Sirah Nabawiyah dan Fikih Sirah memang memiliki makna yang kuat dalam kehidupan ummat Islam. Di sanalah ditunjukkan jalan perjuangan dan pengejawantahan yang nyata atas risalah langit yang turun ke bumi. Di bumi inilah Sang Kekasih, Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam, menerjemahkan Al Qur’an yang diturunkan dari langit ketujuh. Di sinilah beliau meletakkan idealita langit pada realita dengan perjuangan dakwahnya yang biru.
Kajian perjalanan dan sejarah hidup Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam yang lengkap sudah muncul sejak abad ke-delapan Masehi. Hingga kini, sudah sangat banyak kajian tentang sirah nabawiyah, baik dari kalangan ulama’ ataupun orientalis. Bahkan bisa dikatakan bahwa sirah nabawiyah, biografi tentang Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam, adalah kajian biografi yang paling banyak dilakukan para intelektual.
Generasi tabi’in banyak yang mulai menyususn data tentang sirah nabawiyah pada lembaran kertas. Di antara mereka adalah Urwah bin Zubair, Aban bin Utsman, Syurahbil bin Sa’ad, Wahab bin Munabbih, dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Akan tetapi peninggalan fisik dari mereka telah lenyap.
Buku sirah nabawiyah yang dianggap paling terpercaya ditulis diperkirakan ditulis oleh sejarawan Muhammad bin Yasar bin Ishaq. Namun, versi asli atau salinan kitab itu tidak ada. Dan sebagian ulama mensarikannya dari Siratun Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam karangan Ibnu Hisyam, yang merupakan murid Ibnu Ishaq, dimana di dalam kitab itu terdapat banyak nukilan dari Ibnu Ishaq, lantas merujuknya sebagai Siratur Rasulullah karangan Ibnu Ishaq. Diperkirakan Ibnu Hisyam banyak menukil dari kitab Al Maghazi karangan Ibnu Ishaq.
Ulama salaf lain yang menulis tentang sirah nabawiyah adalah Ismail bin Katsir atau Ibnu Katsir dengan Al Fushul fi Ikhtishari Siratur Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selain itu beliau juga menulis sirah nabawiyah dalam bagian Al Bidayah wan Nihayah. Ibnul Jauzi menulis pula tentang sirah nabawiyah dengan judul Al Wafa’ bi Ahwal Al Musthafa. Imam Al Asfahani menulis Dala’il An Nubuwah. Imam At Tirmidzi menulis Asy Syama’il, dan Ibnul Qayyim Al Jauziyah menulis dalam kitabnya, Zadul Ma’ad. Ini hanya sebagian kecil contoh saja.
Beberapa ulama kontemporer yang menulis tentang sirah nabawiyah diantarannya adalah Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri dengan kitabnya Ar Rahiq Al Makhtum. Kitab ini merupakan juara pertama penulisan sirah nabawiyah yang diadakan oleh Rabithah Al Alam Al Islami. Ada juga versi ringkas sirah nabawiyah yang ditulis oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab dengan judul Mukhthasar Siratur Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ustadz Abul Hasan Ali An Nadwi dari India pun juga menulis As Sirah Nabawiyah. Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi menulis kitab Hadzal Habib, Ya Muhibb. Muhammad Husain Haikal dari Mesir menulis Hayat Muhammad. Sementara itu di Indonesia, terdapat KH Moenawar Chalil yang menulis Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, sebuah kitab sirah nabawiyah dengan pendekatan tarikh. Sementara itu salah satu kalangan orientalis yang menulis tentang sirah nabawiyah dengan pendekatan ‘ilmiah’ adalah Karen Armstrong dengan bukunya yang berjudul Muhammad : A Biography of the Prophet.
Sementara itu beberapa buku tentang kajian yang lebih mendalam tentang sirah nabawiyah, atau dikenal dengan fikih sirah, akan dipaparkan beserta penulisnya sebagai berikut.
1. Fiqh As Sirah – Syaikh Muhammad Al Ghazali As Saqqa
Kitab fikih sirah ini ditulis oleh seorang cendikiawan Muslim dari Mesir yang bernama Muhammad Al Ghazali As Saqqa. Beliau adalah salah seorang da’i brillian, memiliki semangat menggelora, keimanan mendalam, perasaan lembut, tekad membaja, lincah, ungkapan-ungkapan mensastra, terkesan, mengesankan, supel dan pemurah. Ini semua diketahui setiap orang yang pernah hidup bersamanya, menyertai dan bertemu dengannya. Beliau merupakan lulusan Fakultas Ushuludin Al Azhar jurusan Da’wah wal Irsyad. Beliau juga pernah bergabung dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Buku Fiqhus Sirah yang ditulisnya merupakan salah satu karyanya yang dikenal oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Dalam kata pengantar kitab tersebut, beliau mengatakan, “Saya mengharapkan riwayat hidup Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dapat menjadi sesuatu yang menumbuhkan iman, membersihkan perangai dan akhlak buruk, serta mengobarkan api perjuangan, menghimbau manusia untuk menghayati kebenaran, dan setia membelanya, serta memadukan sebanyak mungkin contoh-contoh cemerlang seperti itu.”
Oleh karena itu, dalam kajiannya tentang fikih sirah, akan kita dapati bagaimana beliau menunjukkan sirah nabawiyah sebagai sebuah tata nilai yang menuntun ummat Islam dalam menumbuhkan gairah dan kebanggan terhadap pribadi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Yang membedakannya dengan penulis sirah nabawiyah yang lain, dalam buku Fiqhus Sirah ini Syaikh Muhammad Al Ghazali menggunakan metode tersendiri dalam menentukan shahih dan tidaknya sebuah hadits terkait dengan sirah nabawiyah. Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani yang diminta melakukan tahqiq terhadap hadits-hadits dalam kitab ini misalnya, meragukan metode dan sumber rujukan yang digunakan oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali. Namun, Syaikh Muhammad Al Ghazali menjelaskan bahwa metodenya lebih sesuai dengan keterikatan dan kesesuaian dengan Al Qur’an meski oleh sebagian muhadits dianggap lemah. Sementara itu, beliau juga memilih meninggalkan hadits Bukhari dan Muslim tentang Perang Bani Musthaliq karena menurutnya tidak sesuai dengan logika Islam dan jauh dari karakter Nabi.
Dengan gaya penulisan yang lentur dan menyisipkan hikmah dan ibrah tentang bagian-bagian dari sirah nabawiyah, kitab Fiqhus Sirah ini relatif mudah dicerna oleh pembacanya. Selain itu, penulis berusaha menerjemahkan hikmah dan ibrah itu dalam konsep kehidupan kaum muslimin.
2. Fiqh As Sirah – Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi
Fiqhus Sirah karangan Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi berjudul lengkap Fiqhus Sirah: Dirasat Manhajiyah ‘Ilmiyah li Siratil Musthafa ’Alaihish Shalatu was Salam. Beliau lahir di Turki, dan pindah ke Suriah saat berakhirnya kekhalifahan Turki Utsmani. Kemudian beliau belajar di Kairo pada Fakultas Bahasa Arab. Dan meraih gelar Doktor di Universitas Al Azhar dengan predikat Mumtaz Syaf ‘Ula. Beliau menjadi tenaga pengajar di Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus semenjak tahun 1961. Kemudian menjadi Ketua Jurusan Fiqh Islam pada Fakultas Syari’ah dan pada gilirannya duduk sebagai Dekan Fakultas tersebut pada tahun 1977. Saat ini Dr. Sa’id Ramadhan bekerja sebagai Guru Besar di Fakultas Syariah Universitas Damaskus dalam bidang Fiqh Islam. Beliau juga merupakan salah satu anggota Jama’ah Ikhwanul Muslimin.
Jika dirunut menurut tujuannya, beliau menulis Fiqhus Sirah dengan tujuan untuk memahamkan kaum muslimin pada pribadi kenabian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, menggambarkan prototype ideal manusia utama yang dijadikan teladan, membantu dalam kajian Al Qur’an, menguatkan tsaqafah Islamiyah, dan mengajarkan metode da’wah kepada para duat Islam di manapun.
Dalam gaya penulisan, beliau menukilkan satu fragmen atau bagian dari sirah nabawiyah berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipercaya, kemudian beliau menjelaskan ibrah yang dapat dipetik dari sekuntum fragmen tersebut. Kemudian beliau juga membaginya dalam tahapan-tahapan da’wah menurut sirah nabawiyah. Inilah poin yang sangat perlu diperhatikan oleh para da’i dalam kajian fikih sirah.
Pada bagian penutup, Al Buthi memaparkan sejarah singkat khulafaur rasyidin, dari Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq hingga Khalifah Ali bin Abi thalib.
3. Al Manhaj Al Haraki lis Siratin Nabawiyah – Dr. Munir Muhammad Al Ghadban
Dr. Munir Muhammad Al Ghadban adalah salah satu tokoh pergerakan Islam yang juga dosen di Universitas Ummul Qura Makkah dan di Jami’ah Al Iman di Yaman. Beliau merupakan salah satu anggota Jama’ah Ikhwanul Muslimin yang produktif.
Oleh karena itu, kajian fikih sirah yang dilakukannya berfokus pada studi tentang gerakan Islam, perjuangan, dan sisi politisnya. Beliau menulis kajian fikih sirah yang disebutnya sebagai Manhaj Haraki ini dari sebuah pemikiran Sayyid Quthb tentang waqi’ah harakiyah, yakni fase-fase dalam manhaj pergerakan. Dari pemikiran Sayyid tersebut, Dr. Al Ghadban mempelajari sirah nabawiyah secara mendalam dan mengkajinya dalam perspektif gerakan da’wah.
“Sirah nabawiyah adalah aplikasi operasional ajaran Islam. Ia merupakan gambaran ideal upaya menegakkan negara Islam. Jika tahapan dan rambu-rambunya telah dipahami secara jelas, langkah itu akan disatukan dan ijtihad individual pun tidak akan berperan.
Dalam kajiannya tentang fase-fase pergerakan dari sirah nabawiyah, beliau membagi periodisasi manhaj haraki sebagai berikut:
Pertama, sirriyatu ad da’wah wa sirriyatu ad tanzhim (berda’wah secara sembunyi-sembunyi dan merahasiakan struktur organisasi). Kedua, jahriyatu ad da’wah wa sirriyatu at tanzhim (berda’wah secara terang-terangan dan merahasiakan struktur organisasi). Ketiga, iqamatu ad daulah (mendirikan negara). Keempat, ad daulah wa tatsbiti da’a’imiha (negara dan penguatan pilar-pilarnya). Kelima, intisyaru ad da’wah fi al ardh(penyebaran da’wah ke seluruh dunia).
Dalam penulisan kajian ini, Dr. Al Ghadban tidak mendasarkan pembagian fase-fase pergerakan secara urut berdasarkan kronologi kejadian dalam sirah nabawiyah. Namun, beliau menyusunnya berdasarkan karekteristik peristiwa terkait dengan pergerakan. Dalam konsep pengejawantahan sirah nabawiyah pada masa pergerakan Islam kontemporer, beliau juga memberikan contoh-contoh teknis dalam perjalanan pergerakan islam di berbagai tempat.
Kajian fikih sirah dalam kitab ini, mau tidak mau menjadi bacaan wajib bagi para du’at dalam rangka memahami jalan da’wah yang akan ditempuhnya dan sikap pergerakan da’wah Islam terhadap kondisi realita saat ini.
Dato’ Seri Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, Presiden Parti Islam Se-Malaysia, juga menulis kajian fikih sirah yang serupa dengan judul Fiqh Al Harakah Dari Sirah Nabawiyyah.
4. As Sirah An Nabawiyah, Durus wa ‘Ibra – Dr. Musthafa As Siba’i
Dr. Musthafa As Siba’i lahir tahun 1915 di Himsh, Suriah. Tahun 1933, beliau pergi ke Mesir, menimba ilmu di Al Azhar. Waktu kuliah inilah, As-Siba’i berkenalan dengan Hasan Al Banna dan gerakan Ikhwan. As Siba’i ikut ambil bagian mendirikan cabang Ikhwan di Suriah. Tahun 1945, As-Siba’i dipilih sebagai Muraqib ‘Amm Ikhwanul Muslimin Suriah. Sekembalinya ke Suriah mencoba membuka Fakultas Syariah di Universitas Syariah tahun 1955 dan jadi dekannya untuk pertama kali.
Bagi yang membaca kitab ini, akan mengetahui bahwa sang penulis sangat memahami dan telah menyelami perjalanan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perpektif dakwah, risalah, dan kenabian. Jadi, apa yang dipaparkan oleh penulisnya adalah bekalan bagi para du’at Islam. Beliau mencoba mencerna hikmah dan pelajaran yang bisa membantunya mencetak ummat Islam untuk menjadi para da’i, pembimbing, dan penerang jalan kehidupan bagi ummat yang kegelapan dan bimbang.
Dari segi kuantitas, kitab ini tergolong ringan jika dibandaingkan dnegan kajian sirah nabawiyah yang lain. Namun, untuk kedalaman dan kemanfaatan isinya tidak perlu diragukan lagi.
5. Fiqh As Sirah – Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az Zaid
Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az Zaid adalah salah seorang dosen di Universitas Al Imam. Beliau menulis kitab ini dalam jangka waktu 10 tahun. Sehingga kajian fikih sirah yang beliau lakukan benar-benar dalam. Dengan afiliasinya pada salafi, nampak bagaimana beliau cenderung menggunakan perspektif salafi. Namun, beliau tetap bersikap ilmiah dengan tidak fanatis pada kelompok tersebut.
Buku Fiqhus Sirah ini menyajikan perjalanan hidup Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dari beliau belum diangkat menjadi nabi hingga beliau wafat. Keunggulan sistematika penyajian dalam buku ini adalah pemaparan intisari, hikmah, ibrah, dan hukum terkait satu fragmen sirah nabawiyah yang disusun menurut poin-poin tertentu. Selain itu, kitab ini menyertakan rujukan yang kuat dari berbagai kajian ulama lain tentang bagian-bagian sirah nabawiyah yang disertakan dalam catatan kakinya.
[Bumi Nyiur Melambai, 01.28 WITA, 27 Jumadil Awal 1432]