“Ada apa, akh? Kok kelihatannya lemes banget? Sakit?”
“Nggak, akh. Ana hanya baru dapat amanah baru nih.”
“Lalu kenapa murung?”
“Ana nggak suka amanahnya. Ribet ngurus teman-teman yang banyak begitu. Mana ana belum punya pengalaman lagi.”
“Ente masih mending, akh. Di tempat ana malah lebih parah. Banyak kader yang lepas. Action dakwahnya juga lemes. Jujur, ana jadi kurang semangat juga jadinya.”
Ya, mungkin komentar senada dengan di atas tak asing lagi bagi kita. Atau bahkan mulut kita sendiri pernah melontarkan hal yang sama. Klasik memang. Semangat dakwah menurun lantaran kondisi bi’ah dan jama’ah kurang kondusif. Saat itu, banyak sekali tuntutan yang keluar dengan mengatakan ini harusnya begitu, itu mestinya begini. Tapi di saat yang sama, kita tak melakukan apa-apa.
Kalau teman-temannya semangat, dirinya jadi semangat. Kalau teman-temannya produktif, dirinya juga produktif. Sebaliknya, kalau teman-temannya ‘diam’, dirinya ikut ‘diam’. Kalau teman-temannya futur, dirinya turut futur. Semuanya karena teman-temannya, karena bi’ah. Kalau teman-temannya enak, dakwahnya lancar. Tapi kalau sepi, apalagi cuma sendiri, dakwahnya jadi mati.
Inilah yang terjadi jika ‘mesin’ dakwah tidak diisi dengan bahan bakar yang semestinya. Pergerakan dakwah jadi bermasalah hanya gara-gara sumber energinya yang salah. Saudaraku, sumber energi dakwah bukanlah terletak pada kesenangan. Bukan bertumpu pada teman-teman yang menyenangkan, amanah yang menyenangkan, atau fasilitas yang menyenangkan. Karena yakinlah, kesenangan-kesenangan itu bersifat sementara. Apakah ketika kita bertemu rekan-rekan dakwah yang tidak menyenangkan kita jadi tidak senang berdakwah? Apakah ketika kita mendapati amanah yang tidak menyenangkan, kita jadi tidak amanah? Apakah ketika fasilitas sangat sedikit, kita jadi malas berjuang? Kalau itu yang masih kita rasakan, berhati-hatilah. Boleh jadi ada yang tidak beres dengan orientasi dakwah kita.
Untuk itu, isilah energi dakwah kita dengan cinta. Cinta kepada-Nya (QS. 2:165). Karena cinta tidak hanya setia ketika senang saja, tapi juga di saat susah. Karena cinta tidak hanya berjuang di saat ringan belaka, tapi juga di saat kita sangat berat untuk melakukannya (QS. 9:41).
Saudaraku, lihatlah Mush’ab bin Umair ketika diangkat menjadi duta dakwah di Yatsrib (Madinah). Dirinya ditugaskan untuk mengondisikan Yatsrib agar nantinya siap ditempati Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya. Sungguh bukan perkara mudah. Karena saat itu Yatsrib adalah tempat yang asing dan bukan tanpa masalah. Di sana terdapat dua suku yang sering sekali berseteru, yaitu suku Khazraj dan Aus.
Namun bagaimana sikap Mush’ab bin Umair saat itu? Tak ada keluhan atau protes yang keluar dari mulutnya. Hanya satu sikap: taat. Besarnya kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya memberi dirinya kekuatan, yang kemudian membuat segala ketidaksenangan dan ketidaknyamanan yang ia temui dalam dakwah menjadi tak berarti.
Saudaraku, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang dibenci dan neraka itu dikelilingi dengan berbagai hal yang menyenangkan (syahwat).” [HR. Muslim]
Pada umumnya, memang tak ada kebaikan yang diawali dengan kesenangan. Salat Tahajud misalnya, mulanya kita bangun dengan penuh kepayahan, bukan? Bahkan saat mata belum sepenuhnya tersadar, kita sudah harus bersinggungan dengan dinginnya air dan berjuang sekuat tenaga untuk tegak berdiri, seraya bermunajat pada Allah SWT di kala yang lain tetap terlelap.
Contoh lain yang lebih akrab adalah puasa. Tak ada puasa yang awalnya dilakukan secara senang-senang. Yang ada malah kita harus kuat menahan lapar-haus, serta menjaga diri dari hal-hal kebiasaan, seperti bercumbu, marah-marah, dan lain sebagainya. Tapi kenapa kita tetap memerjuangkan itu semua? Tak lain adalah karena satu alasan: cinta.
Dakwah pun demikian. Terkadang ‘kacamata’ kita menangkap hal-hal yang tidak menyenangkan, yang tidak sesuai dengan takaran kenikmatan kita, yang kita tidak sadar bahwa dari situlah ada pelajaran dari-Nya (QS. 29:2). Namun, sadarkah bahwa ketidaksenangan-ketidaksenangan itu adalah harga yang harus kita bayar guna meraih kenikmatan yang hakiki (QS. 9:111)?
Sungguh, cinta membuat segala penat terasa nikmat. Cinta jugalah yang menjadikan perjuangan kita terasa indah. Seperti ucapan kepada kekasih, “Bukan karena kau cantik aku jadi cinta. Tapi karena aku cinta kau jadi cantik.” Maka begitu pula dalam dakwah, “Bukan karena dakwah terasa menyenangkan aku jadi cinta. Tapi karena aku cinta dakwah jadi terasa menyenangkan.”
Allahua’lam..
Oleh: Deddy Sussantho, Depok