Manusia hidup di muka bumi ini tidak lepas dari persoalan musibah. Karena musibah telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala untuk bumi dan manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada diri kamu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya” (QS Al Hadid [57]: 22).
Segala yang rusak dan hilang dari kenikmatan hidup manusia adalah musibah. Dibalik musibah yang terjadi selalu ada hikmah yang menyertai. Di antara hikmah itu adalah agar manusia kembali menata diri untuk senantiasa berada di jalan kebenaran. Karena tidaklah musibah terjadi kecuali juga disebabkan oleh perbuatan maksiat yang dilakukan (lihat QS. Ar Rum: 41).
Maka sangat penting belajar menyikapi musibah. Karena musibah bisa menjadi alasan seseorang untuk bersedih, kecewa, menderita, dan bahkan berputus asa. Tapi bagi orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala, musibah menjadi pilihan untuk meraup kenikmatan di sisi-Nya. Kenikmatan itu berupa kebaikan diri yang berbalaskan pahala, bahkan surga Allah Ta’ala di akhirat nanti.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sungguh menakjubkan perkara orang-orang Mukmin karena segala urusannya menjadi baik. Hal ini tidak terjadi pada semua orang kecuali pada orang-orang Mukmin. Saat mendapat kenikmatan (kesenangan) ia bersyukur karena syukur itu baik untuk dirinya. Dan apabila ditimpa musibah, ia bersabar karena sabar itu baik untuk dirinya” (HR Muslim).
Ada beberapa cara menikmati musibah agar kita meraup kebaikan di sisi Allah Ta’ala.
Pertama, berprasangka baik kepada Allah (husnuzzhan ilallaah). Sebab, terjadinya musibah atas izin Allah (lihat QS At Taghaabun [64]: 11), dan Allah mustahil berkehendak menganiaya manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya di muka alam” (QS Ali Imran [3]: 108).
Sebab lain pentingnya husnuzzhan kepada Allah, karena apa yang kita sangka buruk boleh jadi baik untuk kita dan apa yang kita sangka baik boleh jadi buruk untuk kita. Hanya Allah yang Maha Mengetahui, sedangkan kita tidak mengetahui apa yang terbaik untuk kita (lihat QS Al Baqarah [2]: 216).
Kedua, muhasabah atau introspeksi diri. Sebab musibah terjadi kebanyakan disebabkan atau diundang oleh kezaliman manusia sendiri. Allah Ta’aala berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Rum [30]: 41).
Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyah, seorang tabi’in, pernah berkata: “Barang siapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi berarti dia telah berbuat kerusakan di dalamnya, karena bumi dan langit baik hanya dengan ketaatan kepada Allah” (Tafsir Ibnu Katsir (7/183), tahqiq oleh Dr Abdullah Alu Syaikh).
Syaikh Abdurrahman as Sa’di berkata tentang QS. Ar Rum [30]: 41 dalam kitab Taisirul Karimir Rahman: “Bahwa segala musibah yang menimpa manusia, baik yang terjadi pada dirinya, harta, anak-anak, dan keluarga mereka tidak lain disebabkan oleh maksiat yang pernah mereka lakukan”.
Ketiga, setelah kita berprasangka baik, kemudian menyadari bahwa musibah yang terjadi ada koneksi dengan kemaksiatan dan dosa, maka nikmatilah musibah dengan bertobat kepada Allah Subhaana Wa Ta’ala dengan tobat nashuha (Lihat QS At Tahrim [66]: 8).
Terbukanya pintu tobat untuk pelaku maksiat, adalah bentuk rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dengan tobat fluktuasi keimanan meningkat. Keimanan meningkat tanda kemampuan untuk meraih ketakwaan juga meningkat. Iman dan takwa, adalah syarat utama munculnya keberkahan hidup manusia yang melimpah, baik dari langit maupun bumi (lihat QS Al A’raaf [7]: 96).
Keempat, indahkan musibah dengan sabar dan amalan salat. Kesabaran menentukan reaksi dan aksi saat musibah datang. Sedangkan salat memastikan kita tetap terhubung kepada Allah Ta’ala sebagai buah dari kesabaran itu. Oleh sebab itu sikap sabar mengawali ibadah salat saat tertimpa musibah. Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan kepada Allah melalui sabar dan salat” (QS Al Baqarah [2]: 153).
Kelima, nikmati musibah dengan melihat besarnya musibah yang telah dialami orang-orang terdahulu. Karena hal itu akan memotivasi kita untuk sabar dan kuat menghadapinya. Di sini, penting sekali kita membaca dan berkaca kepada sejarah orang-orang soleh (salafus sholeh) yang gigih mempertahankan kebenaran meskipun di atas penderitaan, kelaparan, bahkan resiko kematian.
Oleh sebab itu, banyak pilihan kita dalam menyikapi musibah. Saat musibah datang kita bisa memilih untuk menderita dan putus asa, atau menikmatinya dengan tetap muhasabah dan memperbaiki diri sambil ridho atas ketetapan-Nya! Wallaahu A’lam.
Oleh: Lidus Yardi / @elyardi78