Pekan kemarin hari Ahad, 9 Oktober 2011, saya check in di Bandara Manado hendak pulang ke Makassar naik pesawat Lion Air. Sebelum masuk ke ruang tunggu, saya ke mushalla dulu untuk shalat Zhuhur dijama’ dengan shalat Ashr. Di dalam mushalla hanya ada seorang anak muda yang sedang salat dengan khusyu’. Tapi ketika saya mau tepuk pundaknya untuk ikut jadi makmum, ternyata salatnya sudah berakhir, beliau sudah berdiri dari ruku’-nya, lalu kemudian setelah sujud, beliau duduk tahiyyat akhir. Karena itu saya shalat sendiri saja.
Sementara saya sedang shalat, saya dengar ada seseorang yang masuk, kemudian berbicara dengan sang anak muda, mungkin kenalannya. Setelah itu sepertinya sang anak muda mulai shalat lagi, mungkin shalat sunnah atau shalat Ashr.
Setelah selesai shalat, ternyata orang yang datang belakangan tadi sedang duduk menunggu di belakang saya. Beliau memakai pakaian seragam, lalu saya pun dipanggilnya. Saya ditanya mau naik penerbangan apa, saya jawab Lion Air ke Makassar, dan ini menurut jadwal sebentar lagi sudah boarding. Eh, orang itu kok bilang, tenang saja, ndak usah buru-buru, pesawatnya beliau yang bawa. Lho?
Setelah saya perhatikan badge-nya, memang beliau Captain Pilot penerbangan Lion. Jadi saya pun duduk dulu, lalu diajak ngobrol. Beliau tanya-tanya masalah agama, misalnya bagaimana hukumnya kalau’ kita marah-marah, khususnya di tempat yang suci seperti mushalla ini. Mungkin karena penampilan saya seperti “ustadz”, pak Kapten ini lalu tanya-tanya persoalan seperti itu. Padahal beliau juga kelihatannya sudah cukup “senior”, berjanggut dan bercambang, dan kelihatannya orang yang sangat paham agama.
Lalu beliau ngajak berdiskusi soal ukhuwah, dan sebagainya. Wah, gimana nih, padahal waktu boarding sudah semakin mendekat. Kalo’ Lion Air ter-delay lagi gara-gara Captain Pilot-nya ngajak saya ngobrol, ‘kan saya juga ikut andil tuh, merugikan penumpang-penumpang lain ….
Beliau akhirnya menjelaskan bahwa beliau sedang ada masalah dengan anak muda yang sedang shalat di depan itu, dan tidak mungkin beliau menerbangkan pesawat dalam keadaan yang tidak tenang seperti itu. Makanya beliau minta saya menyaksikan beliau mau menyelesaikan masalahnya dengan anak muda itu.
Setelah anak muda itu selesai shalat, lalu beliau mendekat ke kami, memperkenalkan dirinya bernama Ahmad, penumpang Garuda jurusan Jakarta via Makassar. Lalu anak muda itu menjelaskan ke saya apa masalahnya. Jadi ketika tadi check in ke Bandara, dirinya dalam keadaan yang terburu-buru, karena mengingat belum shalat dan sangat khawatir kehabisan waktu salat, sementara belum juga check in ke counter Garuda. Saking terburu-burunya, beliau melemparkan begitu saja bagasinya ke alat scanning lalu cepat-cepat masuk. Tiba-tiba ada bapak ini (beliau menunjuk ke sang Captain Pilot) yang marah-marah.
“Karena saya tidak merasa bersalah, dan sangat terburu-buru, maka saya tidak pedulikan marah-marahnya bapak ini, saya cepat-cepat tinggalkan. Ternyata saya dikejar-kejar oleh Security Bandara, yang menyuruh saya menunggu, tapi saya tidak pedulikan juga…..”, kata sang anak muda itu.
Sang Captain Pilot pun menimpali, “Seharusnya anda melihat tulisan di tempat check in, kalau ada rombongan crew pesawat sedang check in, maka penumpang harus mendahulukannya. Jangan melemparkan barangnya ke alat scanning begitu”.
Saya pun mulai memahami persoalannya. Lalu saya pun bercerita. Di sekitar Ka’bah, saya bilang, banyak orang yang berebutan mencium Hajar Aswad. Mereka banyak yang hanya mau memikirkan dirinya sendiri, harus bisa mencium Hajar Aswad, sehingga tidak peduli dengan orang laen. Kadang tidak segan-segan menyikut kiri kanan, bahkan menginjak-injak saudara-saudaranya yang lemah. Padahal ‘kan, mencium Hajar Aswad itu hukumnya hanya sunnah, sedangkan membangun persaudaraan sesama mukmin itu perintah Al Qur’an. Jadi jangan sampai kita hanya mau memikirkan “kesempurnaan” ibadah kita sendiri, tanpa mempedulikan segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita.
Mendengar kata-kata saya, sang Captain Pilot pun tersenyum (mungkin merasa dibela), dan sang anak muda yang penuh semangat itu pun mulai tersenyum juga, mungkin mulai menyadari juga, hampir saja gara-gara saking semangatnya mau beribadah dengan “sempurna”, sampai-sampai beliau membuat seorang Captain Pilot yang bertanggungjawab atas keselamatan ratusan penumpang (walau pun tidak termasuk dirinya, karena beliau ‘kan penumpang Garuda), menjadi tidak tenang. Bukankah itu membahayakan.
Kelihatannya suasana sudah mulai “kondusif”, keduanya pun saya tinggalkan, karena saya khawatir terlambat masuk ke pesawat nanti. Pesawatnya memang ter-delay kurang lebih 10 menit dari jadwal, dan mungkin dari seluruh penumpang hanya saya yang tahu apa sebabnya.
Kurang lebih satu jam setelah meng-udara, ketika saya tengah terkantuk-kantuk, tiba-tiba pramugari memberitahu saya agar pergi ke cockpit, Captain Pilot ingin bicara. Saya pun pergi ke cockpit, dipersilahkan duduk di kursi navigator di belakang Captain Pilot, menikmati pemandangan lewat kaca depan pesawat, mengobrol santai dengan sang Captain Pilot, tentang segala macam, tentang “potret” anak-anak muda Indonesia jaman sekarang, yang tinggi ilmu agamanya, tapi kok hanya pedulikan dirinya sendiri saja, dan seterusnya.
Alhamdulillah, tepat jam 17:00 WITA kami mendarat di Makassar dengan selamat.
Rhiza S. Sadjad