Seorang pemimpin, apalagi dengan kekuasaan yang demikian besar di tangannya, pada dasarnya boleh melakukan apapun, termasuk menabrak aturan dalam rangka membangun aturan baru. Hanya saja, otoritasnya, sebesar dan selonggar apapun, tetap dibatasi oleh satu hal: legitimasi.
Di soal legitimasi inilah seorang pemimpin akan berhadapan dengan publik, dimana kepemimpinannya akan diuji dan dinilai dalam relasinya dengan kemaslahatan publik yang diakibatkannya. Jika kemaslahatan publik, atau bonum publicum, menjadi referensi utama sebuah kepemimpinan, pada dasarnya kepemimpinan itu akan mudah saja mengail legitimasi. Dan begitu pula sebaliknya.
Lalu, dimanakah letak isu “kemaslahatan publik” dalam ontran-ontran yang sedang terjadi di Yogya?
Terus terang saya agak geli jika isu kesetaraan gender dijadikan representasi “kepentingan publik” dalam kasus ontran-ontran Yogya. Siapapun yang berpandangan demikian pasti tidak sanggup membedakan antara (isu) “elite” dengan “publik”, antara problem “kultural” dengan problem “struktural” yang dihadapi masyarakat Yogya.
Problem struktural yang kasat mata dihadapi oleh masyarakat Yogya pasca-diberlakukannya UU Keistimewaan salah satunya adalah soal agraria. Meski sejumlah tanah kasultanan dan pakualaman telah didistribusikan kepada rakyat Yogya sejak awal Proklamasi dengan berbagai status kepemilikan, dan secara kultural serta yuridis distribusi hak itu sudah ditegaskan dan disahkan secara bersama-sama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, dan DPRD DIY pada 1984, namun proses itu ternyata hendak ditarik mundur kembali melalui proses reclaiming oleh pihak elite-elite keraton yang kini berkuasa.
Jadi, apa yang oleh sejumlah orang disebut sebagai “pembaruan” atau dipujikan sebagai “lompatan tradisi yang positif” itu, terkait dengan soal gender dan penghapusan gelar keagamaan, sebenarnya tidak banyak artinya bagi nasib para kawula alit di Yogya. Isu itu tidak mengubah dapur mereka yang kini sedang terancam oleh aksi reclaiming tanah oleh keraton tadi. Secara struktural, bagi rakyat memang tidak ada bedanya mau dipimpin oleh sultan laki-laki atau perempuan, karena toh kedua pihak yang sedang bertikai kini sama-sama mau menarik kembali agenda reforma agraria yang telah disahkan pada 1984 itu.
Oleh karenanya, asyik masyuk dengan isu kultural dengan mengabaikan problem struktural yang menggelisahkan masyarakat Yogya adalah sebuah bualan kosong. Apalagi, menyimak karut-marut pembangunan Yogya dalam lima belas tahun terakhir, dimana pemilik otoritas kultural punya andil di dalamnya, membuat apa yang sering disebut sebagai “benteng kultural” itu hanya bersifat ilusif saja.
Tentu saja, masyarakat Yogya masih menghormati pemimpinnya, sama seperti mereka masih menghormati tradisinya. Namun, apakah para pemimpin mereka masih memiliki penghormatan yang sama di sisi sebaliknya?!
Sekali lagi, pemimpin pada dasarnya memiliki kuasa untuk melakukan apapun, sejauh ia memiliki legitimasi.
Di soal legitimasi itulah setiap pemimpin bisa bercermin: sudahkah ia menyantuni publik dengan kekuasaan yang digenggamnya?!
Tarli Nugroho