Burung Beo yang satu ini memang bukan burung biasa. Tidak seperti beo yang lainnya, kicauan burung ini luar biasa. Tak heran karena pemilik burung ini adalah seorang ustadz yang memiliki santri ribuan. Ustadz Alim namanya. Beo ustadz Alim ini selalu melafazkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illallaah, setiap ada yang bertandang kerumah Ustadz Alim. Tiada suara yang keluar dari paruh burung ini kecuali kalimat Laa ilaaha illallaah. Suatu saat burung bBeo ini diterkam oleh seekor kucing yang baru saja dipelihara oleh anak sulung ustadz Alim. Saat Ustadz Alim mengetahu kejadian itu, ia sudah terlambat, karena si beo sudah berada di cengkeraman kucing.
Sepekan sudah beo ustadz Alim dimakan kucing dan seminggu pula Ustadz Alim tidak terlihat di pesantren dimana ia biasa mengajar. Santri-santrinya mengira bahwa ustadz Alim terlalu terbawa kesedihan atas kematian beo kesanyangannya, sehingga ia tidak mengajar di pesantren. Beberapa santri senior berinisiatif untuk melakukan penggalangan dana untuk membelikan seekor burung beo untuk ustadz Alim. Setelah uangnya terkumpul cukup banyak maka mereka bergegas membelikan burung beo untuk sang ustadz. Burung beo yang mereka belikan untuk ustadz Alim jauh lebih cantik dan lebih mahal harganya dari pada beo miliknya yang terdahulu. Setelah berhasil mendapatkan beo tersebut para santri tersebut segera mendatangi rumah ustadz Alim.
Sesampainya di rumah ustadz, ustadz Alim menerima kedatangan mereka dengan sedikit tanda tanya di benaknya. Mengapa para santri ini berbondong-bondong mendatangi rumahnya dan membawa seekor burung beo untuk di serahkan kepadanya? Setelah tahu maksud dan tujuan dari kedatangan para santrinya ini sang ustadz menjelaskan duduk permasalahan mengapa ia selama ini tidak datang ke pesantren seperti biasanya. Berikut ini adalah penjelasan dari ustadz Alim, mengapa ia tidak datang di pesantren :
“Santri-santriku yang aku sayangi karena Allah, tentu kalian mengetahui bahwa beo yang saya miliki ini selalu melafazkan kalimat tauhid, Laa ilaaha illallaah. Sebuah kalimat yang terdiri dari dua bagian, yaitu “meniadakan” dan “menetapkan”. Meniadakan segala hal yang tidak layak disembah dan menetapkan hanya satu yang wajib disembah, yaitu Allah. Tapi tahukah kalian bagaimana saat detik-detik terakhir kematian beo tersebut? Saat beo ini mati ternyata lafadz yang terakhir di keluarkan oleh beo tadi bukanlah kalimat tauhid, Laa ilaaha illallaah, namun suara yang ia keluarkan adalah suara layaknya burung biasa. Dari kejadian itu saya berpikir tentang diri ini dan saya terus melakukan muhasabah. Saya khawatir ketika ruh saya dicabut oleh malaikat Izrail nanti, kalimat yang terakhir terucap bukanlah kalimat tauhid atau kalimat yang baik. Saya khawatir kata yang terucap adalah kata selain itu. Hal ini bisa terjadi karena yang saya ucapkan selama ini mungkin hanya sekedar ucapan semata. Ucapan yang tidak meresap kedalam jiwa, layaknya kicauan beo yang saya punyai.
“Sebagai perumpamaan, tentu kalian pernah mimpi buruk, dimana saat itu kalian di kejar hantu atau makhluk seram lainnya. Dapatkah di dalam mimpi itu kalian membaca surat-surat di dalam Al Qur’an, Surat An-naas misalnya dengan mudah dan tidak terbata-bata? Jika sudah pernah bersyukurlah, namun jika belum pernah, kita perlu berinstropeksi diri kita masing-masing.
“Seorang hamba tidak mengucapkan “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan, tuhan) kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya”, dengan berkata benar dari hatinya, kecuali Allah haramkan dia dari api neraka” (Muttafaq ‘alaih). Apakah kalimat-kalimat tauhid itu sudah kita benarkan juga didalam hati. Apakah Al-Qur’an yang sering kita baca itu sudah masuk kedalam jiwa kita dan benar-benar mempengaruhi sikap kita.
Secara sederhana itu baru di dalam mimpi belum di alam barzah. Lalu bagaimana lagi keadaan kita saat di tanya oleh malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur nanti. Apakah kita juga mampu menjawabnya dengan mudah? Tidaklah berguna mengajarkan apa-apa jawaban dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir kepada orang yang sudah wafat. Mau di ajarkan 1000 kali pun andaikan saat masih hidup tidak pernah mentaati perintah Allah, maka ia akan mengalami kesulitan saat menjawab pertanyaan di alam kubur. Apa yang biasa di lakukan di beberapa lingkungan masyarakat itu sudah tidak berpengaruh bagi si mayit.
“Pertanyaan-pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir akan dapat kita jawab dengan amal-amal nyata yang sudah kita lakukan ketika kita masih hidup. Bukan sekedar ucapan-ucapan yang tiada membekas di dalam hati dan terkristal dalam perilaku kita. Ketika lafaz yang mentauhidkan Allah selalu di ucapkan itu belumlah cukup. Namun pelafazan kalimat Laa ilaaha illallaah yang disertai dengan pemahaman yang mendalam hingga merasuk kedalam hati sehingga melahirkan amal-amal nyata yang dapat memberikan kemanfaatan untuk orang banyak. Itulah penyebab sang ustadz seminggu tidak mengajar di pesantren. Ia melakukan muhasabah atas apa yang sudah ia lakukan selama ini.
Imam Al Qurthubi di dalam Al Mufhim berkata, “Tidaklah cukup hanya mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi harus disertai keyakinan hati” (Fathul Majid: 36).”
Maka melalui tulisan sederhana ini semoga mulai detik ini apa yang keluar dari lisan kita adalah bukan sekedar ucapan yang biasa namun ucapan yang merasuk ke dalam jiwa yang disertai dengan keyakinan hati. Ucapan yang dapat melahirkan kerja-kerja nyata. Sehingga dengan memahami apa yang kita ucapkan, akan selalu keluar pula ucapan-ucapan yang terjaga dan memberikan kemanfaatan untuk orang lain. Semoga dari kisah sederhana ini dapat kita ambil ibrohnya. InsyaAllah