dulu membenarkan Rasulullah sedang ia didustakan oleh kaummnya di makkah. Sahabat ansharlah yang menolong Rasulullah ketika beliau dihinakan oleh masyarakat makkah dan sahabat ansharlah yang mengamankan beliau ketika beliau merasa takut.

Namun, apa yang terjadi setelah itu? Bukalah kembali buku dan literatur sejarah dan kita akan mendapati sebuah penyelesaian kasus yang begitu indah. Rasulullah mengumpulkan sahabat anshar dan mengajak mereka berdialog dan mengungkapkan fakta di balik kebijaksanaan beliau dalam pembagian harta rampasan perang itu.

“Demi Dzat yang Muhammad di tangan-Nya, jika bukan karena hijrah, tentu aku menjadi golongan Anshar! Jika sekiranya orang-orang menempuh lembah dan tepi gunung, sedang orang Anshar menempuh lembah atau tepi gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan yag dilalui orang-orang Anshar!” inilah closing statement dari Rasulullah yang akhirnya menyadarkan kecemburuan hati para sahabat anshar. Mereka ridho dengan pembagian harta yang dilakukan Rasulullah. Tangisan merekapun pecah, memecah keheningan dalam dialog dan dengar pendapat yang baru saja berlangsung.

Silakan anda buka kembali mengenai kisah perang Hunain ini dan lihatlah, marahkah Rasulullah akan sikap sahabat anshar yang mengkritisi kebijakan beliau? Tidak, beliau tak menunjukkan raut kemarahan sedikitpun, bahkan beliau dengan tenang mengungkapkan fakta dibalik kebijakannya kepada semua penduduk anshar, agar tak lagi ada gunjingan ataupun perpecahan di kubu muslimin kala itu. Sungguh, sebaik-baik akhlak adalah akhlak Rasulullah, maka sepantasnya untuk para pemimpin yang lain yang kini tengah berdiri di tengah-tengah kita melakukan hal yang sama ketika ada gelagat “pemberontakan” dari para jundinya yang tidak mengerti akan kebijakan yang diambil jama’ah. Memang konsep “sami’naa wa atho’naa” pantas dikedepankan dalam jama’ah tetapi untuk hal-hal yang telah membuat risau para jundi (grass hold) maka semestinya klarifikasi yang gamblang wajib disampaikan untuk menghindari perpecahan dalam jama’ah.

Lalu kita lihat pula bagaimana respon dari sahabat anshar atas jawaban yang diberikan oleh Rasulullah. Benar, mereka ridho akan apa yang dilakukan oleh rasulullah bahkan menyesal atas apa yang telah mereka pergunjingkan.

Semestinya, demikian pula sikap jundi yang menerima klarifikasi dari pimpinannya. Setelah klarifikasi diberikan, tak ada opsi lain selain untuk mematuhi dan menerima kebijakan yang telah diambil pimpinan mewakili jama’ah. Tidak dibenarkan lantas ia “menyalahi” kebijakan tersebut dan memisahkan diri dari jama’ah apalagi sampai meniupkan angin-angin kedengkian di kalangan ummat yang lain karena apa yang telah diputuskan dalam jama’ah adalah hasil dari musyawarah yang melibatkan segenap perwakilan jama’ah. Lantas, bagaimana mungkin kebijakan yang diambil dari hasil musyawarah ini adalah sebuah kezhaliman yang menyalahi syariat jika yang duduk dalam majelis adalah orang-orang yang paham akan ilmu syariat dan punya tabiat dan akhlak yang mulia?

“Sungguh, ummatku tak akan bersepakat dalam kesesatan”, bukankah riwayat ini cukup bagi kita untuk mempercayai keputusan musyawarah dalam jama’ah?

Wallahu a’lamu bishshowab.

Oleh: Catur Setyo Nugroho, Pati.
Blog