Saat saya sedang menulis ini, hujan sedang asik memainkan iramanya di luar. Merdu sekali, hati jadi adem. Hari ini pun, banyak hal yang saya temui dan membuat hati ini adem juga. Ketemu apa sih?
Semenjak pagi, sekitar jam 10.30 WIB, saya diamanahi oleh BEM Politeknik Negeri Jakarta untuk menjadi moderator di acara PNJ Fair hari pertama. Acara yang bertajuk: Jiwa Pemuda Entrepreneur. Menghadirkan Deputi dari Kementrian Koperasi dan UKM, Mas Mono (Owner Ayam Bakar Mas Mono), dan Ustadz Nasrullah (Owner Orchid Realty -Property-). Acaranya memang seru dan banyak sekali inspirasi. Namun, saya tidak akan membahas apa isi materi yang disampaikan pembicara tadi. Namun, pelajaran yang saya petik hari ini ada di sebelum acara dimulai.
Jam 08.45, saya sudah ditelpon oleh panitia yang bernama Sisi. Ia menyuruh saya untuk hadir jam 9 tepat, tapi apa mau dikata, saya baru berangkat aja jam 9 lewat hehe.. Tapi alhamdulillah, sampai di sana acara belum dimulai (ya biasalah ngaret-ngaret dikit). Saya menunggu di luar aula sambil BBMan sama temen.
Saya sebenernya ingin ketemu Mas Mono. Saya sudah membaca biografi Mas Mono, tentang perjuangannya hingga bisa dikatakan berhasil saat ini, memliki banyak outlet bahkan sampai membuka cabang di Malaysia. Perjuangannya dari menjadi OB, mendorong gerobak, atau membakar arang sangat menginpirasi saya, “Gila ya, tahan banting banget hidupnya…“. Saya merenung, mungkin kalau saya jadi dia gak bakal kuat..
Kagum saya menciptakan rasa ingin bertemu yang menggebu dengan Mas Mono. Mau ketemu! yang mana sih orangnya?
Akhirnya, Mas Mono pun datang. Saya kaget juga melihatnya, “Hahh.. ini mas Mono?“, pemilik Ayam Bakar Mas Mono yang fenomenal ini ternyata stylish sekali, berbeda sekali dengan apa yang saya pikirkan, dikirain model-model ustadz gitu, tapi nggak, ternyata beliau gaul juga. Dikirain beliau akan pakai peci, celana bahan, dan kemeja ala aktivis-aktivis muslim kampus.
Dengan rambutnya yang naik-naik, kemeja kotak-kotak, celana jeans, dan gelang besinya membuat halusinasi saya tentang gaya seorang ustadz akhirnya hilang. Agak segan setelah melihat beliau di dunia nyata, saya pun memberanikan diri menyalaminya. “Mas, saya Maula.. nanti saya yang jadi moderator mas..”, Mas Mono pun menyambut dengan senyuman, “Oh iya mas..”. kami pun duduk samping-sampingan, beliau sedang ngobrol dengan Mahasiswa PNJ, salah satu panitia, entah apa yang diobrolkan. Saya hanya duduk terdiam di sampingnya, mau ajak ngobrol nggak enak bakal motong pembicaraan mereka berdua. Diam, ya saya akhirnya diam saja, mengamati sekitar saya.
Agak lama, Mas Mono tiba-tiba melihat jam tangannya. “Wah, masih jam segini.. masih lama kan acaranya?’, tanya Mas Mono ke salah satu panitia, “Kalau masih lama, saya mau sholat dhuha dulu ya..”.
DEG!
Sholat dhuha? Subhanallah.. saya sempet kaget juga, padahal sebentar lagi beliau jadi pembicara, tapi menyempatkan sholat dhuha. Tiba-tiba saya malu sendiri, “Gue kan belom sholat Dhuha..“. Akhirnya, saya mengikuti dari belakang sosok Mas Mono yang cukup besar itu menuju Musholla kecil di pojok aula gedung Politeknik Negeri Jakarta.
Setelah mengambil wudhu, saya masuk ke musholla kecil itu, Mas Mono terlihat sedang sholat Dhuha. Saya pun ikut Dhuha. Singkat cerita, setelah 4 rakaat (2 raka’at + 2 raka’at), saya selesai dan berdoa, lalu keluar dari musholla kecil itu. Alhamdulillah, dalam hati saya bahagia sudah melaksanakan sholat Dhuha. Namun, sembari saya memakai sepatu di luar, hati ini malah jadi penasaran. Saya masih melihat Mas Mono sholat dhuha, “Lama banget” pikir saya, “Berapa raka’at ya? kok nggak selesai-selesai?“.
Akhirnya, acara pun dimulai. mas Mono pun sudah selesai dengan ibadah dhuhanya. ia pun memberikan presentasi tentang entrepreneurship. Penasaran saya masih belum hilang, sambil melihat beliau memberikan presentasi, pikiran saya mengawang-ngawang. “Tadi Mas Mono sholat dhuhanya berapa raka’at ya?“, entah kenapa saya malah bertanya seperti itu, padahal urusan apa saya harus tahu berapa raka’at beliau sholat. Tapi hati dan pikiran nggak bisa bohong, saya bener-bener penasaran. Ternyata, penasaran saya dijawab sendiri oleh Mas Mono tanpa saya bertanya (kalau mau nanya juga malu, masa’ nanya berapa raka’at sholat dhuhanya mas hehe). “Saya tadi sebelum berangkat ke sini sholat dhuha dulu, lalu tadi saat menunggu sampai acara dimulai saya sempetin untuk sholat dhuha lagi, alhamdulillah tadi dapet 12 raka’at..”.
DEG!
Saya kaget, dan entah kenapa malu itu menjalari tubuh saya. 12 raka’at! Malu, seorang Maula yang sukses juga belum, kaya juga belum, berprestasi juga belum, tapi sholat dhuha sering banget ditinggalkan. Sebuah kontemplasi diri yang sangat menusuk, entah kenapa itu begitu menusuk saya. Duka Dhuha. ada duka dalam dhuha. Allah. Diri ini langsung merasa jauh sekali dariNya.. malu sama Mas Mono yang sudah banyak prestasinya itu tapi tetap rutin menjalankan sholat dhuha, bahkan sampai 12 raka’at. “Maula, kamu kaya juga belum tapi sudah sombong jarang dhuha. Masih jauh dari kaya, surga, apalagi Allah..“, bisik hati kecil saya.
Dalam kondisi hati yang seperti itu, Mas Mono memberikan sebuah statement yang makin membuat diri ini tambah malu, “Bisnis itu cari berkah, jangan cari untung. Sholat, baca qur’an, Allah yang ngasih rezeki. Juga saling berbagi, sedekahlah.”. Ini cukup jleb, karena saya yang juga sedang menjalani bisnis kemasan serasa ditampar, “Mencari untung daripada berkah dari Allah? ah..“.
Hari ini saya belajar bukan dari himbauan. Hari ini saya belajar tentang sikap yang sudah menjelaskan arti istiqomah/konsisten dan tawadhu/rendah hati tanpa kata-kata. Akhirnya, memang benar apa yang saya baca di biografi Mas Mono membuat saya berfikir beliau seperti ustadz yang sering memberikan pencerahan tentang agama. Beliau memang ustadz, tapi ustadz yang memberikan tauladan terlebih dahulu sebelum menghimbau ini-itu, dengan gayanya yang gaul tanpa perlu peci itu, ia mengajarkan untuk sukses tidak di dunia saja, tapi insya Allah juga di akhirat.
“Barangsiapa yang mengejar dunia dalam kehidupannya, maka ia hanya akan mendapatkan dunia. Namun siapapun yang beramal untuk mencari bekal di akhirat nanti, maka ia akan mendapatkan keduanya: dunia dan akhirat.”
Terimakasih Mas Mono atas pembelajaran tanpa kata-katanya.
Oleh: Muhammad Maula Nurudin Alhaq, Depok
Facebook – Twitter – Website