“Dalam Islam terdapat kaidah-kaidah tertentu di mana pure concepts dari kelima sila itu mendapat substansi yang riil, jiwa, dan roh penggeraknya.” (Mohammad Natsir)
Agaknya kita sepakat bahwa Islam pernah menjadi satu peradaban besar yang mampu memercuasari dunia, baik dari segi politik maupun kebudayaan. Kita pun agaknya sepakat bahwa salah satu penyebab kemunduran hingga akhirnya kehancuran peradaban Islam itu adalah faktor internal dari ummat Islam sendiri.Namun, apakah yang disebut faktor internal itu? Bagaimanakah solusi untuk mengatasinya? Pilihannya bagi saya mengerucut pada dua hal: Sekularisasi dan Penyatuan Islam dan Negara. Dua hal yang secara historis berlangsung berurutan, tetapi secara akademik sebenarnya masih terus berperang dan akan terus berperang, meminjam istilah Naquib Al Attas, inilah konfrontasi permanen.
Derita Sekularisasi
Salah satu unsur utama dari sekularisasi yang mungkin juga sering menjadi definisi bagi orang awam adalah desacralization of politics atau pemisahan antara agama dan negara. Bagi peradaban Barat, wacana semacam ini adalah buah dari dominasi gereja dengan sistem kependetaannya yang bertindak atas nama Tuhan. Mulai dari pengampunan dosa hingga inquisisi (penyiksaan) bagi orang-orang yang tidak mengikuti doktrin resmi gereja (kafir/heresy), dua hal yang tak pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam yang dinaungi Al Qur’an. Hingga pada suatu masa, ketika dominasi itu berakhir, sekularisasi menjadi proses kesejarahan yang tak terhindarkan bahkan kini coba dicari pembenarannya dalam Bibel. Di saat Peradaban Barat berdiri pongah dengan kemajuan material mereka, di saat bersamaan Peradaban Islam justru tengah mundur. Logika komparatif pun bekerja, maka tergodalah sebagian umat muslim untuk mengadopsi wacana sekularisasi, bahkan menerapkannya secara radikal.
Turki adalah satu contoh menarik, pusat Peradaban Islam terkahir yang sekaligus juga negara muslim percontohan dalam sekularasi. Dengan logika ingin mengikuti kemajuan Barat, Kemal Attaturk maju untuk menurunkan kekuasaan Khilafah terakhir dan menerapkan wacana sekularisasi di berbagai sektor kehidupan Turki, bahkan hingga ke hal-hal yang sangat sakral: pen-Turki-an Adzan. Akan tetapi, apa yang mereka sebut kemajuan itu tak kunjung datang dan Turki tetap saja outsider bagi Barat. Meski sudah disekularisasi habis-habisan, Turki bagi negara-negara eropa tetap saja terlalu miskin, terlalu banyak jumlahnya, dan terlalu muslim.[1] Hal ini menunjukkan kalau Turki dan negara-negara muslim pada umumnya telah ‘dikerjai’ oleh Peradaban yang oleh sebagian kalangan dijadikan acuan kemajuan itu.
Salah satu founding fathers kita, Soekarno, terlepas dari berbagai jasa besarnya bagi bangsa Indonesia, ternyata juga patut dikritik karena kelatahanannya terhadap wacana sekularisasi yang tengah ramai di Turki saat itu untuk juga diterapkan di Indonesia. Karena kelatahannya itu, Soekarno pun terlibat perang pena dengan beberapa intelektual muslim, salah satu yang paling masyhur adalah dengan Mohammad Natsir. “Pemerintah yang zalim dan bobrok seperti Turki Utsmani di zaman sultan yang akhir-akhir itu,” tegas Natsir dalam salah satu bantahannya terhadap wacana sekularisasi yang diusung Soekarno, “tidak dapat diperbaiki dengan memisahkan agama dengan negara, sebab agama sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.”[2] Dalam kasus Kemal Attaturk, sebenarnya yang dia lakukan hanyalah formalisasi dan pemarahan terhadap pemisahan agama dan negara tersebut.
Jelas, sekularisasi bukanlah solusi dari apa yang disebut kemunduran dari umat Islam tersebut, tetapi justru pelanjut dari kemunduran. Lebih dari itu, apa yang Barat sebut sebagai kemajuan pun tidak lengkap dan sempit. Mereka melupakan kehidupan sesudah mati (akhirat) dan pra syarat untuk sukses di sana: hidup di bawah naungan Al Qur’an, yang kata Sayyid Qutb adalah sebuah nikmat terbesar.
Pentingnya Penyatuan Islam dan Negara
Alih-alih mengetengahkan sekularisasi, Ibnu Khaldun, seorang politikus gagal yang justru menjadi sejarawan besar dan diklaim sebagai peletak dasar sosiologi modern, malah mengatakan hal yang sebaliknya. Berbekal pengalaman empirisnya di dunia politik, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kemajuan ummat Islam hanya dapat dicapai lewat persatuan (ashobiyah) yang melahirkan semangat juang dan itu hanya dapat dicapai dengan perantaraan agama saja.[3] Ibnu Khaldun memberikan gambaran kontras antara persatuan ummat pada masa Khulafa Rasyidin dan maraknya konflik bermotif kekayaan dan kekuasaan pada masa Khilafah setelahnya. Tesis ini juga menemukan pembenaran empiriknya di sejarah Peradaban Barat pada masa perang salib. Bagaimana konflik internal yang berkepanjangan itu dapat sementara terhenti dan berganti dengan kesatupaduan dan keterhimpunan kekuatan secara maksimal.[4] Keadaan semacam itu terjadi karena satu hal: Perang suci melawan ummat Islam. Tentunya dengan motif yang sangat transendental; Agama.
Penyatuan Islam dan Negara pun, jika kita mengacunya dengan tepat, tidak pernah menemui apa yang disebut sebagai kemunduran. Karena bentuk penyatuan tersebut bukanlah Teokrasi. Peradaban Islam tidak dibangun di atas pengembangan evolutif dari para pemuka agamanya. Peradaban Islam dibangun di atas konstitusi yang kokoh (Al Qur’an dan As Sunnah), tanpa amademen, dan melampaui logika zaman. Itulah mengapa, pembaruan (tajdid) dalam tradisi Islam itu sifatnya devolusioner atau kembali ke asal.
Jelas bahwa wajah Islam belum tentu sama dengan wajah pemuka agama atau pemeluknya. Kemajuan ummat Islam akan senantiasa beriring dengan kedekatan dan kepatuhan mereka terhadap konstitusi tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meski skalanya kecil dan tidak diakui secara formal, pemisahan antara Islam dan negara sebenarnya telah berlangsung, bahkan sejak apa yang disebut Khilafah Islamiyah itu masih berdiri. Namun, yang menarik, Turki Utsmani yang relatif sudah tidak terlalu Islami saja, ternyata masih menjadi tempat terindah bagi masyarakat Yahudi yang dulu ditindas dan diusir oleh masyarakat Kristen Barat.[5]
Di Indonesia sendiri, walau deru sekularisasi secara top-down terus berlangsung sejak masa kolonialisme fisik hingga kolonialisme pemikiran yang kini tengah marak, penyatuan antara Islam dan Negara relatif telah terjadi. Walau tidak secara formal mengatakan diri sebagai negara Islam, tetapi nilai-nilai Islam sebenarnya hidup dan tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Inilah bedanya. Jika sekularisasi bersifat top-down, Islamisasi justru bersifat bottom-up. Sekularisasi yang dibawa oleh kolonalisme itu pun terbukti tidak pernah membuat aspirasi dan gerakan Islam mati, bahkan kini semakin menunjukkan taji. Begitu pun juga dengan Pancasila, dasar negara kita, yang menurut Natsir hanya akan menjadi pure concept dan tidak memiliki substansi riilnya dalam realitas jika ia berusaha dilepaskan dari Islam,[6] yang sebenarnya memelihara dan menyuburkan nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila tersebut.[7] Pelepasan Pancasila dari pemelihara dan penyuburannya (baca: Islam) itu pulalah mungkin yang membuat Natsir mengubah pandangannya terhadap Pancasila, dari menerima kemudian menjadi menolaknya menjadi dasar negara dalam sidang konstituante. Walau sebenarnya tidak bisa dikatakan menolak, karena pengetengahanan Islam sebagai dasar negara justru penegasan dan pemberian substansi riil atas Pancasila. Oleh karena itu, upaya mempertentangkan antara Pancasila dan Islam dengan mengatakan bahwa para penganjur nilai-nilai Islam itu tidak Pancasilais, bukan hanya inkonstitusional, tetapi juga ahistoris.
Mengisi Pancasila
Jika yang dimaksud negara Islam adalah sekadar penerapan hukum cambuk dan potong tangan, maka yang sangat maksud lebih dari itu. Dalam kajian sosiologis, penyatuan Islam dan Negara itu bukan hanya sekadar menjadikannya norma lewat berbagai formalisasi, tetapi juga memang menjadi nilai yang hidup dan tumbuh sumbur di tengah masyarakat. Bukan seperti Khilafah Islamiyah yang akhir-akhir telah ‘tersekularisasi’ di mana apa Negara Islam itu ternyata diisi oleh pemerintah yang senang bermewah-mewahan dan tidak cakap mengelola negara serta rakyat yang mulai lupa pada akar kemajuannya.
Dalam konfrontasi permanen ini, kita sebagai ummat Islam sudah selayaknya mengetengahkan Penyatuan Islam dan Negara sebagai solusi atas kemunduran yang dihadapi ummat ini. Tentunya bukan dengan pemahaman yang telah terhegemoni, tersalahartikan, dan terpotong-potong, tetapi dengan pemahaman yang murni, lurus, menyeluruh. Baik pemahaman tentang konsepsi politik dalam Islam hingga penerapannya dalam konteks kita sebagai warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Lebih dari itu, sebagai satu sistem kehidupan yang menyeluruh, Islam bukan hanya untuk dipahami, tetapi juga diterapkan dan didakwahkan. Dengan ruang yang telah diberikan Pancasila, maka tugas kita adalah untuk mengisinya: menjadi rakyat yang bertaqwa untuk memilih pemimpin yang bertaqwa dan menyiapkan diri bila suatu saat nanti dipilih sebagai pemimpin.
[1] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, h.282
[2] Mohammad Natsir, Capita Selecta I, h.439
[3] Syarifuddin Jurdi, Awal Mula Sosiologi Modern, h.123
[4] Adian Husaini, Op.Cit, h.195
[5] Ibid, h.67
[6] Mohammad Natsir, Capita Selecta III, h.122
[7] Ibid, h.126
Oleh: Muhammad Alfisyahrin, Depok
Ketua Al Hikmah Research Center FISIP UI
Facebook – Twitter – Blog