Selalu bersama al-Quran dalam hidup kita merupakan bagian yang teramat vital. Bersama al-Qur’an sepanjang hayat dalam arti selalu berinteraksi dengannya pada setiap keadaan. Artinya kita akan bahagia dalam hidup ini selama interaksi dengan ajaran al-Qur’an diberikan dalam porsi yang cukup besar. Sebaliknya, menerlantarkan interaksi dengan al-Quran berarti bagian dari musibah atas agama ini. Karena bagi Rasulullah, tidak ada yang lebih mendekatkan kaum muslimin di dunia ini selain selalu bersama al-Qur’an dalam setiap gerak dan langkah hidup.
Begitulah dahulu yang dirasakan oleh sahabat-sahabat Rasulullah dan kaum muslimin generasi awal.
Dikisahkan ketika Rasulullah berada dalam kondisi kritis menghadapi sakaratul maut dan kembali kepada kekasihnya, Allah swt, para sahabat dihadapkan dengan keadaan yang demikian dahsyat. Imam Qurthubi -rahimahullah- mengatakan bahwa wafatnya Rasulullah adalah musibah terbesar umat Islam sejak saat itu hingga hari kiamat kelak. Mengapa? Menurut beliau, setidaknya ada beberapa hal menjadikan kewafatan Rasulullah adalah musibah besar dalam kehidupan kaum muslimin:
1. Terputusnya wahyu Allah.
Wahyu Allah adalah kitabullah, al-Qur’an al-Karim, pusaka umat Islam sampai akhir zaman. Wafatnya Rasulullah sebagai nabi terakhir berarti terputus sudah kelangsungan wahyu yang merupakan petunjuk bagi hidup manusia. Tidak ada lagi yang namanya komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya dalam bentuk yang komunikatif. Selama Rasulullah hidup, wahyu seolah sebagai respon atas apa yang terjadi antara kejadian, wahyu, Rasulullah dan Allah swt. Tapi, setelah Rasulullah telah tiada semua itu terputus habis. Oleh karena itu, kebanyakan para sahabat menangis dan sedih dengan kepergian Rasulullah. Dan kita diperintahkan untuk selalu teringat dengan musibah wafatnya Rasulullah saw ini ketika dihadapkan dengan musibah hidup yang sebenarnya tidak seberapa dengan musibah kepergiannya beliau ke haribaan Allah swt. Hal ini bertujuan agar kita sadar dan memandang bahwa musibah sebesar apapun yang kita hadapi masih ringan dan harus dihadapi dengan sabar, ikhlas dan ridho.
Rasulullah saw bersabda:
إذا أصاب أحدكم مصيبة فليذكر مصابه بى فإنها أعظم المصائب
“Apabila salah seorang di antara kalian tertimpa musibah hendaknya ia mengingat musibahnya dengan musibah (kewafatan) ku. Karena musibahku itu adalah musibah terbesar umat ini.” (Silsilah Shahihah oleh Albani No. 1106)
Rasulullah wafat berarti tidak ada lagi nabi setelah beliau saw. Dan di sini kita patut sedih. Rasulullah yang meninggalkan hadits dan siroh beliau saja yang dicatat oleh para sahabat setia beliau. Dengan al-Quran dan hadits nabi ini Insya Allah kita akan selamat dunia dan akhirat.
2. Berhentinya estafet kenabian.
Apabila ketika beliau saw wafat saja banyak para sahabat yang terguncang hebat, maka apa lagi dengan kita yang sudah sangat lama ditinggal beliau dan jauh dari ajaran yang dibawanya. Tentunya akan sangat besar musibah yang kita hadapi sekarang.
Perhatikan bagaimana hebatnya guncangan yang terjadi pada para sahabat Rasulullah. Ketika Rasulullah wafat, Ali menyendiri hening di rumah istrinya Fathimah ra. Utsman sendiri terdiam karenanya. Umar bin Khattab ra tidak terima beliau wafat dengan menyebut-nyebut kepada kaum muslimin bahwa Muhammad tidak wafat. Tapi ia pergi sebentar kepada Tuhannya seperti halnya nabi Musa alaihissalam. Dan kelak akan kembali lagi ke dunia ini. (Lihat Kitab al-Awashim minal Qowashim hal. 38)
Sementara Abu Bakar tetap tenang, tegar dan ridho. Baik ketika melepas kekasihnya, Rasulullah saw ataupun ketika menghadapi ‘sikap’ Umar yang tidak terima kepergian Rasulullah.
3. Terputusnya kebaikan dan awal berkurangnya segala kebaikan manusia.
Tentu saja kewafatan Rasulullah sebagai nabi akhir zaman dan pembawa petunjuk Allah meninggalkan jejak yang begitu menyedihkan. Bagaimana tidak? Al-Qur’an sebagai petunjuk dan sumber kebaikan telah terputus dari tengah-tengah hausnya para sahabat dan umat Islam.
Begitu pula, wafatnya beliau menandakan awal dari kurangnya kebaikan dan awal dari proses pergiliran munculnya kejahatan. Baca kembali bagaimana guncangnya dunia Arab. Yang paling parah adalah munculnya kaum murtaddin (orang-orang murtad) dari agama Allah.
Umat Islam saat itu bagaikan anak-anak domba di malam hari karena kehilangan nabinya. (Siroh Ibnu Hisyam)
Lalu bagaimana sebagai umat Rasulullah yang hidup di akhir zaman kita berbuat?
Hanya ada satu jawaban. Yakni kembali kepada al-Qur’an. Membaca, merenungi, menghayati dan menghafalkannya semampu mungkin. Insya Allah dengan melakukan interaksi intensif seperti ini kelangsungan wahyu Allah akan tetap kita rasakan. Kebaikan pun pasti selalu peroleh lewat tadabbur dan penghayatan yang mendalam. Karena memang al-Qur’an ini akan selalu relevan dengan waktu dan zaman. Hafalkan al-Quran sebanyak dan semampu kita. Jangan lewatkan ia sebagai wirid harian bagi anda yang sudah hafal beberapa juz dan halaman.
Dari tadabbur dan interaksi yang baik ini, akan lahir keinginan untuk meniti siroh beliau saw dalam amaliah praktek operasional. Tanpa hadits-hadits nabi yang shahih tidak ada petunjuk Allah yang bisa kita timba. Karena siroh Rasulullah bagaikan buku panduan sebuah barang baru yang telah kita beli. Tanpa buku panduan itu mustahil kita bisa benar dalam menggunakan barang baru itu. Atau mungkin malah rusak tidak karuan.
Begitu pula peran sunnah, hadits dan siroh Rasulullah yang harum dan mutawatir. Rasulullah saw telah wafat, wahyu sudah terputus, kebaikan sudah mulai berkurang dan banyak umat, paham dan aliran muncul ke permukaan hidup manusia. Hingga saat ini dan sampai akhir zaman nanti. Mari kita pegang kuat-kuat pesan Rasulullah saw yang sudah wafat dan meninggalkan kita untuk tetap setia dan komitmen bersama al-Qur’an dan sunnah. Insya Allah nuansa wahyu, kenabian dan kebaikan Allah selalu bersama kita. Amiin.
Wallahu a’lam bish-showab.