Allahu Akbar, hanya dalam empat belas abad, rasio perbandingan muslim melonjak 200 kali lipat. Di zaman Rasulullah umat manusia ada sekitar seratus juta, dan orang Islamnya hanya 100-125 ribu di Fathu Mekkah, itu artinya rasio muslim dengan selainnya, satu berbanding seribu. Sekarang penduduk bumi 6 milyar, dan 1,3 milyarnya muslim, atau sama dengan seperlimanya.
Maka, jika manusia-manusia besar seperti Abu Bakar dikenal, itu bukan karena diiklankan. Atau mengapa Umar begitu melegenda dalam kisah kepahlawanan, itu bukan karena rekayasa dan dipromosikan, tapi karena mereka telah bekerja. Mereka telah memberi. Kerja mereka tidak satu dua, dan tidak kecil kerdil. Kerja Abu Bakar misalnya,“Jika ditimbang dengan seluruh amal umat Islam, maka Abu Bakar yang menang,” kata Rasulullah. Begitupun 314 ahli Badar. Kerja mereka tidak sekedar mengalahkan seribu kafir Quraisy, tapi merubah rotasi sejarah. Setelahnya, kepala kaum yang muslim tertindas itu bangkit, eksistensinya diperhitungkan, dan sikap geraknya disegani. Sehingga hari itu disebut Yaumul Furqân, Hari Pembeda.
Begitulah cara Allah membuat nama-nama manusia muslim yang ikhlas bekerja teriknya masa lalu, melangit menjadi bintang menerangi malam-malam masa depan. Maka sejak Rasul diutus, jadilah karnaval sejarah dunia ini menjadi jejeran manusia-manusia muslim yang memberi kerja-kerja besar. Karena sejarah tidak mau mencatat nama semua orang. Sejarah hanya bersedia mengingat nama-nama yang telah bekerja sangat panjang, dalam gempita sorak manusia atau sepi seorang diri.
Tapi kerja panjang itu membutuhkan energi. Padahal perintah beramal untuk seorang muslim, bukan seminggu sekali, atau sebulan, apalagi ibadah tahunan. Kerja untuk Islam itu diminta dalam setiap hitungan nafas, atau lebih detail dari itu. Sehingga setelah menjadi Rasul, ia mengatakan kepada istrinya,“Wahai Khadijah, tak ada lagi waktu istirahat bagi kita”. Apa seberat itukah menjadi seorang muslim sejati? Jelas, ini sangat berat. Tapi inilah hidup. Surga Allah tidak murah. Dan bidadari-bidadari didalamnya bermahar sangat mahal. Sedang semangat seorang muslim itu tidak selalu konstan apalagi menanjak.
Oleh karena itu Allah tidak membebani manusia diluar batasnya. Karena “setiap amal itu ada titik jenuh, dan setiap kejenuhan membuat futur…”. Allah Maha Mengetahui kelemahan manusia, sehingga Rasulullah melanjutkan “…Siapa yang dalam futurnya mengikuti sunnahku, maka ia terbimbing”. Seperti itu Allah memberi manusia karunia. Karunia untuk mengisi ulang ruhani di langit-Nya untuk kembali menyebar kerja di bumi-Nya. Karunia itu adalah Ramadhan.
Maka cerita tentang karunia Ramadhan ini adalah cerita tentang waktu untuk kerja-kerja besar. Mengapa? Karena ini adalah bulan pilihan Allah untuk umatnya. Sepanjang sejarah waktu, 20 milyar tahun sejak terciptanya semesta, Allah memilih satu bulan terbaik dalam rentang waktu yang sangat dahsyat itu. Allah telah memilih Ramadhan untuk umatnya. Disana ada empat kejadian besar dalam pokok agama ini. Disanalah karunia Salat mulai diberikan, Zakat dan Jihad mulai diwajibkan, dan Ka’bah yang sangat dirindukan Rasul menjadi kiblat itu mulai tetapkan. Selain itu, Islam mencakup semua urusan kehidupan. Tapi dari setumpuk urusan Allah hanya memilihlimasaja sebagai penopang agama ini, hanyalima. Dan salah satunya Shaum Ramadhan.
Dengan keutamaan sebesar itu, maka pesan Ramadhan adalah pesan kerja besar. Didalamnya bukanlah tidur panjang atau memasak sepanjang hari. Bahkan bukan sekedar tarawih, tadarrus Qur’an, atau kultum rutinan. Tapi didalamnya tersimpan cerita Badar, persiapan Uhud, fathu Mekkah, perang Tabuk, perang Buwaib salah satu perang terbesar sahabat, terbukanya Andalus oleh Thâriq bin Ziyâd dalam perang Wâdi Birbâth, perang ‘Ain Jalut melawan Tatar atau 10 ramadhan dalam perang Mesir melawan Israel.
Pesan Ramadhan adalah pesan membangun umat yang siap memikul kerja-kerja besar sepanjang tahun. Karena umat yang tak berbekal takkan mampu bekerja, dan umat yang tidak siap bekerja tidak layak memimpin. Disinilah medanitu. Disinilah tempat umat untuk melahirkan alumni Ramadhan yang siap bergabung dalam barisannya secara produktif. Mereka adalah manusia-manusia muslim yang berselempang semangat membara di bulan Syawal, meningkatkan intensitas ibadah ruhiyah di bulan Dzulqa’dah, menyebar da’wah saat Dzulhijjah, mencetak kader muslim pada Muharram, dan terus bekerja untuk umat dalam penghargaan atau penghinaan sepanjang tahun, hingga tiba Sya’ban dan Ramadhan untuk kembali memasang energi baru. Disinilah tujuan besar Ramadhan, yang dalam al-Qur’ân disebutkan“la’allakum tattaqûn”.
Dalam konteks inilah difahami mengapa ibadah Ramadhan adalah satu kesatuan sistem ibadah sebulan penuh. Karena setiap potongan waktu dan aktivitas Ramadhan adalah sarana untuk melahirkan alumni terbaik bagi umat. Oleh karena itu perlu sebuah ujian. Dan agar lulusan itu berkualitas tinggi, maka ujiannya harus sulit.
Ujian paling minimal ada dalam farâidh Ramadhan (kewajiban-kewajiban). Sepanjang sebelas bulan, umat Islam leluasa membebaskan syahwatnya. Syahwat makan, minum, dan sex. Lalu tiba-tiba, semua itu diatur dalam sebuah sistem puasa yang rapi. Semua itu halal, semua boleh, hanya ada waktunya, ada kadarnya. Di negara tropis seperti Indonesia mungkin kesulitan ini tidak terlalu terasa. Jam puasa realtif normal, 14-15 jam, dengan temperatur 20-30 derajat. Bahkan anak-anak tujuh tahun mampu menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Namun ujian ini akan lebih terasa berat. DidaerahSudanmisalnya, dengan temperatur siang sampai 49 derajat. Atau di Prancis, dengan durasi puasa, dari jam empat pagi hingga jam sepuluh malam, dalam kondisi mayoritas masyarakat makan dengan bebas di siang hari. Setidaknya ujian ini akan memperkuat loyalitas sebagai seorang Muslim yang tidak meninggalkan pokok Islam.
Namun ketika izin dibuka, membanjirlah syahwat itu. Hikmah lapar untuk merasakan kesulitan kaum kecil hilang seketika dengan hidangan melimpah buka puasa yang beronde-ronde. Ifthar pasca azdan Maghrib, makan berat setelah Salat Maghrib, cemilan sebelum Isya, dan makan malam pasca tawawih. Lalu latihan untuk menahan syahwat bahkan kepada istri. Sebetulnya mengandung makna ketahanan menahan diri dari nafsu birahi manusiawi terhadap yang halal, agar imunitas ini lebih kuat saat menghadapi peluang-peluang haram. Namun sepanjang sore dan malam khalwat (berduaan) lawan jenis menjelang berbuka menjadi budaya di restoran-restoran dan tempat-tempat berkumpulnya anak muda, maka hilanglah sama sekali tujuan memperkuat imunitas jiwa terhadap nafsu.
Potongan-potongan waktu harian Ramadhan bermakna cara hidup sistematis bagi seorang muslim. Memulai hari sejak awal fajar, dengan penuh nilai ruhani, lalu memulai aktivitas sebelum umat lain membuka matanya, bahkan sebelum matahari bangun dari tidurnya. Sehingga penambahan jam kerja ini berarti peningkatan produktiftas individu, perusahaan atau tempat ia bekerja, bahkan negara secara keseluruhan, karena kemajuan negara hanyalah akumulasi dari produktivitas individu. Lalu mengisi kehidupan sepanjang siang untuk kembali kepangkuan kekhusuan setelah Isya sebelum tidur dengan salat Tarawih. Kemudian kembalilah siklus itu selama tiga puluh hari untuk melatih disiplin seorang muslim menjalanigayahidup sebelas bulan setelahnya dengan pola waktu yang sama.
Tapi makna produktivitas itu sirna sama sekali, bukan setelah berakhirnya Ramadhan, bahkan dibulan itu sendiri. Saat pagi hari menjadi ekstensi tidur malam yang sedikit, lalu perubahan jam awal kerja menjadi lebih siang, dan berakhir lebih dini, untuk kemudian menghabiskan waktu sepanjang sore dengan mempersiapkan pesta makan harian untuk berbuka. Dan di malam hari, salat Tarawih yang hanya berlangsung tiga sampai limamalam itu mulai tergantikan dengan segudang hiburan televisi hingga menjelang sahur. Begitulah siklus itu berubah, sehingga ketika para orientalis menuduh bahwa Ramadhan adalah kemunduran bagi produktivitas negara, tampaknya umat Islam baru mampu menjawabnya dengan sejarah tapi belum mampu membantahnya dengan realitas. Sehinga dengan semua kontradiksi itu “maka tidak ada gunanya bagi Allah puasa makan dan minummnya” kata Rasulullah dalam riwayat Bukhari. Lalu apa yang tersisa dari puasa siang Ramadhan yang formaslitas dengan maksiat malam yang tanpa batas?
Umat yang memikul risalah besar, seperti pejuang perang Badar, membutuhkan ujian berat Ramadhan untuk memikul amanah itu. Ujian itu meliputi persiapan Ramadhan, perencanaan, evaluasi. Namun ujian terberat sebetulnya dimulai sebelum Ramadhan, karena bagi sebagian besar umat Islam tema Ramadhan benar-benar terlupakan. Memasuki Ramadhan tanpa persiapan sama dengan menunggu akhir dengan kegagalan. Rasulullah bahkan memulai persiapan itu dengan shaum-shaum sunat di bulan Rajab, lalu meningkatkan intensitasnya di bulan Sya’ban. Begitupun para sahabat, pahlawan-pahlawan muslim. Sehingga ketika salah satu tim pemikir Salahuddin menasihatinya agar menunda rencana penyerangan setelah Ramadhan, ia tetap meneruskan semua persiapan perang itu untuk Ramadhan sambil membantah “al-’umr qashîr wa akhsyâ fawâtil ajr” (usia itu pendek, dan aku khawatir peluang amal itu hilang). Persiapan-persiapan berupa shaum sunat akan membiasakan seorang muslim untuk menanggung beban lapar dan hausnya puasa. Sehingga ketika Ramadhan tiba, ia mampu mengalihkan perhatiannya pada urusan yang lebih besar. Karena lapar dan haus tidak mengganggunya secara fisiologis.
Setelah pembiasaan shaum sunat, perencanaan yang dibutuhkan setiap manusia muslim adalah pengetahuan teoritis mendasar tentang fikih shaum dan hikmah dan rahasia-rahasianya. Karena dalam ibadah apapun, ilmu selalu didahulukan atas amal, sehingga Umar bin Abdul Aziz mengatakan “siapa yang beramal tanpa ilmu, justru lebih merusak dari pada memperbaiki”. Selain pengetahuan, yang juga dibutuhkan adalah menyusun rencana amal besar di bulan Ramadhan. Kaidah ushul fikih mengarakan Al-Ajru ‘ala qodri masyaqqah, pahala itu tergantung beratnya persoalan. Maka manusia-manusia muslim perlu memperbesar kadar obsesinya untuk melakukan kerja-kerja besar. Lemahnya obsesi, bahkan untuk sekedar merencanakan, itu sangat dipengaruhi oleh standarisasi lingkungan tempat tinggal.
Tidakkah diketahui bahwa para pejuang Islam di perang Tabuk berkeras memilih melanjutkan puasa saat perang di panas Arab yang membakar walaupun Rasulullah menawarkan keringanan berbuka? Atau lihatlah obsesi Imam Syafi’i, di bulan Ramadhan, mengkhatamkan Qur’an setiap pagi dan sore, sehingga saat ‘Id al-Fitri, ia khatam enam puluh kali. Atau seperti di komunitas masyarakat muslim Mesir, yang dengan tiga puluh kali salat Tarawihnya menyelesaikan satu Qur’an, karena sebagian besar Imam mesjid membaca satu juz setiap malamnya. Masih adakah manusia muslim yang berobsesi melatih diri di bulan Ramadhan, dalam salat sunat yang totalnya seribu raka’at? Atau Sepuluh kali khatam? Atau mengkader dua puluh pemuda muslim dalam tarbiyah Islam? Atau menginfakan 70% tabungannya? Atau I’tikaf total sepuluh hari tanpa gangguan? Atau sekedar menahan lisannya dari satu kata maksiat?
Semua perencanaan besar itu mungkin, saat seorang manusia muslim membebaskan diri dari belennggu lingkungan yang membuatnya berfikir sempit. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan untuk mempelajari budaya dunia, bukan hanya budaya dalam negeri, “maka tak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga akal mereka dapat memahami dan telinga mereka mendengar?…” (ahl-Hajj:46).
Realisasi adalah sisi lain, karena yang menjembatani antara rencana idealis dan realitas adalah kemauan. Untuk memastikan semua perencanaan terlaksana, maka rencana amal besar itu perlu dievaluasi penerapannya setiap hari. Karena dalam Ramadhan semua lingkungan telah Allah setting untuk mengkondisikan suasana ruhiyyah dan semangat beramal, khususnya di minggu pertama. Maka pengawasan yang super ketat terhadap semua perencanaan itu lebih diperlukan diminggu kedua, saat suasana kegembiraan Ramadhan telah hilang di hati sebagian besar masyawakat muslim berganti harapan terbebas dari beban puasa di bulan Syawal.
Ramadhan adalah mahkota waktu dan roda perubahan kehidupan. Karena jika semua keutamaan Ramadhan yang Allah ciptakan tidak juga mampu membekali seorang muslim membangun dirinya, maka terlalu sulit untuk menebusnya di bulan selainnya. Tapi Ramadhan pun mempunyai efek berganda yang sebaliknya, yang disebut barakah. Sehingga jika persiapan sebelum Ramadhan itu ikhlas, dan rencana amal unggulan itu besar, dengan realisasi dan evaluasi yang ketat, maka umat akan kembali mendapatkan lulusan-lulusannya untuk mengembalikan kejayaannya. Dan berkata lantang kepada dunia, bahwa Ramadhan tahun ini, bukan kelemahan, bukan kelambanan, tapi pembekalan untuk kerja-kerja besar kemanusiaan.
Cairo Madînatul Bu’ûst al-Islâmiyyah, 30 Juni 2011
Ustadz Muhammad Elvandi – Majalah Al-Intima Edisi 18