Dakwah, Be Yourself!

Berdakwah tidak membuat kita menjadi orang lain. Beberapa orang berpikir bahwa dengan aktivitas dakwah yang mulia, masyarakat akan menuntut kita memiliki kelebihan dalam segala hal. Harus lebih baik, lebih kuat, lebih tabah, lebih sabar, dan sebagainya. Media massa bahkan tidak jarang menggambarkan para da’i sebagai orang hebat yang kemampuannya bisa mengalahkan sihir, seakan dakwah pada abad ini masih saja berkutat dengan sihir seperti zaman Nabi Musa alaihis sallam.

Ini adalah pemikiran yang salah. Berdakwah sama sekali tidak memaksa kita menjadi superhero. Berdakwah justru membuat kita menjadi diri sendiri, pribadi yang fithrah, pribadi yang original dengan segala kelebihan dan kelemahannya, sesuai kehendak Yang Menciptakan kita.

Untuk membahas topik ini dengan sederhana berdasarkan nash-nash yang mulia, marilah kita mulai dengan pembahasan tentang fithrah, model awal penciptaan manusia.

Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Setiap manusia dilahirkan atas sebuah fithrah. Orang tuanyalah yang kemudian menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari)

Dari hadits di atas, kita memperoleh pelajaran tentang beberapa hal:

Manusia Diciptakan Dalam Sebuah Model Khusus yaitu Fithrah

Apabila setiap produk elektronik memiliki spesifikasi yang khas, begitu juga manusia diciptakan dengan model yang sangat unik dan khas bernama fithrah. Pada era membanjirnya barang-barang produksi Cina saat ini, kita melihat bahwa “barang Cina” sangat mirip dan kadang hanya kurang satu atau dua fitur dari produk yang ditirunya, tetapi nilainya tetap rendah dan kualitasnya tidak jarang sangat buruk. Dalam hadits di atas, Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam memberitahu kita bahwa kita dilahirkan sebagai produk asli yang unik, khas dan suci, yaitu dalam fithrah. Selama kita menjaga keaslian, nilai dan kualitas kita juga akan selalu terjaga dalam ketinggiannya.

Orang Tua dan Lingkungan akan Memberi Warna

Orang tua, yang juga bisa dimaknai secara luas sebagai orang-orang dewasa dan lingkungan sekitar, kemudian menentukan apakah kita tumbuh tetap dalam fithrah, atau keluar dari fithrah dengan menjadi penganut Yahudi, Kristiani, atau penyembah api. Penyebutan Majusi (agama penyembah api di Persia pada masa Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam) merupakan penunjukan kepada semua agama selain agama samawi, baik penyembahan kepada ruh, dewa-dewi, kekuatan mistik maupun ritual, dan pensakralan benda-benda tertentu.

Fithrah itu Adalah Islam

Beberapa orang sempat bertanya tentang hadits yang kita jadikan pokok bahasan ini: “Mengapa yang disebut hanya Yahudi, Nasrani dan Majusi? Mengapa hadits ini tidak menyebut Islam?”

Jawabnya, demikianlah Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam memberi petunjuk bahwa makna fithrah itu adalah Islam. Setiap bayi dilahirkan dalam kondisi Islam, dalam tahap-tahap pertumbuhannya barulah orang tuanya membentuk untuk tetap dalam fithrah atau menyimpang darinya.

Agar manusia tetap tumbuh sesuai fithrah, ia harus menjadi muslim yang melaksanakan agamanya dengan komitmen, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama yang lurus. (Tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada peubahan pada fithrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar Ruum: 30)

Fithrah yang Tidak Dirawat

Setiap manusia diciptakan sebagai makhluk yang fithri, memiliki keaslian jati diri 100%. Dalam perjalanan hidupnya, ia mungkin mengadopsi ajaran agama, norma-norma, tradisi atau kebiasaan sekitarnya yang tidak sesuai dengan fithrahnya. Lalu pelan-pelan, fithrah itu semakin samar dan pudar…

Ketika penulis sedang memikirkan artikel ini, televisi menyiarkan sosok Kurt Donald Cobain, pentolan Nirvana, sang perintis musik grunge. Sebagai pribadi beliau layak menjadi contoh fithrah yang tergilas, terbelah-belah, lalu hancur dengan akhir yang sangat mengenaskan: bunuh diri. Sebelum bunuh diri, sekian lama ia hidup dengan ketergantungan pada narkoba.

Saya pribadi menghormati setiap karyanya yang berhasil mengekspresikan jiwa kritis dan protes-protesnya secara mendalam, tetapi kita bisa mengatakan bahwa pencapaian luar biasa seorang Kurt Cobain hanyalah contoh pencapaian luar biasa di jalan yang keliru. Meski fantastis, hebat dan luar biasa, pencapaian-pencapaian tersebut tidak memberinya kepuasan, kebahagiaan, apalagi penemuan jati diri (fithrah) yang menenteramkan. Na’uudzubillaahi min dzaalik.[1]

Dakwah adalah Pemelihara Keaslian Fithrah

Karena di dunia ini manusia diberi musuh yang luar biasa berupa pembajak fithrah yang sangat berpengalaman yaitu syaithan, setiap manusia harus saling bekerja sama dalam memelihara fithrah. Tidak ada pribadi yang bisa menyelamatkan keaslian fithrahnya dari bajakan syaithan jika ia menyendiri dan tidak terlibat dalam dakwah. Allah berfirman tentang orang-orang yang selamat:

“… orang-orang yang beriman, beramal shalih, senantiasa saling menasihati dalam kebenaran dan senantiasa saling menasihati dalam kesabaran…” (QS Al ‘Ashr: 3)

Bentuk kerja sama yang bisa dilakukan adalah:

a. Saling mendoakan kebaikan dan saling mengingkari kemungkaran. Ini adalah bentuk dakwah dengan hati, bentuk paling mendasar dari dakwah. Sebagai contoh, ada seorang teman kita yang gemar melakukan kemaksiatan tetapi kita belum berani menegurnya. Kita kemudian berusaha menghindarinya ketika ia dalam kemaksiatan tersebut. Ketika ia tidak dalam kemaksiatan, kita tetap menjadi teman baiknya. Pengingkaran kita dalam bentuk menghindar ini mudah-mudahan membuatnya menyadari bahwa kita tidak menyukai apa yang ia lakukan, lalu ia berhenti darinya.

b. Saling mengingatkan kebaikan dan saling melarang kemungkaran. Ini adalah bentuk dakwah dengan lisan, tingkat kedua dalam dakwah. Contoh tentang ini tidak perlu diuraikan karena kebanyakan orang memahami dakwah sebagai dakwah dengan lisan ini.

c. Saling membantu dalam kebaikan dan saling mencegah tentang kemungkaran. Ini adalah tingkat tertinggi, yaitu dakwah dengan tangan, tindakan dan jika perlu: kekuatan dan kekuasaan.

Perlukah Dakwah dengan Tangan?

Beberapa orang menanyakan, jika dakwah adalah memanggil kesadaran manusia, mengapa ada kewajiban berdakwah dengan tangan, dengan kekuatan, atau dengan kekuasaan? Bukankah ini bentuk pemaksaan yang justru akan mencegah seseorang dari memperoleh kesadaran secara ridha; secara sukarela?

Jawabannya, dakwah dengan tangan ini tetap diperlukan karena manusia memiliki kelemahan dalam kemauan dan konsistensi. Apabila mengandalkan kesadaran dan kerelaan hati, anak-anak mungkin akan mendirikan shalat sesuka hati mereka. Oleh karena itu, Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk memukul anak-anak yang malas mendirikan shalat ketika mereka telah cukup umur.

Contoh lainnya, masyarakat mungkin akan cenderung kepada minuman keras atau kebebasan seksual jika tidak ada institusi yang tegas melarang dan memberi sanksi. Sanksi yang tegas ini memaksa mereka berhenti atau hanya melakukan dengan sangat tersembunyi. Ketegasan sanksi ini mencegah kerusakannya menyebar dengan cepat.

Jangan Menjadi Orang Lain…

Fithrah setiap manusia adalah unik. Meskipun semua manusia dilahirkan dalam kondisi fithrah, Allah tidak menciptakan kita sebagai makhluk yang seragam. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, mirip potongan-potongan puzzle yang memiliki sisi menonjol dan sisi berlubang. Apabila kita memaksa diri menjadi orang lain, beberapa sisi kita akan berubah sehingga kita tidak bisa bersama-sama membangun sebuah masyarakat Islami sebagaimana kehendak Allah.

Beberapa orang memandang gurunya, mentornya, pengasuhnya, atau tokoh idamannya sebagai manusia terbaik lalu mencontohnya habis-habisan sehingga ia menjadi ‘orang  lain’. Beberapa orang lagi berpandangan bahwa da’i harus menjadi contoh dalam segala hal sehingga memaksakan diri selalu tampil baik di hadapan manusia. Kedua hal ini sama-sama pemaksaan diri yang tidak diperlukan dalam pembangunan masyarakat Islam.

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang terjaga (ma’shum), tetapi beliau juga pernah khilaf sehingga ditegur langsung oleh Allah di hadapan para shahabat. Misalnya dalam Al Quran surat ‘Abasa. Para sahabat adalah manusia-manusia terpilih, tetapi ‘Umar radhiallahu anhu juga pernah ragu ketika menghadapi pembelot yang tidak mau membayar zakat pada masa pemerintahan Abu Bakar, dan beliau tidak segan mengakui keraguannya tersebut.

Demikian juga kita semua adalah manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak perlu tampil pura-pura di hadapan siapa pun. Dalam dakwah kita justru harus melatih keikhlasan dan ketulusan, sehingga selalu bersikap jujur dan terbuka. Da’i memang menjadi contoh, tetapi bukan karena ia selalu benar. Da’i adalah contoh pembela kebenaran yang konsisten, sekaligus contoh orang yang cepat bertaubat ketika tergelincir dari kebenaran tersebut. Be yourself, be fithrah! Be a good muslim, be da’i!

___________________________________________________________


[1] Dalam Islam kita dianjurkan berlindung kepada Allah dari hal-hal buruk ketika mendengar atau menyaksikan hal tersebut, dengan membaca “na’uudzubillaahi min dzaalik yang berarti “kami berlindung kepada Allah dari hal-hal demikian.”