Setelah memahami dasar aqidah yang kokoh dan kuat dalam membentuk karakteristik muslim, maka selanjutnya adalah dengan membentuk karakteristik ibadah. Ibadah disini merupakan sebuah pengejawantahan kekokohan aqidah, yakni melaksanakan apa yang telah disyari’atkan oleh aqidah itu. Ibadah tidak hanya mencakup shalat, puasa, zakat, dan haji saja, namun seluruh urusan hidup karena risalah kita dalam hidup ini adalah beribadah kepada Allah. Dan ibadah itu bukanlah kebutuhan Allah, namun merupakan kebutuhan makhluk.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (Adz Dzariyat: 56-57)
Seorang da’i harus mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan merupakan satu bentuk ketundukan atas ketuhanan Allah. Sehingga seseorang akan melaksanakan ibadah tanpa perlu mengetahui maksud dari pensyari’atan itu, namun ia juga harus mengetahui tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah umum pensyari’atan ibadah tersebut. Dan dalam beribadah ia menghadirkan rasa takut, harap, dan cinta kepada Allah.
Ibadah merupakan satu bentuk siklus dengan faktor kemanusiaan dan ketakwaan. Takwa bukan hanya merupakan hasil ibadah, namun ia merupakan satu bentuk metode untuk beribadah juga. Agar dapat melaksanakan kelezatan ibadah, maka diperlukan pengawasan melekat diri dari Allah (muraqabah), mengingat dan merumuskan visi dan misi (mu’ahadah), melakukan evaluasi (muhasabah), menetapkan konsekuensi dengan memberikan hukuman dan penghargaan (mu’aqabah), serta bersungguh-sungguh dalam melakukan perjuangan (mujahadah).[1]
“Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al Mujadilah: 6)
“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taati.’ Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu).” (Al Ma’idah: 7)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Hasyr: 18)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al Ankabut: 69)
Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah menyedekahkan kebunnya karena ia merasa hatinya tidak khusyu’ di dalam shalat karena terganggu oleh seekor burung di kebunnya, ia melakukannya sebagai bentuk hukuman kepada dirinya.
Ibadah yang diterima oleh Allah adalah yang disyari’atkan atau diperintahkan oleh Allah, dilaksanakan dengan ikhlas dan caranya mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah. Jika seseorang melakukan sesuatu yang baru dalam bentuk ibadah, maka otomatis ibadah itu tertolak.
Dari Aisyah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memunculkan di dalam agama kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya, maka dia tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Hasan Al Banna berkata, “Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan menggunakan cara yang sebaik-baiknya, yang tidak justru menimbulkan bid’ah lain yang lebih parah. Perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah idhafiyah, bid’ah tarkiyah, dan iltizam terhadap ibadah mutlaqah (yang tidak diterapkan, baik cara maupun waktunya) adalah perbedaan dalam masalah fiqih. Setiap orang mempunyai pendapat sendiri. Namun tidaklah mengapa jika dilakukan penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil dan bukti-bukti.”[2]
Bid’ah terdiri dari beberapa macam, yakni bid’ah haqiqiyah, bid’ah idhafiyah, bid’ah tarkiyah, dan bid’ah iltizam.
Bid’ah haqiqiyah (penambahan) adalah bid’ah yang sebenar-benarnya, semua ulama sepakat atas kebid’ahannya. Bid’ah idhafiyah adalah segala sesuatu yanag akarnya disyari’atkan, namun sifat dan, tatacara, dan perinciannya tidak didasarkan atas dalil, seperti memngeraskan suara saat membaca shalawat setelah dikumandangkan adzan sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin. Contoh lainnya adalah berdzikir dengan suara keras. Secara hukum, dzikir itu disyari’atkan dan mengeraskan suara itu tidak disyara’iatkan. Oleh karena itu, ia merupakan amalan bid’ah ditinjau dari caranya.
Bid’ah tarkiyah (penolakan) merupakan satu bentuk aktivitas meninggalkan apa yang sebenarnya diperkenankan syari’at dengan maksud keagamaan. Misalnya praktik sebagian ahli tasawuf yang meninggalkan makanan yang hukumnya halal dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan menyiksa diri. Praktik seperti ini termasuk bid’ah karena mengharamkan sesuatu yang halal.
Sedangkan bid’ah iltizam adalah berkomitmen terhadap ibadah-ibadah mutlaq yang sebenarnya sudah ditentukan, akan tetapi berupaya memberi ketentuan tentang waktu, tempat, bilangan, dan ucapan yang tidak didasari syari’at lalu berkomitmen untuk selalu mengamalkan hal itu. Misalnya membaca secara rutin adzkar pada setiap malam Jum’at dengan bilangan tertentu. Membaca surat Al Ikhlas 100 kali setelah shalat subuh atau waktu tertetu yang dipilihnya, atau membaca surat Kahfi pada malam Jum’at dengan cara tertentu pula. Kadang-kadang amalan seperti ini akan berbahaya bagi pelakunya karena memungkinkan bagi jin untuk merasuki raganya sebagaimana yang terjadi pada banyak pesantren tradisional.
Dari Abdul Aziz bin Abi Al Majisyun, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata, “Berhentilah dimana Rasulullah dan para shahabat berhenti, karena dengan ilmu mereka berhenti, dan dengan pandangan yang tajam mereka menahan diri. Sungguh, merekalah orang yang paling bisa membuka tabirnya dan merekalah orang yang paling berhak mendapatkan keuntungan. Jika kalian berkata, ‘Hal ini terjadi setelah mereka.’ Maka tidaklah ada yang membuat sesuatu yang baru setelah mereka kecuali orang yang menyelisihi petunjuk mereka dan benci terhadap sunnah mereka. Para shahabat telah berbicara yang mencukupi, maka orang yang berbuat lebih dari mereka adalah orang yang memberatkan dirinya, sedangkan yang berbuat kurang dari mereka adalah orang yang ceroboh. Sebagian orang yang ceroboh dari mereka kemudian menjadi orang yang kurang ajar dan jauh dari kebenaran. Sebagian lagi ada yang berbuat lebih dari mereka, maka jadilah dia orang yang melampui batas. Sedangkan orang yang berada pada posisi pertengahan akan berada dalam jalan petunjuk yang lurus.”[3]
Beberapa buku yang dapat mendukung pembentukan karakter da’i ini misalnya:
- Fiqh Sunnah karangan Syaikh Sayyid Sabiq
- Ta’mimuth Thaharah Wash Shalah karangan Syaikh Hasan Ayyub
- Mau’idhatul Mu’minin (Min Ihya-i Ulummud Din) karangan Al Allamah Al Qasimi
- Al Ibadah Fi Al Islam karangan Dr. Yusuf Qardhawi[4]
Pembentukan karakter pertama dan kedua ini merupakan salah satu pilar pembinaan ruhaniyah. Rasulullah dibina oleh Allah dan membina para sahabatnya dengan menekankan pada pembinaan ini. Allah memerintahkan Rasulullah untuk mendirikan shalat malam di awal periode kenabian. Shalat malam yang diwajibkan pada permulaan masa da’wah ini merupakan pelatihan intensif dan keras untuk komitmen dan taat kepada perintah Allah selama satu tahun penuh. Dengan bekal penyucian ruhani ini, maka seorang da’i akan mampu menahan kerasnya perlawanan dari musuh-musuh da’wah yang terus menerus memeranginya.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Al Muzammil: 1-4)
“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dia-lah) Tuhan masyrik dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (Al Muzammil: 8-10)
Syaikh Munir Muhammad Al Ghadban berkata, “Para penyeru ke jalan Allah sangat memerlukan senjata ini, dalam melaksanakan tugas da’wah yang selalu menghadapi berbagai rintangan dan gangguan. Jika pada tahapan seperti ini gerakan Islam tidak memperhatikan aspek ibadah , aspek ruhiyah, qiyamul lail yang rutin dan berkesinambungan, dan daurah-daurah secara berulang-ulang untuk ‘hidup terus,’ pasti akan menyaksikan para prajuritnya berjatuhan satu demi satu dan rontok oleh benturan tribulasi.”[5]
“Sesungguhnya,” lanjut beliau, “Pemuda muslim yang menjalani masa mudanya dengan tekun beribadah dan taat, rutin dan kontinyu untuk membaca Al Qur’an, kedua kakinya letih karena qiyamul lail, dzikrullah di tempat sunyi hingga kedua matanya meneteskan air mata, hatinya selalu terpaut dengan masjid, selalu membasahi bibirnya dengar adzkar dan ayat-ayat Al Qur’an siang dan malam, hati dan pikirannya dibentuk oleh Al Qur’an, adalah pemuda ideal yang harus diwujudkan oleh gerakan Islam. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian yang memadai, maka akan mengakibatkan bangunan menjadi rapuh dan rontok oleh pukulan-pukulan pertama para thaghut.”[6]
Pof. Dr. Abdullah Nashih Ulwan berkata, “Kini kita akan menuju terminal dimana Anda bisa menghirup napas keimanan dan menambah bekal ketakwaan. Di sana, jiwa Anda akan memantulkan pancaran ruhani. Anda akan menjadi seorang yang shalih, seorang yang penuh keikhlasan. Bahkan tatkala Anda melanjutkan perjalanan, langkah akan terasa ringan, kata-kata akan berpengaruh, tingkah laku akan menjadi teladan, penampilan menjadi penuh daya tarik, serta sorotan mata Anda akan memancarkan semangat dan optimisme.”[7]