Cinta, Feromon, Atau?

Biarkan cinta menemukanmu, kata sebuah novel.
Tapi kalau kata saya, biarkan cintaNya mempertemukanmu.

Kita tentu tahu, cinta tidak seperti dongeng dari barat, dibawa oleh dewa cinta bernama cupid. Salah satu kisah konyol penuh fantasi dari Yunani dan Romawi, yang anehnya dewa ini cuma berwenang untuk menebarkan perasaan cinta pada dua manusia lain jenis, tidak pernah disinggung cinta jenis lain.

Cinta diturunkan ke hati oleh Allah, dengan banyak cara, banyak media. Cinta begitu luas cakupannya, dan objeknya bisa siapa saja, termasuk makhluk yang bukan berjenis manusia.

Pernahkah suatu ketika, anda tiba-tiba merasa tertarik pada orang yang baru pertama dijumpai? Hanya sekedar berjumpa, tapi tiba-tiba muncul gelombang perasaan yang aneh. Jangan tergesa mengatakan anda sedang jatuh cinta. Salah satu alasan yang masuk akal yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah feromon. Salah satu jenis hormon yang akan menimbulkan perasaan yang meluap-luap.

Hormon ini diproduksi oleh kelenjar endokrin, tidak dapat dilihat, tidak dapat dirasa serta mudah menguap. Cara kerjanya sangat sederhana, saat bertemu dengan seseorang, feromon miliknya akan menguap, kemudian tercium oleh organ penciuman paling sensitif kita, selanjutnya memicu otak untuk bereaksi. Tapi banyak orang yang tidak tahu, mereka menyangka itulah cinta. Kemudian buru-buru menyimpulkan bahwa itulah fitrah yang diturunkan Allah untuk mereka. Lalu segera saja rasa ketertarikan itu dihayati, dipikirkan beberapa saat kemudian disampaikan pada seberang pihak. Apa tujuannya? Semata-mata agar kegelisahan jiwa karena feromon mereda.

Apa itu cinta?

Definisi tidak menjadi penting saat kita membicarakan cinta. Karena yang tengah kita bahas adalah kerja hati, entah kerja yang terkontrol atau kerja yang dibiarkan tak terkendali. Kalau anda ingin tercerahkan dengan definisi dan varian cinta, silakan baca serial cinta-nya Anis Matta. Di sini, saya cuma bisa mengatakan unsur yang harus ada ketika kita mendeklarasikan diri tengah mencinta. Apa itu? Komitmen.

Cinta itu komitmen. Komitmen untuk menjaga, komitmen untuk memelihara. Lihatlah bapak-bapak pedagang di sekeliling kita, bergerobak atau mengayuh sepeda sepanjang jalan. Menjajakan makanan atau sekedar jasa sol sepatu. Atau bapak  penjual wedang ronde, yang berkeliling tengah malam buta meneriakkan dagangannya. Itu cinta. Komitmen untuk menjaga dan memelihara. Berikhtiar agar istri dan anak-anak, orang-orang yang dicintai terpelihara kehidupannya.

Itu komitmen. Tingkatan lebih tinggi daripada sekedar ketertarikan karena hormon. Bisa jadi, ketertarikan karena hormon selanjutnya diikuti dengan komitmen. Setelah memuaskan perasaan di bawah pengaruh hormon, muncul niat untuk mempertanggungjawabkan perasaan itu. Bisa jadi tidak. Bisa jadi muncul feromon lagi dari orang yang lain, menimbulkan perasaan yang baru kepada orang lain. Begitu seterusnya, begitu siklusnya. Maka tak heran, orang yang pacaran akan mudah berganti-ganti kesetiaan. Kenapa? Karena masa kerja feromon ini begitu singkat. Setelah beberapa masa ia akan berhenti diproduksi, dan itu sama artinya dengan ketertarikan yang tiba-tiba pudar.

Lalu bagaimana dengan para aktivis dakwah. Ketertarikan itu wajar, fitrah. Tapi tentu saja bukan seperti itu yang dituntukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ada banyak hal yang harus dijaga. Telinga dan buku-buku kita pasti sudah penuh dengan materi seperti ini.

Sayangnya, akhir-akhir ini kasus-kasus percintaan ikhwan dan akhwat non mahram begitu merebak. Mungkin perkara ini sudah ada semenjak dahulu kala, dan sekarang makin diperparah dengan majunya teknologi dan munculnya jejaring sosial yang menawarkan peluang berkhalwat tanpa terendus. Banyak yang bertumbangan tidak kuat menjaga diri dari perkara seperti ini. Yang tadinya menahan rapat-rapat pandangan dan hati, perlahan mulai melunak. Tak hanya ikhwah yang masih baru bergabung dalam barisan, yang sudah memegang amanah kaderisasi saja ada yang bertingkah seperti ababil (abege labil geeto…) ketika menghadapi persoalan yang menyangkut hati, lewat sudah segala macam materi menjaga hati, menundukkan pandangan, tidak mempan lagi tausiyah mengenai bahaya virus merah jambu.

Beberapa tersadar, kemudian insyaf, berhenti atau melanjutkannya ke tahap yang benar. Menikah. Tapi yang belum tersadar, jumlahnya banyak jenderal! Susah sekali menahan diri untuk tidak mengikuti rasa-enaknya-hati.

Buat para aktivis yang jarang bersentuhan dengan cinta, yang pada benaknya telah ditanamkan konsep ideal suatu hubungan, rasa berdosa itu mudah terburai. Bagaimana sms-an, telpon-telponan, curhat-curhatan dengan lawan jenis yang buat orang lain terasa biasa, akan membawa rasa bersalah yang besar. Mungkin pada permukaan tampak enjoy saja, tapi persilahkan mereka bertanya ke dasar hatinya. Saya pikir rasa bersalah itu tertanam kuat di sana.

Banyak cerita memilukan perihal ini, kebanyakan dialami akhwat. Bagaimana ikhwan yang pernah membawakan janji berbunga-bunga, menghujani dengan kata-kata setengah tausiyah setengah rayuan  penyejuk hati, ikhwan yang mereka anggap akan menggandeng mereka ke surga kemudian berbalik hatinya. Dan seperti lagu-lagu lama, janji tinggallah janji. Tidak ada ikatan apapun yang mewajibkan dua insan harus mempertanggungjawabkan rasa milik mereka.

Unfortunately, perempuan, wanita, akhwat atau apalah sebutannya itu dilengkapi dengan persediaan rasa bersalah yang besar. Selain luka yang menganga yang harus diobati, rasa bersalah akan mengurung mereka. Rasa bersalah karena pernah mempersembahkan cintanya kepada laki-laki yang tidak halal, rasa yang mencederai hati, membuat mereka was-was, masihkah mereka pantas bersanding dengan ikhwan teladan idaman zaman. Tapi, tidak ingatkah mereka dengan ampunan Allah. Bahwa ampunanNya seluas langit dan bumi. Dan Allah tentu tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya.

Jadi, kenapa masih membela diri? Kenapa masih merasa ragu untuk kembali? Allah yang akan mengirimkan jodoh-jodoh terbaik kepada hamba-hamba yang terbaik. Yang diperlukan sekarang adalah memproduksi persediaan keyakinan dan kesabaran sebanyak-banyaknya. Tidak perlu tebar pesona kesana kemari. Rasulullah tidak pernah mencontohkannya sebagai urutan dalam ikhtiar  menjemput jodoh.

Ah, ente cuma ngomong sih enak, kalo yang menjalani?!

Tenanglah, saya tidak sedang menasehati, saya bersama anda saat ini. Bahkan ketika saya menyatakan hal seperti ini separuh hati saya kebat-kebit seperti anda-anda semua. Tapiiiii….menurut saya, kalau untuk sholat, ibadah yang hanya memakan waktu dalam hitungan menit saja wudhu kita harus benar, apalagi menikah, ibadah seumur hidup. Tentu “wudhu-nya” juga harus dilaksanakan sebaik-baiknya.

Ada yang tidak setuju?

Tri Susio Rohimmatun, Jakarta
Blog – Facebook