“Apabila dikatakan ‘da’wah islamiyah’,” kata Ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz, “Maka yang kita maksudkan adalah risalah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai wahyu dari Allah dalam bentuk kitab yang tidak ada kebatilan di dalamnya, baik di depan atau di belakangnya, dengan kalam-Nya yang bernilai mukjizat, dan yang ditulis di dalam mushaf yang diriwayatkan oleh Nabi dengan sanad yang mutawatir, yang membacanya bernilai ibadah.”[1]
Dengan pengertian ini maka da’wah berorientasi kepada risalah Allah yang diturunkan kepada manusia melalui perantaraan Rasulullah dan dijadikan satu pedoman dalam bentuk Al Qur’an.
Dalam Fiqh Ad Da’wah, disebutkan bahwa da’wah adalah mengajak manusia dengan hikmah dan pengajaran yang baik sehingga mereka mengingkari thaghut dan beriman kepada Allah serta keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam. Dengan demikian, maka pada hakikatnya da’wah adalah satu usaha untuk membawa manusia dari kegelapan kebodohan dan ketidaktahuannya menuju hidayah Allah, yakni cahaya Islam. Thaghut adalah segala sesuatu yang yang disembah selain Allah, baik itu benda, manusia, sistem, maupun makhluk yang lainnya.
Disebutkan pula bahwa da’wah Islam yang dimaksud adalah da’wah yang berorientasi kepada pembangunan masyarakat Islam, melakukan perbaikan dalam masyarakat Islam, dan memelihara kelangsungan da’wah di tengah masyarakat yang berpegang pada kebenaran untuk memelihara kelangsungannya, yaitu dengan pengajian secara terus menerus, tasykir (peringatan), tazkiyah (penyucian jiwa), dan ta’lim (pendidikan).[2]
Dalam Platform Kebijakan Pembangunan dikatakan bahwa da’wah Islam pada hakikatnya merupakan aktivitas terencana untuk mentransformasikan individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyah ke arah kehidupan yang mencerminkan semangat dan ajaran Islam. Proses tarnsformasi individu, yakni pembentukan pribadi-pribadi muslim sejati (syakhsiyah islamiyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial. Sebab, terbentuknya pribadi muslim sejati bukanlah tujuan akhir. Oleh karena itu, pribadi-pribadi ini mesti memperkaya kualitas dirinya untuk mengemban amanah da’wah (syakhsiyah da’iyah), sehingga mampu berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial.[3]
Da’wah bukan hanya merupakan pekerjaan ulama dan mubaligh. Namun, siapa saja yang mampu menyerukan kebaikan kepada orang lain dan diri sendiri, maka ia adalah da’i, sang penyeru.
Sedangkan da’i ilallah, menurut Ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz, adalah orang yang berusaha untuk mengajak manusia – dengan perkataan dan perbuatannya – kepada Islam, menerapkan manhajnya, memeluk akidahnya, dan melaksanakan syari’atnya. Da’wah kepada Allah – yang diabaikan kaum muslimin pada masa ini – adalah suatu kewajiban yang dibawa oleh para rasul, lalu dipikul oleh para pengikutnya yang setia, yakni orang-orang yang mengikuti jejaknya setelah mereka, dan mengambil suri teladan dari para rasul itu dalam cara hidup mereka. Mereka tidak segan-segan untuk berjalan di atas jalan yang telah ditentukan Allah meskipun penuh aral yang menghadangnya.[4]
Menurut Ustadz Ali Abdul Halim Mahmud, da’wah ilallah adalah da’wah yang bersumber dari Allah yang disampaikan kepada kita melalui para nabi dan rasul-Nya, serta ditutup dengan kehadiran Nabi Muhammad.
Bila kita mengatakan da’wah ilallah, berarti kita berda’wah agar manusia beriman kepada Allah, risalah yang dibawa para nabi dan rasul, taat pada apa-apa yang diperintahkan, berhenti total dari semua yang dilarang, dan membenarkan seluruh perkataan utusan Allah tersebut. Arti berda’wah adalah mengajak kepada din Islam, penutup seluruh kalamullah, serta agama yang paling sempurna dan syamil (komprehensif). Islam adalah agama yang telah Allah jamin penjagaannya, sedangkan agama-agama selain Islam diserahkan kepada pemeluknya. Oleh karena itu, hanya Islamlah yang akan tegak tanpa perubahan dan cacat.[5]
Da’wah bukanlah ajakan kepada seseorang, pribadi, golongan, atau jamaah tertentu. Da’wah murni hanya ditujukan kepada jalan Allah saja. Jika terjadi hal yang sebaliknya dan para da’i mengajak kepada selain Allah, maka sebenarnya itu disebabkan oleh fanatisme terhadap golongannya. Pada akhirnya, timbullah perpecahan dari para da’i. Ini karena kesalahan dalam melihat jama’ah sebagai tujuan da’wah, bukan sekadar sarana.
Ustadz Abu Muhammad Jibriel Abdurrahman menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan da’wah adalah menyeru manusia kepada Allah dan untuk kepentingan Allah, dan bukan untuk kepentingan para da’i dan para pengikutnya (kaumnya). Tidak ada tujuan lain bagi para da’i dalam segala usaha da’wahnya selain dari menunaikan kewajibannya terhadap Allah. Tiada suatu balasan yang diharapkannya dari orang-orang yang mendapat hidayah karena da’wahnya melainkan semata-mata mengharapkan ganjaran dari Allah.[6]
Sesungguhnya, da’wah merupakan urusan yang besar dan adil karena da’wah dapat mengontrol manusia sehingga mengantarkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Para rasul, mereka bersungguh-sungguh menunaikan amanah da’wah dan telah menyampaikan amanah secara terus-menerus dengan tulus ikhlas, bahkan mereka tidak hanya menyampaikan risalah itu secara lisan semata, tapi juga dengan keteladanan yang tergambar dalam perbuatan da’wah dan jihad yang tidak mengenal henti.
Menurut asalnya, da’wah dalam arti luas hukumnya wajib. Pendapat ini berdasarkan hadits tentang tidak adanya iman lagi bagi seseorang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya. Namun, da’wah menjadi fardhu kifayah bila telah ada segolongan manusia yang menyerukan da’wah kepada umat manusia untuk menuju cahaya Allah dan meninggalkan kegelapan jahiliyah. Sedangkan da’wah dalam pengertian sempit asalnya adalah fardhu kifayah dan berubah menjadi fardhu ‘ain jika tidak ada yang melaksanakannya di suatu masa di suatu tempat.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 2-3)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa da’wah itu hukumnya fardhu kifayah jika dilakukan di negara-negara yang ada para da’i yang telah menegakkannya. Karena setiap negara atau wilayah membutuhkan da’wah secara kontinyu, maka dalam keadaan seperti ini, da’wah menjadi fardhu kifayah, yaitu apabila telah dilakukan oleh sekelompok orang, kewajiban ini gugur dari yang lain. Pada saat itu, da’wah bagi yang lain menjadi sunnah muakadah dan merupakan amal shalih. Tetapi, kalau tidak ada yang melaksanakannya secara sempurna, maka dosanya ditanggung seluruh ummat. Sebab mereka semua terkena kewajiban ini. Setiap muslim wajib melaksanakan da’wah menurut kemampuannya. Kalau dilihat secara umum, maka negara wajib mengarahkan tim secara khusus yang melaksanakan da’wah di seluruh penjuru bumi, untuk menyampaikan risalah Allah, dan menjelaskan perintahnya dengan cara-cara yang memungkinkan. Rasulullah telah mengutus para da’i dan mengirimkan surat ke raja-raja dan para pemimpin, untuk mengajak mereka memeluk agama Islam.[7]
Menurut Ibnu Katsir, seseorang yang menyembunyikan kebenaran (al haq) maka ia akan mendapatkan laknat dari Allah dan ancaman yang keras.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 159-160)
Sikap seperti ini telah kita dapati dari orang-orang Yahudi yang menyembunyikan ayat-ayat Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicarakepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka!” (Al Baqarah: 174-175)
Membiarkan kemungkaran sama artinya dengan meridhai kemungkaran itu, kecuali memang ia tidak mampu melakukan sesuatu untuk mencegah kemunkaran itu, bahkan dengan ucapannya.
Abu Bakar, ketika diangkat menjadi khalifah Rasulullah sepeninggal wafatnya, berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.’ Dan kalian meletakkannya bukan pada proporsinya. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Manusia jika melihat kemungkaran, dan tidak berusaha mengubahnya, maka tidak lama lagi Allah akan menurunkan siksa kepada mereka secara umum (merata).’”
Dari Ibnu Abbas, Abu Bakar mengatakan, “Benar, bukanlah termasuk dari kaum, bila mereka diperlakukan dengan munkar, dan dirusak dengan suatu perbuatan buruk, lantas mereka tidak berusaha mengubahnya dan memperbaikinya, kecuali hak bagi Allah untuk meliputi mereka dengan siksa dari, kemudian doa mereka tidak diterima.” Lalu ia memasukkan dua jarinya di kedua telinganya, dan mengatakan, “Seandainya aku tidak mendengarnya dari yang terkasih, maka diamlah.” (HR Ahmad)
Da’wah ini hendaknya dilakukan oleh setiap manusia hingga seluruh manusia berada di bawah naungan cahaya Islam.
Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah dariku, walau hanya satu ayat. Dan ceritakanlah tentang bani Israil dan tidak berdosa. Dan siapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah menempatkan dirinya di neraka.” (HR Bukhari)
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah mengubahnya (mencegahnya) dengan tangannya. Jika ia tidak mampu (dengan tangannya), maka dengan lidahnya, dan bila masih tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.” (HR Muslim)