“Bergelung rindu di kerak jiwa, bagai gerimis yang tak pernah habis”
Siang ini, usai mengantar kepergian seorang sahabat yang hendak pulang ke kampung halamannya, seperti biasa aku melewati sebuah jembatan kecil yang sering kulalui bersama kawan-kawanku ketika akan berpergian.
Jembatan kecil yang menghubungkan jalan raya utama dengan sebuah komplek perumahan ini dihiasi sungai kecil yang memanjang di bawahnya. Menurutku sich lebih mirip selokan ketimbang sebuah sungai. Air yang hitam disertai sampah yang mengapung di sana-sini seolah menjadi pemandangan lumrah di tengah gagahnya rumah megah di kawasan elit ini.
Sekilas tidak ada yang menarik untuk aku cermati di sepanjang jembatan mungil ini. Tetapi, ulah romansa dua manusia yang lewat barusan mampu menyulap nuansa siang ini bak malam yang bermandikan cahaya rembulan. Betapa kemesraan mereka di atas kuda besi telah mampu membuatku ‘iri’. Memang betul rasanya, jika kita ingin menyatukan dua daratan kita hanya butuh jembatan, sedangkan jika kita ingin menyatukan dua hati, kita hanya perlu cinta.
Ya, menyatukan dua hati dengan cinta!
Ah, cinta! Sebuah perasaan yang lebih sering menyelinap ke dalam hati manusia. Pun jika rasa itu datang secara terang-terangan, yang dirasa pun tetap sama. Apalagi jika itu pertama kalinya merasakan cinta. Rasanya, sejuk seakan bergelung rindu di kerak jiwa, bagai gerimis yang tak pernah habis. Ya, cinta pertama!
“Bagaimana denganmu, Ram?”, tanya hati penasaran.
Aku? Ehm, aku agak lupa bagaimana rasanya pertama jatuh cinta. Bohong? Tidak.. tidak.., aku berkata yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin cinta pertama terlalu kuat mengakar dalam diriku sehingga sulit bagiku menumbuhkan cinta pada yang lebih pantas kucintai.
Namun tidak bisa kupungkiri, cinta telah membuatku dewasa. Betapa ia telah menenggelamkanku pada mimpi-mimpi abadi tentang kebahagiaan juga ketulusan. Menghipnotisku dari seorang remaja menjadi seorang bujangga. Seorang bujang bernapaskan pujangga. Bagaimana tidak? Cinta telah membuatku lebih sering meraba hati untuk menjadikannya puisi. Seperti puisi tempo hari,
Cinta adalah irama, yang sarat nada,
mengalun lembut di semenanjung jiwa.
Cinta adalah puisi, kata-katanya menari-nari,
tetapi tujuannya hati.
Cinta bukanlah kesatria perunggu, juga bukan pendekar apalagi pemburu.
Ya, karna cinta adalah aku!
Aih, aku benar-benar menjadi bujangga kala itu. Rajutan kata mampu aku buat berlembar-lembar tanpa kesusahan. Alam pun seolah mengiringi aku yang sedang dilanda cinta. Bagaimana bulan terlihat lebih besar di gelapnya malam, bagaimana semilir angin bak sisir di bulu-bulu hati, kian tercipta manakala aku didera cinta.
Bahkan, ketika cintaku mesti berpapasan dengan terbing curam bernama sakit hati, aku masih bisa menyanyikan puisi-puisiku. Hanya saja, dengan aroma yang sedikit berbeda tentunya. Penuh luka dan menyedihkan! Apalagi, kata-kata seorang guru perlahan menyambangi telingaku, “Jangan meletakkan dunia di hati, letakkanlah dunia beserta isinya pada tempatnya. Seperti halnya sandal ya di kaki, kalau mobil ya digarasi. Karna kalau semuanya di hati, jika hilang maka akan sakit hati. Sama seperti cinta..”
Ya, sakit! Tetapi rasa sakit itu nyatanya tidak mau bersemayam lama-lama di hatiku. Aku menyadari bahwa kala itu, cintaku salah kaprah. Cinta rendah yang jauh dari hikmah. Dimotori nafsu sehingga menjauhkanku dari Tuhanku. Tidak seperti cinta kelas tinggi, yang mencintai Tuhan sampai mati.
Aku pun mengerti, bahwa perhatian-perhatianku akan hadirnya dia ketika jatuh cinta telah membunuh perhatianku terhadap yang lain. Perhatian terhadap orang tuaku, kuliahku, juga agamaku seolah luntur karna cinta yang salah kaprah itu. Perhatian yang semestinya kelak menjadi hak bidadari halalku.
Maka pantaslah jika ada yang mengatakan, “Cinta itu laksana pasir. Apabila terlalu erat menggenggamnya maka pasir tersebut akan keluar dari sela-sela jemari kita. Maka cintailah manusia sewajarnya.”
“Berarti kamu sudah mengotori cinta Ram!”, ceracau hati menggema.
Tidak! Cinta tidak akan pernah terkotori ataupun ternodai. Karna aku tahu, agama telah menempatkannya agar tetap suci, yakni di sini, di dalam hati. Aku saja yang salah. Keliru! Karna tidak bisa menjaganya. Kalau saja dulu aku mampu melekatkan cintaku pada agama, pasti ia akan bertambah perkasa. Karna bila cinta itu lekat dengan agama, maka ia akan abadi sebab cintanya terlahir dari tahta Ilahi Robbi.
“Akhirnya kamu sadar juga!”, hati mulai gembira.
Ya, sadar setelah melampaui rasa sakit berkali-kali. Tetapi itulah indahnya, menemukan pelangi setelah lama bergelut dengan hujan di hati. Kini aku memahami, bahwa cinta sejati bukan perkara antara aku dengan dia, tetapi jauh lebih indah menghadirkan Sang Pencinta.
Satu hal lagi yang aku tahu benar adanya, bahwa muara cinta sebenarnya antara dua hati adalah pelaminan. Ya, pelaminan! Seperti kata Anis Matta yang begitu apik menguraikannya, ”Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan.”
Maka suatu saat nanti jika ada seorang gadis berkata padaku,
“Tahukah kamu Ram? Kamu ada di hatiku, karna aku mencintaimu!”
Maka aku akan menjawab,
”Jika aku ada dihatimu, hilangkanlah! Cukup Allah yang mengisi hatimu, karna cintaku bukanlah sekadar rindu melainkan madu.”
Oleh: Mas Mochammad Ramdhani, Bandung