“Bubarkan FPI !”
Dalam sepekan terakhir, kita disajikan sebuah pertunjukan basi bertajuk Indonesia Damai Tanpa FPI. Aksi yang hanya diikuti oleh puluhan orang ini diklaim sebagai aspirasi rakyat Indonesia. Jika boleh bertanya, “Rakyat Indonesia bagian manakah yang dimaksud?”
Aksi yang berpusat di Bundaran Hotel Indonesia ini merupakan aksi lanjutan setelah sebelumnya dilaksanakan di Palangkaraya – Kalimantan Tengah. Sebagian masyarakat di kota itu mendesak pemerintah daerah setempat untuk membubarkan FPI (Front Pembela Islam). Dalihnya klise, karena FPI kerap kali melakukan aksi anarkis.
Di palangkaraya, aksi penolakan terhadap FPI dilakukan oleh sekelompok masyarakat Dayak yang telah terprovokasi. Sehingga mereka yang berjumlah 800an orang itu mengepung sejumlah pengurus Pusat FPI di bandara Tjilik Riwut yang akan menghadiri Acara Maulid dan Peresmian Pengurus FPI Palangkaraya. Provokasi ini, menurut Habieb Riziq, disutradarai oleh Gubernur Kalteng dan Kapolda Kalteng.
Makar itu, sebagimana disebutkan oleh panglima FPI Ustadz Maman merupakan konspirasi beberapa oknum Pemda. “Orang-orang yang saya tadi sebut, pelaku kriminal serius berupa sabotase objek vital bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya Kalteng, penghadangan pesawat terbang didalam landasan bandara, pengepungan persawat terbang, perusakan sejumlah rumah dan toko milik panitia Maulid di kota Palangkaraya,”ujar Panglima LPI, Ustad Maman Suryadi, seusai dialog dengan pihak kantor PP Kalteng, di Jalan Kemangbang 1 Kwitang Jakarta Pusat Jumat (17/2).
Dari kerusuhan yang diskenariokan ini, maka lahirlah demo untuk pembubaran FPI. Ya, namanya saya masyarakat yang tidak punya pendirian, maka di Jakarta dilakukan hal serupa. Kata salah satu bos aksi mengatakan, “ Di Kalteng saja bisa, maka di Jakarta kita lebih bisa.”
Anehnya, peserta aksi yang di bundaran HI adalah mereka mereka yang kurang beres Islamnya. Mereka adalah para aktor intelektual Jaringan Islam Liberal, kalangan homo, lesbi, dan pelaku-pelaku kejahatan kemanusiaan lainnya. Mereka kompak dan senada, “ Bubarkan FPI!”
Padahal, jika kita bisa membaca pikiran mereka, maka yang mereka teriakkan, tidak lain dan tidak bukan adalah kalimat-kalimat ini,
Bubarkan FPI! Agar kami bebas berzina di mana saja.
Bubarkan FPI! Agar kami bisa bermesra ria bersama pasangan sejenis kami.
Bubarkan FPI! Agar bisnis perjudian yang kami gagas untung besar!
Bubarkan FPI! Agar diskotik kami ramai pengunjung.
Bubarkan FPI! Agar tak ada lagi perusuh yang merusak lapak-lapak maksiat kami.
Bubarkan FPI! Agar kami bisa menyebarkan virus akidah terhadap umat Islam sesuka kami.
Bubarkan FPI! Agar Indonesia damai. Damai dari kebenaran. Damai dari cahaya keislaman yang kalian gemborkan.
Dan kalimat lain yang nadanya serupa.
Lantas, apakah kita dengan serta merta membenarkan aksi ‘kurang lembut’ yang dilakukan oleh FPI? Dimana imej yang tergambar dalam masyarakat bahwa FPI memang identik dengan aksi anarkis?
Tentunya, kita perlu bersikap lebih bijak.
Begini, aksi yang dilakukan oleh FPI hanyalah asap. Sekali lagi, ASAP! Ingat baik-baik. Asap, awalnya dalah API. FPI melakukan pengrusakan terhadap komplek pelacuran atau diskotik. Jika tidak ada pelacuran, maka FPI tidak mungkin melakukan perusakan. Emang mau merusak apa kalau pelacuran gak ada ?
Berarti yang salah pelacurannya donk? Tentunya, itu bukan konklusi. Karena setelah ditilik lebih lanjut, para pelacur pun tak menghendaki dirinya melacurkan diri. Mereka hanya kepepet karena memang belum menemukan alternatif lain untuk sekedar mencari sesuap nasi. Mereka pikir, melacur adalah cara paling mudah untuk mendapat uang.
Jika dilanjutkan, maka begini: Andai saja lapangan kerja terbentang luas. Pemerintah memberikan pekerjaan kepada seluruh rakyatnya dengan gaji yang cukup. Maka, mungkinkah masih ada pelacuran yang seperti cendawan di musim hujan ini? Tentunya, akan bisa diminalisir. Kalaupun ada, maka ini hanya ulah setan dan demit-demitnya yang memang menjadikan wilayah ini sebagai bisnis.
Begitupun, ketika pemerintah secara tegas melarang berdirinya tempat haram itu dan memberikan pekerjaan yang layak untuk aktornya, maka pelacuran tak mungkin ada, atau bisa diminalisir. Dan, seterusnya.
Lantas, apakah yang salah asapnya ( FPI), atau apinya (kemaksiatan seprti pelacuran, dan seterusnya)? Jelas sekali, bukan! Asap hanyalah dampak. Sedangkan api adalah pemicu timbulnya asap. Tapi perlu diingat, bahwa api tak mungkin bisa menyala dengan sendirinya. Api, sekecil apapun, pasti ada pemicunya, ada pemantiknya. Dan mereka yang telah menyulut api itu adalah Setan dan bala tentaranya. Ironisnya, bala tentara setan ini tak hanya berbentuk jin, melainkan juga manusia.
Akhirnya, saya sepakat dengan perkataan Habib Riziq, “FPI hanya wadah. Jika wadahnya dibubarkan, kita bisa cari wadah baru. Bahkan kita bisa membentuknya lagi.”
Maka, solusinya adalah basmi pemantik api, semuanya. Tanpa ampun! Hanya orang bodoh yang sibuk dengan asap tanpa memperhatikan pemantik api. Maka, ketika mereka sibuk dengan wacana pembubaran FPI, kita dapati bahwa mereka adalah orang bodoh yang berusaha menghilangkan asap tanpa mau mencari sumber api dan pemantiknya.
Dan cukuplah Allah yang mengingatkan kita melalui teladan Nabi pilihan. Bahwa dakwah adalah teladan. Dakwah adalah ajakan lembut. Dakwah adalah bagaimana menyentuh kesadaran terdalam dari seorang hamba untuk mengingat dan meninggikan siapa penciptanya. Maka, dakwah bukan premanisme. Dakwah bukan asal gebuk, hajar, tonjok, perang dan tindakan arogansi lainnya. Jika dakwah seperti itu, maka ketika nabi dihina oleh warga yatsrib dengan dilempari batu, lalu datanglah malaikat yang menawarkan pembinasaan terhadap kaum itu, nabi pasti akan berkata, “Wah, tawaran bagus nich malaikat. Hajar aja. Sakit hatiku. Kasihan para sahabatku disiksa terus oleh mereka. Akupun jadi merasakan sakitnya dilempari batu….” Tapi kawan … bukan itu jawaban Nabi. Ketika malaikat ini menawarkan halus, “Ya Rasul, jika kau mau, maka aku bisa menimpakan gunung ini agar mereka binasa.” Jawab Nabi yang mulia, “ Jangan malaikat. Saya berharap dari mereka akan lahir keturunan yang meninggikan kalimat Allah.”
Itulah dakwah. Dakwah, sejatinya hanya cara bagaimana kita mengambil hati orang-orang yang kita dakwahi. Bukan premanisme. Sekali lagi, Bukan Premanisme!